Bebasnya Siti Aisyah Jadi Momen Meningkatkan Perlindungan TKW

Konten Media Partner
11 Maret 2019 15:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Siti Aisyah tersenyum ketika meninggalkan Pengadilan Tinggi Shah Alam, di luar Kuala Lumpur, Malaysia (11/3). (Foto: AFP/Mohd RASFAN via Kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Siti Aisyah tersenyum ketika meninggalkan Pengadilan Tinggi Shah Alam, di luar Kuala Lumpur, Malaysia (11/3). (Foto: AFP/Mohd RASFAN via Kumparan)
ADVERTISEMENT
BANDUNG, bandungkiwari – Kasus bebasnya Siti Aisyah dari pengadilan Malaysia jadi momen bagi pemerintah untuk meningkatkan perlindungan buruh migran dari korban perdagangan manusia (trafficking).
ADVERTISEMENT
Direktur Sapa Institut, Sri Mulyati, menyatakan sejak kasus ini mencuat, pihaknya menilai Siti Aisyah merupakan tenaga kerja wanita (TKW) yang menjadi korban perdagangan manusia di luar negeri. Siti direkrut bekerja oleh pihak yang diduga bagian dari intelijen tanpa tahu jenis pekerjaan yang sesungguhnya.
Langkah selanjutnya yang harus dilakukan pemerintah, lanjut dia, selain pemulangan Siti ialah mengkaji modus baru perdagangan manusia (trafficking) dan perlindungan terhadap buruh migran.
“Kami melihat itu modus baru trafficking, dipekerjaan dengan tidak sesuai pembicaraan awal. Awalnya kerja sebagai pemeran reality show tapi kemudian dimanfaatkan untuk perencanaan pembunuhan. Pemerintah sendiri harusnya menjadikan kasus ini sebagai kajian baru terkait modus traffciking,” kata Sri, saat dihubungi Bandungkiwari, Senin (11/3).
Ia menjelaskan, korban trafficking umumnya mengalami penempatan kerja yang tak sesuai dengan kontrak atau pembicaraan awal. Bentuknya bisa berupa eksploitasi seksual, mengalami penyiksaan dan jenis ekskploitasi lainnya.
ADVERTISEMENT
Khusus untuk kasus Siti, perlu dikaji model kasusnya, melibatkan pihak mana saja, bagaimana alurnya, dan sebagainya. “Supaya tak terjadi lagi di kemudian hari,” tandasnya.
Menurutnya, kasus seperti dialami Siti jika terbukti bersalah hukumannya akan sangat berat, penanganannya pun tak bisa dilakukan oleh satu lembaga, melainkan perlu peran dari diplomasi negara.
Hasil kajian terhadap kasus Siti penting untuk dipakai dalam membuat produk kebijakan yang pro buruh migran. Sejauh ini, lanjut Sri, memang sudah banyak produk kebijakan untuk buruh migran, khususnya TKW di luar negeri, namun masih lemah di tingkat implementasi.
Masalah Siti sendiri pasca-divonis bebas masih belum selesai. Pemerintah masih menghadapi proses pemulangan yang menurut pengalaman Sri selama mendampingi buruh migran, tidaklah mudah.
ADVERTISEMENT
“Salah satu kendala penanganan kami dalam menangani buruh migran adalah pemulangan dan perlindungan buruh migran di tempat ujuan,” katanya.
Ia melihat, kasus Siti merupakan bagian kecil dari banyaknya masalah yang dihadapi buruh migran Indonesia. Kasus ini juga menunjukkan bahwa perempuan atau TKW perlu perlindungan khusus.
“Kenapa perempuan perlu mendapatkan perlindungan khusus, karena perempuan dianggap kelompok di masyarakat yang tidak akan dicurigai untuk melakukan hal-hal yang selama ini dilakukan laki-laki, misalnya jadi alat spionase, orang tidak akan curiga. Jadi tingkat kerentantan perempuan lebih tinggi dari laki-laki,” paparnya.
Siti Aisyah dan seorang wanita Vietnam Doan Thi Huong ditangkap pada Februari 2017 atas pembunuhan Kim Jong-nam, abang tiri pemimpin Korea Utara Kim Jong-un di bandara Kuala Lumpur, Malaysia. Mereka dituduh mengusapkan cairan kimia VX yang membunuh Kim Jong-nam. Kedua perempuan tersebut kemudian menjadi terdakwa pengadilan Malaysia.
ADVERTISEMENT
Setelah melewati proses hukum yang panjang, Pengadilan Malaysia pada Senin (11/3) kemudian membebaskan Siti Aisyah. (Iman Herdiana)