Konten Media Partner

Di Bandung Soekarno Mendirikan PNI dan Dicap Radikal

2 Juni 2018 17:07 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Di Bandung Soekarno Mendirikan PNI dan Dicap Radikal
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Ruang tahanan yang dipakai pemerintah Belanda untuk memenjara Soekarno. Kini ruang tahanan tersebut menjadi situs sejarah di Jalan Banceuy, Bandung. (Foto: Iman Herdiana/Bandungkiwari.com)
ADVERTISEMENT
BANDUNG, bandungkiwari – Bulan Juni disebut juga bulannya Soekarno. Di bulan ini Pancasila yang kemudian menjadi dasar negara dilahirkan, bulan ini juga bulan kelahirannya sang Proklamator.
Soekarno lahir 6 Juni 1901 di Surabaya, Jawa Timur. Di masa mudanya, Soekarno berkegiatan di banyak tempat, salah satunya di Bandung. Pada 1921, dia kuliah di Technische Hoogeschool te Bandoeang (kini Institut Teknologi Bandung).
Selama kuliah, murid HOS Tjokroaminoto itu aktif dalam sejumlah organisasi pergerakan nasional.
Bandung sendiri menjadi salah satu basis pergerakan Hindia Belanda di awal abad ke-20. Pemerhati sejarah Bandung, M Rizky Wiryawan, menyebut sejumlah organisasi yang dicap radikal dan eksremis oleh Belanda yang tumbuh di Bandung antara lain, Boedi Utomo, Sarekat Islam, Partai Komunis Indonesia, Indische Partij (Partai Hindia), Paguyuban Pasundan, Algemeene Studie Club dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Seringkali orang-orang dari organisasi tersebut saling beririsan atau berjaringan satu sama lain.
Nah, 4 Juli 1927 Soekarno muda menjadi salah satu pendiri Algemeene Studie Club atau organisasi belajar. Organisasi belajar di zaman kolonialisme tentu berbeda maknanya dengan organisasi belajar di masa kini. Karena belajar di masa kolonial mengandung arti perlawanan.
Algemeene Studie Club nantinya menjadi cikal bakal berdirinya Partai Nasional Indonesia (PNI), partainya Soekarno. Menurut M Rizky Wiryawan, Algemeene Studie Club Bandung merupakan perkumpulan yang membicarakan berbagai isu khususnya politik masa penjajahan.
Selain di Bandung, Algemeene Studie Club juga terdapat di Surabaya. Malah kedua klub ini sempat akan disatukan.
“Ini sempat mau digabung dengan Algemeene Studie Club Surabaya dan Bandung, tapi tidak pernah jalan. Bandung dipimpinan Soekarno, ini nanti bikin PNI. Orang-orangnya hampir sama antara Algemeene Studie Club dan PNI,” terang M Rizky Wiryawan, saat berbincang dengan Bandungkiwari.com.
ADVERTISEMENT
Salah satu tempat yang dijadikan Algemeene Studie Club berkumpul ialah Ons Genoegen, warga lokal menyebutnya gedong tonil karena biasa dipakai tempat pertunjukkan tonil atau teater. Kini Ons Genoegen berubah nama menjadi Yayasan Pusat Kebudayaan (YPK), gedungnya masih berdiri di Jalan Naripan-Braga.
Soekarno melalui Algemeene Studie Club-nya kemudian mendirikan PNI. Partai ini mendapat simpatik rakyat. Rakyat melihat harapan besar bahwa PNI mampu mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Namun di mata pemerintah Belanda, PNI justru gerakan radikal yang berbahaya. Di sisi lain, organisasi pergerakan lainnya di Bandung justru mengalami pasang surut.
“Setelah 1926, kekuatan di Bandung yang maju itu PNI,” kata M Rizky Wiryawan.
Selanjutnya sebagaimana dicatat sejarah, pemerintah Belanda menyatakan PNI sebagai partai terlarang. Belanda menangkap Soekarno dan menjebloskannya ke penjara Banceuy untuk diadili digedung Landraad dengan tuduhan makar.
ADVERTISEMENT
Baik penjara Banceuy maupun gedung Landraad, kini ditetapkan sebagai situs budaya yang dilindungi. Gedung Landraad namanya menjadi Gedung Indonesia Mengguggat. Di gedung ini, Soekarno membacakan pledionya berjudul Indonesia Mengguggat. Namun pledoi itu ditolak. Soekarno kemudian dijebloskan ke penjara Sukamiskin.
Rizky melihat di zaman pergerakan nasional terdapat ciri khas yang relevan untuk kondisi kekinian. Menurutnya, usia para tokoh pergerakan dahulu rata-rata masih muda, antara 20 tahun—bahkan kurang—hingga 30 tahunan. Bahkan Soekarno ketika mendirikan PNI baru berusia 25 tahun.
“Bahwa tak bisa dipisahkan, anak muda tak bisa tidak melek dari politik, saat usia muda itulah idealisme masih tinggi harus dimanfaatkan dalam kegiatan organisasi terutama yang memberi sumbangsih bagi masyarakatnya,” kata Rizky.
Pegiat komunitas pecinta sejarah Aleut yang juga penulis buku “Okultisme di Bandoeng Doeloe: Menelusuri Jejak Gerakan Freemasonry di Bandung”itu menambahkan, memaknai sejarah anak muda masa lalu bukan berarti meniru total pola pergerakan mereka.
ADVERTISEMENT
Ia berharap anak muda zaman sekarang mau memaknai sejarah dan memetik nilainya untuk kemudian disalurkan dalam kegiatan yang bermanfaat bagi orang banyak.
Contohnya, anak muda yang kini punya kesempatan kuliah, tentu memiliki peluang untuk mengabdi kepada masyarakat.
“Tak hanya kuliah berkutat dengan buku tapi terjun langsung ke masyarakat. Karena usia muda ini waktunya untuk berkecimpung, kalau suda tua susah. Di zaman pergerakan pun digerakkan anak muda. Maka semangatnya tidak boleh mati,” ungkap dosen AMIK & STIBANKS Al Ma’soem yang juga lulusan Administrasi Negara Unpad (S1) dan Studi Pembangunan ITB (S2). (Iman Herdiana)