news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Kisah Para Korban Jeratan Pinjaman Online

Konten Media Partner
16 Januari 2020 17:37 WIB
Ilustrasi (Sumber: pixabay.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi (Sumber: pixabay.com)
ADVERTISEMENT
BANDUNG, bandungkiwari - Beberapa bulan ini, hidup Sinta (bukan nama sebenarnya) tak lagi sama. Hampir setiap hari, perempuan 45 tahun ini harus menghadapi “teror” berupa tagihan utang dari aplikasi pinjaman online (pinjol).
ADVERTISEMENT
Bukan hanya menagih, debt collector pun menebar ancaman. Paling parah, si penagih menghubungi sejumlah orang di daftar kontak telepon selular Sinta, baik melalui pesan singkat maupun sambungan telepon, hanya untuk mengumumkan kalau Sinta punya utang.
“Saya merasa dipermalukan. Saudara, teman, kenalan saya, jadi tahu kalau saya punya tunggakan. Saya juga merasa diancam karena mereka bilang kalau gak bayar, saya mau diperkarakan (ke polisi),” kata Sinta, saat ditemui beberapa waktu lalu.
Sinta terjerat utang pinjol gara-gara iba terhadap temannya, seorang single parent yang sedang membutuhkan biaya. Ia meminjamkan telepon genggam dan kartu identitasnya untuk mengajukan pinjaman ke sejumlah aplikasi pinjol. Tidak hanya satu, tapi enam aplikasi.
Bunga dan denda yang tinggi membuat utang membengkak dengan cepat. Si teman tidak mampu membayar dan Sinta yang harus menanggung akibatnya.
ADVERTISEMENT
“Saya gak ngerti sih apa itu pinjaman online, makanya saya kasih aja data saya ke teman dengan niat membantu. Saya pikir cuma 500 ribu, gak masalah lah. Tapi dalam waktu dua bulan, utang itu sudah membengkak menjadi 7 juta. Itu baru dari satu aplikasi. Saya gak ngerti bunganya sebesar itu. Sepertinya bunga dihitung harian. Ini lebih-lebih dari rentenir,” ujar Sinta dengan nada terdengar emosi.
Kisah serupa dialami Dahlia (juga bukan nama sebenarnya), yang data pribadinya dipakai pacarnya berutang di aplikasi pinjol. Saat putus, ia terpaksa menanggung utang itu.
Dahlia merasa hidup dalam ketakutan. Apalagi, pihak aplikasi mengancam akan mengumumkan utangnya ke seluruh kontak dan media sosial. Data KTPnya yang dikirim ke aplikasi pinjol sebagai syarat pinjaman, dijadikan alat intimidasi.
ADVERTISEMENT
“Batas jam kerja kami sampai jam 6 sore, jika memang tidak ada pembayaran sama sekali maka dengan terpaksa kami akan open donasi ke semua kontak dan media sosial Anda setiap hari pagi siang malam. Jadi, kami harap Anda jangan main-main dengan utang dikarenakan keterlambatan dan itikad pembayaran yang sangat buruk. Ingat NIK KTP dan data Anda lebih berarti daripada utang,” tulis penagih sebuah aplikasi pinjol dengan pesan bernada ancaman yang diterima Dahlia.
Tidak hanya itu, Dahlia juga dikirimi pesan yang bernada ancaman lainnya. ”Pihak agency dan kuasa hukum kami sedang menelusuri keberadaan Anda saat ini. Pastikan Anda tetap berada di alamat sesuai KTP. Jika kami tidak menemukan Anda, kami akan minta bantuan pihak berwenang dan RT/RW setempat.”
ADVERTISEMENT
Mendapat sejumlah pesan itu, Dahlia merasa diteror. “Aku tertekan banget. Merasa terancam dan takut,” ujar gadis berusia 18 tahun ini.
Korban pinjol tidak hanya Sinta dan Dahlia. Ketik kata kunci “pinjaman online” di mesin pencari atau di salah satu situs jejaring sosial, maka akan bermunculan korban-korban yang terjerat pinjol. Sebagian besar mengeluhkan tingginya bunga dan denda pinjol sehingga utang mereka membengkak dan akhirnya kesulitan membayar. Salah satunya, Sabar yang mencuitkan kesulitan membayar utang pinjol di akun Twitternya. Warga Depok, Jawa Barat, ini bahkan rela menjual ginjalnya agar utangnya lunas.
