Berkunjung ke Kawasan Ekowisata Mangrove di Pohuwato, Gorontalo

Konten Media Partner
24 November 2019 8:24 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ekowisata mangrove berjarak sekitar 10 menit. Terletak di arah Pantai Marisa, ibu kota Pohuwato, Gorontalo. Minggu, (24/11). Foto : Dok Banthayo.id (Wawan Akuba)
zoom-in-whitePerbesar
Ekowisata mangrove berjarak sekitar 10 menit. Terletak di arah Pantai Marisa, ibu kota Pohuwato, Gorontalo. Minggu, (24/11). Foto : Dok Banthayo.id (Wawan Akuba)
ADVERTISEMENT
BANTHAYO.ID, GORONTALO - Hari semakin gelap ketika sekumpulan remaja asyik berfoto di pesisir pantai. Cahaya jingga matahari yang dipantulkan laut, seakan menjadi daya tarik para wisatawan lokal ini. Memang, setiap sore, wisata Pantai Pohon Cinta di Kecamatan Marisa, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, yang kini didominasi beton itu, ramai dikunjungi.
ADVERTISEMENT
Namun, tidak jauh dari tempat itu, wisata alam dibangun. Menjadi alternatif bagi para pengunjung yang bosan dengan tempat wisata yang hampir 80 persen merupakan betonisasi. Adalah ekowisata mangrove, sebuah tempat yang menghadirkan sensasi berwisata sambil mengenal jenis-jenis mangrove.
Jika ditempuh dari kawasan perkantoran yang merupakan pusat pemerintahan Kabupaten Pohuwato, ekowisata mangrove ini hanya berjarak sekitar 10 menit. Terletak di arah Pantai Marisa, ibu kota Pohuwato.
Pohuwato, tidak hanya dikenal sebagai daerah yang dihuni oleh burung endemik Sulawesi, burung maleo (Macrocephalon maleo), juga dikenal sebagai wilayah yang memiliki potensi wisata mangrove, sekaligus masalah terkait penyusutan kawasan mangrove itu sendiri.
Ekowisata mangrove, sebuah tempat yang menghadirkan sensasi berwisata sambil mengenal jenis-jenis mangrove. Foto : Dok Banthayo.id (Wawan Akuba)
Untuk menikmati ekowisata mangrove ini, Banthayo.id menyarankan para traveler mengunjunginya di sore hari. Di waktu tersebut, sinar matahari tidak akan terlalu menyengat. Sehingga traveler yang tidak suka terpapar sinar matahari langsung, akan bisa berlama-lama di tempat ini.
ADVERTISEMENT
Waktu sore juga adalah momen yang tepat menikmati matahari yang terbenam. Untuk para pencinta foto, tentu pengalaman tersebut menarik diabadikan. Apalagi dengan sinar matahari yang dipantulkan oleh air rawa, menjadi tambahan pencahayaan untuk aktivitas foto. Namun, tidak salah jikalau pun harus berkunjung di siang hari, karena tajuk mangrove yang lebar, dapat menjadi peneduh.
Luas mangrove di kawasan ini hanya sekitar 20 hektare, di sepanjang tepi mangrove, dibangun jembatan papan sepanjang kurang lebih 400 meter. Di setiap sisi jembatan dipasangi pegangan yang mencegah traveler tidak jatuh. Pegangan itu dibuat dengan tinggi sekitar 1,5 meter. Sebagai tambahan, jembatan ini kemudian dicat warna-warni. Dengan begitu, tampak jembatan ini terlihat kontras dengan warna mangrove yang didominasi hijau dan coklat.
ADVERTISEMENT
Walaupun begitu, ada satu hal yang mungkin perlu untuk dilakukan pihak pengembang wisata ini, yakni memasang papan informasi sebagai edukasi tentang manfaat dan peran mangrove.
Pohuwato, tidak hanya dikenal sebagai daerah yang dihuni oleh burung endemik Sulawesi, burung maleo (Macrocephalon maleo), juga dikenal sebagai wilayah yang memiliki potensi wisata mangrove. Foto : Dok Banthayo.id (Wawan Akuba)
Seperti yang dituturkan oleh Zull Mangkau. Sebagai traveler, ia berharap agar tempat ini tidak hanya menjadi tempat wisata, namun juga sebagai tempat edukasi alam. Artinya, menurut dia, perlu dipasang papan informasi yang menjelaskan soal mangrove dan manfaatnya.
