Konten Media Partner

Mengenal Ritual Mandi Lemon dan Baiat Muslimat di Gorontalo

5 Juli 2019 16:19 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Hulango (dukun beranak) memberikan bontho (titik) pada si gadis di bagian tubuh tertentu dengan campuran bedak dan rempah yang sudah dihaluskan. Jumat (5/7). Foto: Burdu/banthayoid
zoom-in-whitePerbesar
Hulango (dukun beranak) memberikan bontho (titik) pada si gadis di bagian tubuh tertentu dengan campuran bedak dan rempah yang sudah dihaluskan. Jumat (5/7). Foto: Burdu/banthayoid
ADVERTISEMENT
BANTHAYO.ID,GORONTALO - Proses pembaiatan bagi kaum muslimat di Gorontalo --khusus mereka yang telah akil balig--disebut "Mo Polihu Lo Limu Wa'u Mo Meati", yang berarti "mandi lemon dengan pembaiatan".
ADVERTISEMENT
Seperti proses yang dijalani Marshanda Ibrahim (14 tahun), warga Desa Hutadaa, Kecamatan Talaga, Kabupaten Gorontalo, belum lama ini.
Proses itu akan diawali dengan bontho oleh dukun kampung (hulango) bernama Jahra Lasama (56). Bontho artinya menyentuh bagian tubuh si gadis dengan jari-jari. Tubuh itu di bagian dahi, pundak, lengan, dan lutut. Sentuhan itu bercampur bedak dan rempah yang sudah dihaluskan.
Lalu hulango akan melanjutkan ritual ramalan dengan melemparkan potongan jeruk, pala, dan cengkih ke dalam talam.
Sambil meramal, si gadis duduk di atas alat parutan kelapa yang dihiasi dengan batang tebu, setandan pisang, dan mayang yang terurai.
Kemudian hulango akan menyiram tubuh si gadis dengan air yang terisi di 7 ruas bambu kuning yang di dalamnya terisi koin logam bercampur bunga dan jeruk purut.
ADVERTISEMENT
Pada sesi itu, hulango akan melakukan tepuk mayang yang pelepahnya masih terbungkus, kemudian pucuknya digosokkan ke seluruh tubuh. Ritual ini berakhir dengan memecahkan telur di atas telapak tangan si gadis, disalin dari tangan kiri ke tangan kanan secara bergantian, kemudian meminta si gadis untuk menelan kuning telur secara mentah-mentah.
Anak gadis duduk di atas cukuran kelapa yang dihiasi dengan batang tebu, setandan buah pisang, dan mayang dari pohon pinang yang terurai. Si gadis akan dimandikan oleh hulango, disiram dengan air yang telah dicampur dengan daun puring dan bunga serta potongan jeruk purut dari 7 potong ruas bambu kuning yang di dalamnya juga terisi koin logam. (Foto: Burdu/banthayoid)
Menurut sang hulango, Jahra, mandi lemon merupakan bukti keislaman seorang wanita, sehingga ritual sakral tersebut harus dilalui oleh anak perempuan pada usia memasuki remaja.
"Melalui ritual ini, dapat diramalkan tentang masalah jodoh hingga karakter dari wanita, dengan petunjuk bahan alam yang digunakan. Seperti pelepah pinang muda yang dibelah," ujar Jahra.
Untuk proses tepuk mayang, katanya dianggap sebagai petunjuk karakter serta tanda kehidupan selanjutnya.
ADVERTISEMENT
"Kalau pelepah mayang ditepuk berulang kali dan tidak mau pecah, itu pertanda sang anak wataknya keras. Kalau anaknya lemah lembut, ditepuk perlahan pun pelepah mayang sudah terbelah. Jika mayangnya masih muda dan harum, pertanda baik bagi kehidupan, jodoh, dan rezeki sang anak," lanjut Jahra.
Setelah prosesi mandi lemon, tradisi dilanjutkan dengan ritual berjalan di atas piring yang berjumlah 11 buah. Masing-masing piring berisi uang koin, beras, gabah, dan selembar daun bunga puring.
Mandi lemon sudah menjadi adat dan tradisi di gorontalo saat anak gadis beranjak remaja, prosesinya akan dilaksanakan setelah haidnya berhenti. Mandi lemon juga merupakan mandi haid pertama bagi gadis remaja di Gorontalo. (Foto: Burdu/banthayoid)
Prosesi dilakukan sebanyak tujuh kali bolak-balik, dengan disaksikan orang banyak dan disertai nasihat dari pemangku adat. Nasihat itu seperti selalu berbuat baik kepada kedua orang tua.
Menurut pemangku adat setempat, Sumarno Katili (48), sajak yang disampaikan mengandung pesan dan nasihat karena dirinya telah melewati masa kanak-kanak dan memasuki masa remaja.
ADVERTISEMENT
"Isi dalam piring tersebut juga bermakna. Artinya, jika beras tersebut diinjak dan melekat di kaki si gadis, berarti nantinya banyak rezeki. Setelah ritual telah selesai, isi piring dibuang ke kamar dan yang lainnya dibuang ke halaman rumah," kata Sumarno.
Para wanita di Gorontalo menjalani prosesi mandi lemon sebanyak dua kali dalam hidupnya. Pertama, saat umur 2 tahun Mo Polihu Lo Limu Waw Molubingo (Mandi Lemon dan Khitanan), kedua Mo Polihu Lo Limu Waw Mo Meati (Mandi Lemon dan Pembaiatan) saat memasuki masa remaja yang ditandai dengan datangnya haid (menstruasi). (Foto: Burdu/banthayoid)
Sumarno menambahkan, prosesi tersebut ditutup dengan membacakan selawat oleh tokoh adat atau imam masjid. Setelah itu dilanjutkan dengan pembaiatan yang juga dipandu oleh imam.
"Ini bertujuan untuk menambah makna prosesi adat tersebut, supaya janji bisa didengar orang dan untuk menjadikan kontrol, apakah janji tersebut ditepati atau dilanggar si gadis. Seperti janji untuk mematuhi orang tua dan menjauhi larangan agama," pungkasnya.
Prosesi inti, pembaiatan. Imam wilayah ataupun tokoh adat setempat akan membaiat si gadis sesuai dengan syariat Islam. Diawali dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, menjelaskan tentang rukun Islam, rukun iman, dan rukun ihsan. (Foto: Burdu/banthayoid)
Pakaian adat Wolimomo yang biasa digunakan oleh kaum wanita, anak-anak, gadis remaja bahkan dewasa. Pakaian adat Walimomo sudah masuk daftar Warisan Budaya Tak Benda, Kemendikbud. Warna kuning emas memiliki arti kemuliaan, kejujuran, kesetiaan, dan kebesaran. (Foto: Burdu/banthayoid)
Pakaian adat Borontalo Biliu ini digunakan pada saat doa, syukuran, atau pesta resepsi pembaiatan. Anak gadis yang telah menjalani prosesi pembaiatan kemudian duduk di tempat pelaminan atau puade untuk menerima tamu undangan. Warna ungu memiliki arti kewibawaan dan keanggunan. (Foto: Burdu/banthayoid)
Reporter: Rahmat Ali Editor: Febriandi Abidin