“Jika memang tidak ada solusi lagi untuk bisa melunasi utang pinjaman online tersebut, saya terpaksa menjual ginjal saya. Itu pun jika ada yang mau dan setahu saya tindakan itu ilegal,” kata Sabar melalui pesan yang dikirim via Whatsapp, Kamis (9/1).
ADVERTISEMENT
Sabar terpaksa berutang di pinjol demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Setelah istrinya keluar kerja, kondisi ekonomi keluarga Sabar morat-marit, hanya mengandalkan gajinya sebagai petugas keamanan yang dirasa tidak cukup.
Sabar punya pinjaman di 20 aplikasi pinjol dengan jumlah pinjaman masing-masing antara 1 juta hingga 3 jutaan. Saat ini utangnya sudah merangkak ke angka Rp 40 juta dan banyak di antaranya yang jatuh tempo. Alhasil, tagihan datang setiap hari melalui telepon dan pesan singkat. Tagihan itu tidak hanya datang ke Sabar dan isteri, tapi juga beberapa orang yang ada di kontak teleponnya.
“Ada beberapa dari kontak telepon saya yang ditelepon dan disms dari pihak pinjaman online, saya akhirnya malu,” tutur Sabar.
ADVERTISEMENT
Pinjaman online hingga puluhan juta rupiah juga menjerat Papa, seorang pria asal Solo. Tak tanggung-tanggung, utangnya mencapai Rp 32 juta dari 21 aplikasi pinjol. Pria asal Solo ini menuliskan pengalamannya terjerat utang pinjol di akun Twitter.
Awalnya, dia hanya meminjam satu juta rupiah di sebuah aplikasi pinjol. Dari angka itu, Papa hanya menerima Rp 750 ribu dengan alasan dipotong biaya administrasi. Dana tersebut harus dilunasi dalam jangka waktu seminggu. Jika ingin diperpanjang seminggu lagi, Papa harus membayar Rp 250 ribu.
“Bisa dibayangkan jika dalam 3 minggu saya belum melunasi pinjaman saya, maka saya harus membayar 100% nominal pinjaman. Sebuah angka yang gila!” cuit Papa.
Dari 21 aplikasi yang diakses, lanjut Papa, hanya satu yang berizin. Sementara sisanya masih dibilang ilegal. Menurutnya, ada perbedaan antara yang legal dan ilegal. Pinjol legal lebih banyak persyaratannya, namun bunganya bisa dibilang wajar antara 18-19 persen. Sedangkan, pinjol ilegal lebih mudah persyaratannya, tapi dengan bunga yang lebih tinggi, hingga mencapai 30 persen. Selain itu, pinjol ilegal hanya memberikan tenggat waktu 7 hari pelunasan.
ADVERTISEMENT
Tapi, kata Papa, baik pinjol legal maupun ilegal, keduanya menawarkan kemudahan pinjaman. Inilah yang justru makin menjerumuskan dirinya ke dalam perangkap utang.
Kemudahan meminjam mendorong Papa melakukan cara “gali lubang, tutup lubang.” Meminjam di satu aplikasi untuk menutup utang di aplikasi yang lain.
“Ketika awal saya pinjam, uang habis buat kebutuhan sehari-hari. Ketika kurang, nambah lagi dan lagi karena kemudahan proses pinjaman tersebut. Ketika sudah jatuh tempo, tentu saja saya harus mencari cara untuk menutup utang tersebut kepada fintech (financial technology) yang lain. Begitu seterusnya,” ujar Papa melalui fitur pesan langsung.
Papa tidak menyadari perilaku itu membuat beban utangnya semakin berat. “Pada awal Desember baru saya sadar bahwa saya harus menyisikan uang Rp 4 juta hanya untuk membayar bunga. Sedangkan utang pokok masih belum terlunasi. Sampai terakhir total pokok pinjaman dan bunga sudah sampai di angka Rp 32 juta,” ujar Papa. (Yuli Krisna)
ADVERTISEMENT