Dolutegravir, Angin Segar untuk Pengobatan HIV

Konten Media Partner
6 Februari 2020 10:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi
ADVERTISEMENT
BANDUNG, bandungkiwari - Perkembangan pengobatan Human Immunodeficiency Virus (HIV) serta jenis obat terbaru yang diklaim memiliki efektivitas tinggi disebut-sebut akan segera hadir di Indonesia. Dolutegravir (DTG), begitulah obat tersebut dinamai.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, orang dengan HIV (ODHIV) atau orang dengan HIV/AIDS (ODHA) pada umumnya mengonsumsi terapi antiretroviral (ART) di lini satu dengan kombinasi tenofir 300 mg, lamivudin 300 mg, dan efavirenz 600 mg. Efavirens tersebutlah yang nantinya dapat digantikan dengan DTG yang memiliki dosis 50 mg per 24 jam.
"Cara kerja dari DTG dia itu menghambat enzim integrase. Jadi, itu adalah salah satu obat yang menghambat perkembangbiakan virus," ujar dr. Ronald Jonathan, saat ditemui usai kegiatan Kelas Komunitas Kesehatan Rumah Cemara, di Bandung, Rabu (5/2).
Meski belum dapat dipastikan kapan obat ini akan masuk ke Indonesia, Ronald menyebutkan akan ada beberapa ODHIV maupun ODHA yang diprioritaskan. "Kita enggak bisa minta untuk pindah pengobatan. Ada skala prioritas dari kementerian. Biasanya kalau nanti peralihan adalah yang baru (kasus HIV baru)," tutur Ronald.
ADVERTISEMENT
Beberapa orang yang memenuhi syarat untuk mendapatkan pengobatan DTG di antaranya adalah semua ODHIV/ODHA yang baru terdiagnosa, semua ODHIV/ODHA anak yang berusia 10 tahun ke atas dengan berat badan minimal 30 kilogram, serta ODHIV/ODHA yang gagal pada pengobatan lini pertama.
"Kabar baiknya, dapat digunakan untuk perempuan hamil dan perempuan usia subur," tutur Ronald.
dokter Ronald Jonathan saat menjelaskan Dolutegravir (DTG), di Bandung, Rabu (5/2). (Foto: Assyifa)
DTG sendiri dinilai memiliki beberapa kelebihan apabila dibandingkan dengan efavirens. "Dia efek sampingnya tidak seberat efavirens, serta risiko untuk terjadinya resistensi obatnya itu rendah," ujar Ronald.
Meski begitu, ia tidak memungkiri kemungkinan terjadinya efek samping dari penggunaan DTG, seperti insomnia, gelisah, nyeri kepala, mual, diare, atau pun ruam pada kulit.
"Efek samping adalah efek yang tidak kita kehendaki dan tidak terjadi pada semua pasien. Jadi, tolong kalau Anda lihat di sosial media ada banyak yang menulis soal efek samping, jangan horor, terus nanti jadi parno enggak mau minum obat," kata Ronald.
ADVERTISEMENT
Selain DTG, Ronald menyebutkan, bahwa terdapat satu alternatif pengobatan ART lain. "WHO sudah merekomendasikan efavirenz turun dari 600 mg menjadi 400 mg. Efek pengobatannya sama, tapi efek sampingnya berkurang," ujar Ronald.
Meski begitu, baik DTG maupun efavirenz dengan dosis 400 mg saat ini belum tersedia di Indonesia. (Assyifa)