Konten Media Partner

Cerita Profesor Djoko Iskandar, 40 Tahun Meneliti Reptil

22 April 2018 21:18 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Cerita Profesor Djoko Iskandar, 40 Tahun Meneliti Reptil
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Prof. Dr. Djoko T. Iskandar (Humas ITB)
BANDUNG, bandungkiwari - Sulit dibantah untuk tidak mengatakan Indonesia sebagai negeri yang kaya, sumber daya alamnya melimpah, termasuk di bidang keanekaragaman hayati (biodiversitas).
ADVERTISEMENT
Nah, salah satu anak dari biodiversitas ialah herpetologi yang merupakan cabang ilmu zoologi yang mempelajari reptil dan amfibi.
Kekayaan akan keanekaragaman binatang melata itu mendorong Prof. Dr. Djoko T. Iskandar untuk mendalami keanekaragaman biodiversitas negeri, khususnya di bidang herpetologi.
Di dunia herpetologi, Djoko dikenal profesor katak alias kodok. Katak membuat nama dosen kelahiran Bandung, 23 Agustus 1950 ini, mendunia. Tapi di luar katak, ia juga menggeluti penelitian hewan reptil lainnya seperti cicak dan ular.
Menurutnya, Indonesia negeri yang diapit oleh 2 benua (Asia dan Australia), 2 samudera (Hindia dan Pasifik), dan 2 sirkum (Mediterania dan Pasifik). Hal ini membuat Indonesia sebagai salah satu negara megabiodiversity dengan lebih dari 10 persen spesies dunia hidup.
ADVERTISEMENT
Indonesia memiliki 25.000 spesies tumbuhan berbunga, 1.592 spesies burung, 515 spesies mamalia, 35 spesies primata, 781 jenis reptil, dan 270 spesies amfibi.
Dari kekayaan tersebut, tidak banyak peneliti dalam negeri yang tertarik untuk menggelutinya, selain dikarenakan faktor biaya, faktor birokrasi juga menjadi kendala.
Akan tetapi semua kendala tersebut tak lantas membuat Prof. Djoko berhenti meneliti. Menurutnya, sebaran spesies katak di Indonesia beragam.
Sebagai contoh, untuk 1.500 ekor ular setelah diteliti hanya ditemukan 5 spesies yang berbeda, sedangkan untuk katak dapat ditemukan hingga 40 spesies berbeda.
Ilustrasi penelitian. (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi penelitian. (Foto: Pixabay)
Ketertarikan Prof. Djoko dengan katak berawal dari kembalinya ke Tanah Air setelah menyelesaikan studi magister dan doktoral di Université des Sciences et Techniques du Languedoc, Montpellier, Prancis.
ADVERTISEMENT
Saat itu, penelitian binatang amfibi itu sangat kurang. Di masa awal proses penelitian sekitar tahun 1976, masalah referensi menjadi salah satu kendala serius. Pascakemerdekaan Indonesia hingga tahun 1976, hanya ada 5 jurnal ilmiah dalam negeri yang membahas tentang eksistensi spesies katak.
Hal inilah yang membangkitkan semangatnya untuk meneliti katak dan mempublikasikan jurnal ilmiah sebanyak-banyaknya demi menunjukkan kepada dunia tentang biodiversitas katak di Indonesia.
Pada tahun 1977, Prof Djoko melakukan ekspedisi ke Kalimantan Tengah dan berhasil menemukan katak tanpa paru-paru, hal ini tidak lepas dari kontribusi rekannya dari Chicago yang telah memberikan sampel katak dengan spesies yang sama berasal dari Filipina. Kecurigaannya bermula karena katak tersebut ditempatkan dalam wadah, keesokannya mati padahal tanpa kontak tangan manusia.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, setelah bersusah payah menemukan katak dengan spesies sama, ia melakukan penelitian dengan kehati-hatian ekstra. Maka terungkap bahwa katak tersebut tidak memiliki paru-paru. Setelah dikonfirmasi, ia mengabarkan ke rekannya di Chicago, fenomena ini membuat publik Amerika tercengang.
Nama ilmiah katak tersebut Barbourula kalimantanensis, yang masuk famili Discoglossidae, penemuan pertama sebagai momentum awal kariernya menjadi seorang herpetologis yang dikenal dunia.
