Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Literasi Digital Masyarakat Indonesia Dianggap Masih Buruk
27 April 2018 21:38 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
ADVERTISEMENT
Banjarhits.id, Banjarmasin - Koordinator Jaringan Pegiat Literasi Digital Indonesia (Japelidi) Novi Kurnia, mengatakan mayoritas pengguna internet belum bijak ketika menggunakan media digital. Fenomena ini berdasarkan hasil kajiannya pada periode 2010-2017.
ADVERTISEMENT
Ia berkata kondisi semacam ini berdampak atas menjamurnya berita hoaks, naiknya cyber bullying, dan maraknya hate speech. Lebih jauh, kata Novi, ada kecenderungan pemanfaatan media digital untuk kepentingan aksi terorisme, kekerasan, pedofil, dan aksi ajakan bunuh diri secara langsung.
”Hasil kajian Japelidi, tumbuhnya fenomena tersebut karena literasi digital masyarakat Indonesia belum baik. Ini problem yang mesti dicarikan solusi bersama-sama,” kata Novi Kurnia usai membuka acara workshop penyusunan buku panduan literasi digital Prodi FISIP UIN Banjarmasin, yang dibuka secara resmi oleh Rektor Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, Jumat (27/4).
Novi menjelaskan, ada tiga pendekatan dalam mendefinisikan literasi digital, pertama pendekatan proteksi, yaitu ketika media digital dianggap hanya mempunyai sisi negatif. Untuk itu, pengguna media digital, terutama remaja dan anak-anak, harus dilindungi.
ADVERTISEMENT
Kedua, perlu pendekatan instrumentalis yang menganggap kecakapan media digital dinilai ketika seseorang menguasai media digital secara teknis. Adapun pendekatan ketiga melalui pemberdayaan, yakni media digital bisa digunakan memberdayakan penggunanya sesuai kebutuhan.
Tapi, secara umum, dia berkata pendekatan proteksionis masih mendominasi karena pola ini menganggap seseorang dinyatakan terliterasi secara digital. Indikasinya saat seseorang bisa memahami bahaya digital dan mampu melindungi diri dari bahaya tersebut.
Menurut Novi, masih marak asumsi internet penuh risiko, sangat buruk, destruktif, bahkan menimbulkan hal negatif.
“Karena penuh risiko, buruk, dan sumber hal-hal negatif itulah, maka menjadi hal amat penting menangani bahaya-bahaya itu,” ujar wanita yang merangkap Ketua Program Studi Magister Ilmu Komunikasi UGM Yogyakarta tersebut.
ADVERTISEMENT
Novi menuturkan pemerintah dan pengambil kebijakan masih bertumpu lewat pendekatan proteksionis, seperti kebijakan sensor atau pemblokiran. Namun, ia berkata kebijakan ini sering diputus secara serampangan.
Pola proteksionis hanya mengandaikan pemangku kebijakan nampak muncul sebagai pihak yang serba tahu. Sementara masyarakat tidak tahu sehingga harus dilindungi. Untuk itu, ia menegaskan bahwa pendekatan pemberdayaan sangat penting meski melelahkan dan tidak efektif.
“Karena melakukan sensor dan memblokir konten di internet yang selalu bermunculan setiap saat dan setiap detik,” ujar Novi.
Novi menjelaskan, pola pemberdayakan harus diutamakan di tengah arus utama semangat proteksionis. Upaya menjauhkan masyarakat dari konten negatif internet jutsru memantik masyarakat penasaran dan memanfaatkan berbagai perangkat untuk menabrak sensor yang diambil pemerintah.
ADVERTISEMENT
“Karena salah satu efek buruk dari sensor memang membuat orang justru menjadi penasaran. Semakin rapat informasi ditutup-tutupi, makin besar potensi orang untuk mencarinya. Inilah yang dimaksud dengan Efek Streisand,” ucap Novi.
Novi menunjukkan hasil penelitiannya pada 9 kota di Indonesia. Mengutip penelitian itu, Japelidi mendata ada 342 aktivitas literasi digital mulai tahun 2010-2017. Perguruan tinggi paling banyak melakukan kegiatan literasi digital dengan angka 56,14 persen. Kemudian diikuti oleh pemerintah ada 14,34persen, komunitas 13,52 persen, lembaga swadaya masyarakat 5,32 persen, dan literasi digital di sekolah dan korporasi mengambil porsi 3,68 persen.
Dari ragam kegiatan, ia berkata, literasi digital lewat sosialiasi atau ceramah paling sering dilakukan dengan angka 29,64 persen. Kemudian literasi lewat pelatihan sebanyak 20,9 persen, diskusi 14,32 persen, penelitian 11,33 persen, talkshow 11,08 persen, publikasi 4,78 persen, kampanye dan advokasi 4,28 persen, dan pembentukan kurikulum hanya 1,51 persen.
ADVERTISEMENT
Di tengah tahun politik, Novi mengingatkan muncul fenomena dua kubu: pro dan kontra. Untuk itu, perlu dibuat regulasi sesuai perkembangan. Ia mengimbau pemerintah memfasilitasi regulasi yang bisa mengajak orang lebih berhati-hati menggunakan media digital.
“Jika ada kejahatan akibat informasi personal yang ada di media online. Bagaimana cara dan pola mengatasinya, karena regulasi yang ada seringkali sangat ketinggalan jauh, dengan persoalan dan perkembangan kekinian yang ada saat ini,” kata Novi Kurnia.
Novi berharap, pemerintah harus bisa bergerak lebih cepat dan tanggap membuat regulasi yang adil, lebih peka, dan adaptif terhadap perkembangan tehnologi.
Rektor ULM Banjarmasin Sutarto Hadi mengapresiasi atas upaya yang diinisiasi oleh Japelidi. Sutarto mengatakan literasi digital mutlak dilakukan di era serba digital. Sebab, kata dia, tanpa diimbangi pemahaman dan ketrampilan meramu beragam informasi, pengguna media digital bisa memicu konflik karena kesalah pahaman.
ADVERTISEMENT
“Ada orang yang sengaja memanfaatkan kemajuan tehnologi informasi untuk kepentingan politik. Dengan adanya workshop literasi digital, hasilnya bisa didiseminasikan ke masyarakat secara luas, sebingga generasi muda makin bijak menggunakan media digital,” kata Sutarto. (Anang Fadhilah)