Ia menyarankan, informasinya dibuat lebih minimalis dan eye catching. Pengunjung yang menurut dia didominasi oleh kaum milenial, tentu akan lebih suka informasi yang disajikan dengan grafis dibanding tulisan panjang.
“Ya, harusnya ada juga informasi berupa grafis begitu yang dipasang di sini. Agar ke sini tidak hanya pulang bawa foto dan kenangan, juga bawa pulang pengetahuan soal mangrove ini,” ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Menurutnya juga, jangan informasi umum tentang mangrove saja yang dipasang, namun juga lebih spesifik tentang keadaan mangrove di daerah tersebut. Informasinya harus lebih fokus ke permasalahan kawasan mangrove yang saat ini menyusut.
“Misalnya di pintu masuk, ada informasi umum soal mangrove, lalu berjalan beberapa meter, informasinya berganti dengan keadaan mangrove saat ini di daerah Pohuwato, setelah itu bagaimana penyelesaiannya, dan seterusnya. Pokoknya hingga informasinya mengerucut dan fokus,” pintanya.
Luas mangrove di kawasan ini hanya sekitar 20 hektare (ha), di sepanjang tepi mangrove, dibangun jembatan papan sepanjang kurang lebih 400 meter. Foto : Dok Banthayo.id (Wawan Akuba)
Menurut pria lulusan ilmu komunikasi ini, kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga mangrove harus terus dibangun. Kalau perlu menurut dia, disiapkan jembatan yang mengarah ke lahan mangrove yang sudah rusak, lalu disiapkan bibit agar masyarakat bisa ditawari untuk menanam mangrove.
“Ya, saya pikir akan menjadi satu pengalaman yang baik untuk masyarakat ketika dia datang, dia tidak hanya menikmati mangrove yang sudah ada, juga bisa menanam untuk menambah luasan mangrove. Kan menarik, ketika dia datang lagi, dia bisa melihat mengrove yang pernah dia tanam,” katanya.
ADVERTISEMENT
Mengakhiri pernyataannya, pria 23 tahun ini mengungkapkan bahwa ragam manfaat mangrove yang perlu diinformasikan kepada traveler, yakni tumbuhan ini penting untuk warga pesisir pantai. Hal itu karena fungsinya sebagai pemecah ombak alami yang bisa melindungi warga pesisir dari terjangan ombak yang tinggi semacam tsunami.
Selain itu, dengan fungsi akarnya yang bisa mengikat tanah, mangrove mampu melindungi kawasan pantai dari erosi akibat ombak. Sehingga garis pantai dapat dipertahankan.
Untuk para pencinta foto, tentu pengalaman tersebut menarik diabadikan. Apalagi dengan sinar matahari yang dipantulkan oleh air rawa, menjadi tambahan pencahayaan untuk aktivitas foto. Foto : Dok Banthayo.id (Wawan Akuba)
Di tempat yang tidak jauh dari wisata mangrove, Nadia yang sedang berkumpul bersama kawan-kawannya, menuturkan, bahwa dirinya memang suka mengunjungi tempat wisata yang alami. Selama ini, tempat wisata menurutnya lebih banyak dibeton, padahal tidak begitu keinginan masyarakat saat ini.
“Ya, kalau kami milenial memandang, wisata yang kece itu ya, yang 80 persen masih alami. Kalau sudah dibeton semua, ya rasanya kok kayak bagaimana,” keluhnya.
ADVERTISEMENT
Wanita yang juga kerap mengunggah konten wisata di sosial media ini mengungkapkan, selera berwisata anak muda saat ini memang sudah jauh bergeser. Jika dulu menurutnya orang lebih suka ke kota-kota besar, namun saat ini justru banyak yang mengeksplorasi wisata yang terpencil. Semakin alami menurut dia semakin menarik.
Di setiap sisi jembatan dipasangi pegangan yang mencegah traveler tidak jatuh. Foto : Dok Banthayo.id (Wawan Akuba)
“Ya saat ini memang kalau saya melihat, foto-foto saya itu cenderung banyak yang menyukai kalau itu di alam bebas, apalagi di ekowisata semacam ini. Berbeda kalau fotonya di mal, pasti yang menyukai sedikit,” ujarnya.
Sehingga menurut Nadia, pembangunan wisata memang perlu memperhatikan unsur alaminya. Artinya, menghentikan gaya lama dengan membangun jalan-jalan beton dan palang-palang nama yang besar-besar. Menurutnya itu gaya tempat wisata yang kuno. Sudah seharusnya menurut dia wisata yang berbasis lingkungan dan pengetahuan.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
---
Reporter : Wawan Akuba