Selama 40 tahun kariernya sebagai seorang herpetologis yang meneliti katak, Prof. Djoko banyak melakukan ekspedisi keluar masuk hutan. Ia telah menjelajah hutan belantara di 32 provinsi di Indonesia, juga di luar negeri seperti Inggris, Amerika, dan Kamboja. Dalam penelitian di hutan-hutan luar negeri, ia tetap fokus pada objek memiliki kekerabatan dekat dengan Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Kalau ekspedisi di hutan Jawa itu angker, Sumatera disapa erangan harimau, Kalimantan spesies reptil sedikit, Sulawesi dan Papua memiliki keanekaragaman tinggi namun risiko malaria juga tinggi,” kenang Prof. Djoko.
Pria yang berkantor di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, ITB, juga menceritakan saat melakukan ekpedisi ke wilayah Sulawesi pada tahun 2000, ia bahkan terkendala konflik di Poso.
“Kalau malam-malam ban mobil ditusuk, kita bingung ga ada bengkel terdekat, bahkan di beberapa wilayah sering disangka sebagai orang kaya gila ngabisin duit cuma buat keluar masuk hutan, makanya sering dimanfaatkan,” imbuhnya.
Hingga saat ini, tercatat lebih dari 100 spesies reptil yang berhasil ditemukan prof Djoko.
“Indonesia sangat kaya biodiversitas, jika seandainya saya lahir 3 kali pun belum tentu tuntas mengobservasi seluruh kekayaan hayati, khususnya reptil,” ungkap Prof. Djoko, seperti dikutip dalam siaran pers ITB.
ADVERTISEMENT
Dedikasinya terhadap dunia reptil dan amfibi membuat peneliti dunia mengabadikan nama Djoko Iskandar sebagai nama untuk 6 spesies reptil, di antaranya Djokoiskandarus annulatus, Polypedates iskandari, Draco iskandari, Fejervarya iskandari, Luperosaurus iskandari, dan Collocasiomya iskandari.
Penamaan itu sebegai bentuk penghormatan atas jasanya dalam dunia herpetologi. Kepiawaiannya melihat peluang telah mengantarkannya menjadi herpetologis yang dipercaya dunia. Katak yang oleh sebagian besar masyarakat dianggap hewan yang menjijikkan, namun dalam sudut pandangnya katak adalah hewan yang istimewa.
Penerima penghargaan Habibie Award 2005 di bidang sains ini mengaku dengan mempelajari katak dapat mengungkapkan misteri yang tersembunyi.
"Katak dapat mewakili kondisi lingkungan habitatnya, keselarasan proses biologi dengan geologi serta mampu memberikan prediksi kondisi geologi di masa lalu, semisal di wilayah Sulawesi ditemukan 7 spesies katak yang berbeda namun memiliki kekerabatan yang dekat," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut menunjukkan bahwa di masa lalu pulau Sulawesi merupakan 7 pulau terpisah yang akhirnya bergabung, menurut beberapa literatur hal ini dikonfirmasi benar.
Selain itu, dapat diprediksi pula kapan waktu terjadinya penggabungan pulau tersebut dengan melihat pola evolusi katak.
Sabagai peneliti, Djoko memiliki keuletan luar biasa. Dia selalu memegang prinsip, “Jadilah tuan di daerah bertuan".
"Ingat, perlakukan objek yang kalian teliti seperti bayi, rawat, dedikasi, dan kontrol,” pesan Prof. Djoko, pesan yang kerap ia sampaikan kepada mahasiswanya.
Daerah “tak bertuan” memiliki makna jadikan objek penelitian pada lingkup kajian yang belum diteliti atau bahkan tak terpikirkan oleh orang lain.
Contohnya, menemukan antibiotik alami dengan mempelajari zat pertahanan tiap spesies katak, mempelajari gerakan stereoskopik mata katak untuk mengembangkan alat pengintai dan hal-hal lainnya.
ADVERTISEMENT
Setelah menemukan objek yang ingin diteliti, selanjutnya ada langkah lain yang harus dijalankan, yaitu konsisten, jangan cepat puas, dan konseptual.
Kini, memasuki usia yang ke-68 tahun, Prof. Djoko menyibukkan diri dengan menjadi dosen di SITH ITB. Tentunya, ia masih aktif meneliti dan menulis jurnal ilmiah dari beberapa spesies yang belum diselesaikan.
Tiga tahun yang lalu, lututnya mengalami pembengkakan yang mengharuskannya operasi serta memerlukan proses pemulihan selama enam bulan usai melakukan ekspedisi di Gunung Gandang Dewata, Sulawesi Barat.
Prof. Djoko menilai bahwa hal tersebut merupakan peringatan bagi dirinya untuk menyudahi ekspedisi dan cukup meneliti di laboratorium dan melanjutkan menulis. (Iman Herdiana)