Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten Media Partner
Menanamkan Kearifan Lokal Lewat Festival Drama Bahasa Sunda
13 April 2018 6:55 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
ADVERTISEMENT

Adegan pementasan kelompok Teater Getih berjudul Odeu pada Festival Drama Basa Sunda ke-19 di Gedung Kesenian Rumentang Siang. (Foto-foto: Agus Bebeng/ bandungkiwari.com)
ADVERTISEMENT
BANDUNG, bandungkiwari - Suasana ruangan begitu gelap, seolah menyiratkan kehidupan yang muram. Perlahan lampu menerangi panggung. Memperlihatkan tubuh para aktor yang berbagi kisah kehidupan panggung yang kelam.
Ada pesan yang mereka wartakan tentang panggung yang telah menjadi dunia para aktor. Sementara kekuasaan siap menghancurkan gedung bersama mimpi para senimannya.
Itulah salah satu pementasan pembuka dari kelompok teater Getih yang membawakan naskah Odeu karya Lugiena Dea pada pementasan Festival Drama Basa Sunda (FDBS) ke-19 yang diselenggarakan Teater Sunda Kiwari bekerjasama dengan UPT pengelola Kebudayaan Propinsi Jabar pada Senin (9/4/2018) dii Gedung Kesenian Rumentang Siang Bandung.
FDBS yang diselenggarakan kali ke-19 ini diikuti sebanyak 51 kelompok teater se-Jabar dan Banten untuk kategori kelompok atau grup teater tingkat umum. Festival yang telah digelar sejak 1990 ini akan berlangsung selama 20 hari, mulai 9 April hingga 29 April mendatang.
ADVERTISEMENT
Kelompok teater diwajibkan mengambil satu dari 6 naskah teater berbahasa Sunda yang sudah disediakan panitia, yaitu: Wanci karya Ayi G Sasmita, Neang Sarakan karya Dadan Sutisna, Odeu karya Lugiena Dea, Tarung karya N Nazarudin Azhar, Ringkang Peuting karya Utuy Sontani (selamat jalan anak kupur) diadaptasi Rosyid E. Abby, dan Babad Alam Jaga karya yusef Muldiyana.
Menurut Dadi P. Danusubrata ketua pelaksana festival, selain sebagai ajang pelestarian bahasa Sunda, kegiatan FDBS ini pun merupakan bentuk pelestarian teater berbahasa Sunda. Hal tersebut diselenggarakan agar teater berbahasa ibu tidak hanya hadir di pusat kota, tetapi berkembang di daerah lainnya.
Secara tidak langsung menurutnya FDBS yang terus berulang sampai ke-19 kali ini telah melahirkan banyak kelompok teater di sekolah maupun masyarakat umum di pelbagai daerah di Jabar dan Banten.
ADVERTISEMENT
Kemunculan kelompok teater di daerah tertentunya selain berdampak positif, pada sisi kreatifitas anak muda, pun ikut melahirkan para penulis naskah drama Sunda generasi baru.
“Namun yang menarik dari penyelenggaraan FDBS adalah adanya teater yang fokus mementaskan naskah berbahasa Sunda. Kelompok itu dulu pernah mengikuti festival, sampai saat ini konsisten menjadi kelompok teater Sunda,” tutur Dadi.
Selain persoalan pelestarian bahasa Sunda, Dadi memiliki mimpi yang ingin diraihnya, yakni menanamkan moralitas kepada masyarakat melalui teater.
“Dalam teater itu ada pesan moral yang tinggi. Terutama teater berbahasa Sunda yang selalu mengolah dan menyampaikan nilai-nilai kearifan lokal dalam pementasannya,” tutur Dadi yang juga merupakan pengajar di salah satu perguruan tinggi.
Baginya naskah-naskah teater berbahasa Sunda memiliki pesan moral yang tinggi kecendrungan, meski banyak dibalut dengan komedi dan satir. Dadi memberi salah satu contoh naskah yang dilombakan FDBS kali ini yang berjudul Wanci (waktu) membuatnya bisa membuatnya merenungi sisi kehidupan.
ADVERTISEMENT
“Tinggal persoalannya, bagaimana sutradara mampu menerjemahkan itu semua menjadi pementasan yang memiliki nilai hidup,” jelas Dadi. (Agus Bebeng)