Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Menjaga Pusaka Sepatu Perajin Cibaduyut
24 Juli 2018 10:14 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
ADVERTISEMENT
Pemilik sepatu Wayout dan Exodos57, Cibaduyut, Bandung, Ferawati Klaudia (kiri) dan Gally Magido Rangga (kanan) memperlihatkan produk sepatu di tempat penjualan dan bengkel produksi. (Foto: Agus Bebeng/Bandungkiwari.com)
ADVERTISEMENT
BANDUNG, bandungkiwari - “Hidup itu tragedi waktu kamu melihatnya dari jarak dekat, tapi sebuah komedi saat kamu melihatnya dari jarak jauh,” kata Charlie Chaplin.
Mungkin pernyataan Charlie Chaplin bisa menjelaskan perihal perjalanan hidup bernama Gally Magido Rangga, pemilik produk sepatu bernama Wayout dan Exodos57. Gally tanpa sungkan menjelaskan secara detail awal mula usaha sepatu yang dirintisnya sambil tertawa.
Berangkat dari jalanan yang keras bergumul dengan asap bis kota dan debu kering yang memanjangkan musim kemarau, tidak membuatnya berhenti bermimpi. Mungkin saat itu tidak terbayang dirinya akan bergumul dengan pensil, mereka-reka purwarupa sepatu yang selalu menjadi idamannya: sepatu boots.
Gally sang pengamen jalanan itu kini telah menjadi salah satu daftar pengusaha muda yang mengharumkan nama bangsanya melalui sepatu. Tidak tanggung para pecinta sepatu jenis boots maupun sneakers dari dalam dan luar negeri memesan produknya.
ADVERTISEMENT
Namun di balik kesuksesannya mencipta sepatu yang diminati pasar ini, Gally tidak lupa pada pertempuran kali pertama menerjuni sepatu, yakni tukang sepatu.
Perajin menyelesaikan pembuatan sepatu merk Wayout dan Exodos57 di bengkel produksi. (Foto: Agus Bebeng/Bandungkiwari.com)
“Awal saya belajar sepatu dari Cibaduyut. Melihat, dan memperhatikan mereka membuatnya,” ucap Gally seraya mengumpulkan batas ingatannya.
Lebih lanjut Gally menegaskan jika dirinya banyak berguru pada pembuat sepatu di Cibaduyut, karena kali pertama terjun ke dunia penutup kaki ini, dia tidak punya pengetahuan apa pun.
Dia hanya mengandalkan tekad bahkan kenekatan, buah yang dipetik dari hasil pendidikan alami dari jalanan.
Untuk mempermudah pengerjaan dan belajar secara langsung tentang sepatu, Gally pun membuat bengkel sepatu pertama di kawasan Cibaduyut. Pada saat itulah dirinya mulai sedikit demi sedikit mengetahui dan belajar secara langsung perihal sepatu.
ADVERTISEMENT
Sebagai orang yang merasa terbantu dan mendapat ilmu persepatuan dari Cibaduyut, Gally tidak melupakan masa lalunya. Dirinya merasa terpanggil dan wajib untuk membantu menghidupkan kembali kehidupan para perajin sepatu yang semakin berkurang.
“Saya ingin menjaga sekaligus meregenerasi perajin Cibaduyut,” tegasnya.
Hal tersebut tentunya bukan sekadar bicara, atau menabur harapan pada tanah kering kerontang. Berawal dari 2 orang pekerja perajin sepatu dari Cibaduyut, kini 30 perajin telah bekerja di bengkelnya. Bahkan dirinya ingin menambah jumlah pekerja untuk menutupi pesanan yang tidak tergarap. Namun tetap dilakukan secara selektif dan mencari para perajin yang bekerja dengan hati.
Keberlanjutan para perajin bagi dirinya tentu tidak bisa dihindari. Selain memperkerjakan perajin dari Cibaduyut, beberapa pekerja dari daerah lain, bahkan yang tidak mengenal dunia sepatu pun dia libatkan.
ADVERTISEMENT
Keputusan tersebut diambil Gally agar perajin muda lahir dan tidak berhenti di generasi tua semata.
“Saya ingin menghadirkan kebanggaan para perajin sepatu. Jika membuat sepatu itu pride,” imbuhnya.
Perajin menyelesaikan pembuatan sepatu merk Wayout dan Exodos57 di bengkel produksi. (Foto: Agus Bebeng/Bandungkiwari.com)
Kebanggaan menjadi perajin sepatu itulah yang ingin dihadirkan Gally kepada para perajin muda. Tidak tanggung dirinya memberikan gaji yang cukup besar untuk para perajin yang bekerja dengannya, tentunya berdasarkan kesungguhan para perajin itu sendiri bekerja.
Demi mimpinya tersebut, bahkan Gally bersama manajeman Wayout memboyong satu keluarga dari kakek sampai cucu terlibat di bengkel pembuatannya.
Selain untuk menjaga keluarga perajin sepatu, maksud tersebut dilakukan agar pekerja lain yang tidak punya kemampuan, dapat berlatih secara langsung seperti dirinya dulu.
ADVERTISEMENT
Meski saat ini pabrik sepatu sudah banyak berdiri di mana-mana, Gally tetap membuat produknya secara manual. Gally tidak ingin membuat sepatunya dengan pabrikasi.
Pabrikasi baginya adalah pembunuhan untuk para perajin sepatu itu sendiri. “Yang kaya nanti bukan perajin sepatu, tapi pengusaha sepatu,” tegas Gally. (Agus Bebeng)