Kisah Larangan Mistis Leluhur Terhadap Ronggeng Gunung Pangandaran

Konten Media Partner
2 Oktober 2018 8:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kisah Larangan Mistis Leluhur Terhadap Ronggeng Gunung Pangandaran
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Bi Ipoh (kiri) bersama para penari mengisi waktu dengan swa foto pada acara gladi revitalisasi seni Ronggeng Gunung Sapuangin di Pondok Seni yang diselenggarakan UPTD Balai Pengelolaan Taman Budaya Jawa Barat. (Agus Bebeng)
ADVERTISEMENT
BANDUNG, bandungkiwari – Generasi sekarang mungkin asing dengan seni warisan tradisi ronggeng gunung, sebuah kesenian khas selatan Jawa Barat. Kini, keberadaan ronggeng gunung nyaris punah. Penyebabnya regenerasi yang macet sampai ada larangan dari leluhur.
Maka untuk menyelamatkan ronggeng gunung dari kepunahan, UPTD Balai Pengelolaan Taman Budaya Jabar berusaha melakukan revitalisasi Ronggeng Gunung Sapuangin di Pondok Seni, Dusun Sapuangin, Padaherang, Kabupaten Pangandaran.
“50 tahun mereka tidak tampil. Sekarang kita ingin Ronggeng Gunung kembali hadir pada masyarakat,” ucap Toto Amsar Suanda, kurator dari Taman Budaya Jabar.
Toto Amsar sendiri yang acapkali terlibat dalam program revitalisasi berbagai macam seni tari tradisi, menemukan banyak tantangan dalam proses penelitiannya. Medan yang berat dalam penelusuran, serta kondisi waktu para pewaris Ronggeng yang kesehariannya berada di pertanian membuatnya kesulitan mendapatkan data-data terbaru.
ADVERTISEMENT
“Kadang apabila sudah ketemu dengan orang yang dicari. Mereka enggan untuk bicara, dengan alasan malu atau takut,” jelasnya.
Meski demikian, akhirnya Toto mampu menemukan tokoh-tokoh ronggeng gunung, antara lain, Mak Ees (63) dan Aki Kardi (66). Mereka tokoh penting ronggeng gunung untuk program revitalisasi seni Ronggeng Gunung Sapuangin agar selamat dari kepunahan.
Kisah Larangan Mistis Leluhur Terhadap Ronggeng Gunung Pangandaran (1)
zoom-in-whitePerbesar
Para penari merias diri untuk pementasan Ronggeng Gunung Sapuangin di Pondok Seni pada acara gladi revitalisasi yang diselenggarakan UPTD Balai Pengelolaan Taman Budaya Jawa Barat. (Agus Bebeng)
Aki Kardi adalah penabuh kendang pada seni Ronggeng Gunung Sapuangin. Sementara Mak Ees usia mudanya adalah salah satu Ronggeng Gunung Sapuangin yang acap kali tampil untuk dipanggil meronggeng. Namun setelah menikah, Mak Ees berhenti meronggeng.
ADVERTISEMENT
Menurut Toto, para pewaris ronggeng tersebut sudah berusia sepuh dan harus segera mewariskan pengalaman dan pengetahuan seni ronggengnya kepada generasi berikutnya.
“Awalnya terhenti seni Ronggeng Gunung Sapuangin karena adanya larangan dari leluhur mereka, yakni Indung Dawi atau Sardiem,” ucap Toto Amsar.
Ihwal pelarangan tersebut menurut Toto, yang didapatnya langsung dari Tasim keturunan dari Indung Dawi, saat Indung Dawi diundang ngaronggeng di “Pakuan Pajajaran”. Dirinya dijemput Pangaring dan pergi bersamanya menuju Pakuan Pajajaran.
Dalam perjalanan, Indung Dawi diminta Pangaring untuk berjalan dengan tatapan ke depan dan melarang untuk menengok ke belakang. Pada saat itu Dawi menurut apapun permintaan pangaring. Usai meronggeng Dawi disuruh tidur ditemani pengiring dan para pemuda tampan, tetapi diperingatkan untuk tidak bangun jika belum dibangunkan.
ADVERTISEMENT
Namun di luar keinginannya, Dawi terbangun dan melihat seluruh pengiring dan para pemuda yang menemaninya ternyata harimau. Kekagetannya tidak serta-merta hilang, ketakukan itu membuat Dawi pura-pura tidur. Tidak lama kemudian seseorang membangunkannya dan mengajak pulang.
Kisah Larangan Mistis Leluhur Terhadap Ronggeng Gunung Pangandaran (2)
zoom-in-whitePerbesar
Dua orang lelaki berada kekuatan saling mendorong pada acara gladi revitalisasi seni Ronggeng Gunung Sapuangin di Pondok Seni yang diselenggarakan UPTD Balai Pengelolaan Taman Budaya Jawa Barat. (Agus Bebeng)
Sampai di rumah Dawi masih mengalami ketakutan. Dia mengumpulkan anak-cucunya menceritakan pengalaman yang baru terjadi sejak saat itu turun ucap (larangan):
“Geus nepi ka semet ema bae ngaronggeng teh. Kabeh anak-incu teu meunang aya nu jadi ronggeng deui. (Sudahlah cukup sampai ema saja yang menjadi ronggeng. (Semua anak-cucu ema jangan lagi ada yang menjadi ronggeng),” ucap Toto menirukan kalimat larangan tersebut.
ADVERTISEMENT
Pesan Indung Dawi terus dipatuhinya keturunannya dalam jangka relatif lama. Seluruh anak-cucu Indung Dawi tidak ada satu pun yang menjadi ronggeng. Generasi ronggeng keturunan ini benar-benar terputus, karena tidak ada seorangpun dari mereka yang berani melanggar larangan tersebut.
Seluruh anak Indung Dawi kini telah meninggal dunia, dan yang terakhir adalah Dawisah dengan umur mencapai sekitar 130 tahun. Kini buyutnya (karena tak disebut dalam larangan) menjadi penerus Indung Dawi, yakni Tati dan Iboh (adik dari bapaknya Tati). Tati belajar dari Ma Ees (Nesem) sejak beberapa tahun yang lalu. (Agus Bebeng)