Konten Media Partner

Menelisik Teater Tubuh lewat Festival di Selasar Sunaryo, Bandung

24 Juli 2019 16:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pementasan teater "Kuda Lumping Urban" yang ditampilkan Lab Teater Tubuh pada Festival Teater Payung Hitam 2019, di amphitheater Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, Selasa (23/7) malam. (Foto-foto: Agus Bebeng/Bandungkiwari)
zoom-in-whitePerbesar
Pementasan teater "Kuda Lumping Urban" yang ditampilkan Lab Teater Tubuh pada Festival Teater Payung Hitam 2019, di amphitheater Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, Selasa (23/7) malam. (Foto-foto: Agus Bebeng/Bandungkiwari)
ADVERTISEMENT
BANDUNG, bandungkiwari – “Kuda Lumping nasibnya nungging. Mencari makan Terpontang-panting. Aku juga dianggap sinting. Sebenarnya siapa yang sinting...”
ADVERTISEMENT
Lagu dari kelompok Swami memecah sepi di Selasar Sunaryo Art Space. Para lelaki bertelanjang dada dan perempuan yang mengenakan kain samping terus bergerak mengikuti irama musik.
Tubuh-tubuh tradisi yang dikebiri modernitas itu berinteraksi dengan Kuda Lumping yang meringkik, seolah menceritakan ketertindasan, pergulatan, bahkan perlawanan.
Itulah salah satu pementasan berjudul "Kuda Lumping Urban" yang ditampilkan Lab Teater Tubuh pada Festival Teater Payung Hitam (FTPH) 2019, di amphitheater Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, Selasa (23/7) malam.
Sebelum Lab Teater Tubuh, tampil pula Teater Api Indonesia yang membawakan naskah berjudul "Max" gubahan dari naskah One Flew Over The Chuckoo's Nets.
FTPH yang kali pertama diselenggarakan itu memang menghadirkan pementasan-pementasan teater yang mengeksplorasi tubuh sebagai media utamanya. Teks pada pementasan tersebut tidak begitu dominan, bahkan nyaris tidak ada. Penonton akan diajak tamasya imajinasi dengan narasi tubuh yang menggelontorkan beragam pesan.
ADVERTISEMENT
Festival diselenggarakan pada tanggal 23 sampai 28 Juli 2019. Selain menghadirkan 8 pementasan teater dari beberapa daerah, akan ada saresehan yang menampilkan pembicara; Jakob Soemardjo, Afrizal Malna, Halim HD, dan Fathul A. Husein.
Menyoal festival tersebut, Rachman Sabur, penanggung jawab festival sekaligus motor di Teater Payung Hitam (TPH), menjelaskan kegiatan tersebut merupakan pengembangan dari apa yang telah dikerjakannya di bidang teater selama 37 tahun.
Apalagi selama ini TPH dikenal dengan pertunjukan yang menghadirkan tubuh sebagai bahasa panggung.
"Sebenarnya teater tubuh adalah bagaimana kita mengenal kembali pada ketubuhan kita sendiri, ketubuhan orang lain atau ketubuhan lingkungan," jelas Rachman usai pementasan.
Menurutnya, yang paling penting dari teater tubuh adalah bagaimana seorang aktor mencoba mengenal dan memahami tubuhnya sendiri.
ADVERTISEMENT
Sementara itu pada waktu yang sama, aktor senior Tony Broer menjelaskan bahwa teater tubuh bukanlah hal yang baru.
"Masalahnya kenapa menjadi berbeda. Mungkin karena tubuh sudah ditinggalkan oleh teater sendiri," tegas lelaki yang dikenal dengan lakon "Kaspar" tersebut.
Broer menjelaskan bagaimana seolah-olah tari bisa menggunakan tubuh, padahal menurutnya esensi teater adalah tubuh itu sendiri. Namun menurutnya, teks yang dominan mengakibatkan cara pandang teater tubuh seperti 'baru'.
Senada dengan itu, Rachman Sabur menjelaskan festival yang diselenggarakan itu sebagai sarana untuk menyosialisasikan pengenalan tubuh kepada para pelaku teater, tidak hanya untuk para aktor teater tubuh.
Lebih jauh, Rachman Sabur menjelaskan bagaimana terbukanya kesempatan untuk bermain teater tubuh di luar negeri. Berbeda dengan teater yang mengedepankan teks. Karena menurutnya, masyarakat luar memiliki keingintahuan yang tinggi terhadap budaya Indonesia, dua hal tersebut sangat mudah dipahami dengan jembatan tubuh sebagai tradisi nusantara.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari masalah tubuh, pada pementasan Kuda Lumping Urban garapan Lab Teater Tubuh dengan pengarah Rachman Sabur, Tony Broer, dan Irwan Jamal tersebut mencoba mengangkat sosiokultural yang terjadi dalam cakupan realitas keseharian masyarakat.
Kerupuk yang hadir dalam pementasan tersebut dianggap Rachman Sabur sebagai simbol makanan masyarakat kecil. Air dan api pun menjadi bagian penting dari pertunjukan meski pementasan berakhir dengan dibakarnya Kuda Lumping, yang terinspirasi dari tradisi Ogoh-ogoh di Bali.
"Pementasan Kuda Lumping di masyarakat, sebenarnya kalau dipahami merupakan teater tubuh. Saya ingin dengan kegiatan ini anak muda memahami pula tradisi," ucap Rachman.
Lebih lanjut Rachman menjelaskan, hal terpenting dari pertunjukan Kuda Lumping tradisional bukan masalah kesurupan, karena tentunya bertolak belakang dengan kaidah seni peran. Namun yang dapat diambil oleh para aktor, terutama anak muda, adalah militansi, stamina, dan totalitas.
ADVERTISEMENT
Di balik penjelasan tentang teater tubuh, Rachman berharap festival selanjutnya lebih banyak melibatkan para aktor. Baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
"Ada yang ingin terlibat. Tapi kita belum berani mengajaknya, karena acara ini tanpa sponsor takut jadi mengecewakan. Jadi untuk yang perdana ini, melibatkan para aktor dan kelompok yang bisa kita raih dulu," imbuhnya.
Untuk penyelenggaraan FTPH berikutnya, Rachman menyatakan sudah ada 6 negara yang tertarik untuk berpartisipasi. (Agus Bebeng)