Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Temuan Ombudsman Gorontalo: Rapid Test Rp 150 Ribu Tanpa Surat Keterangan
11 Juli 2020 15:03 WIB
ADVERTISEMENT
GORONTALO - Harga rapid test dinilai memberatkan masyarakat. Dengan harganya yang variatif, disebut tak memberikan kepastian harga. Menanggapi hal itu, pada 6 Juli 2020 kemarin, Kemenkes RI lantas mengeluarkan surat edaran (SE) tentang batasan tarif tertinggi pemeriksaan rapid test antibodi.
ADVERTISEMENT
Dengan SE itu, Kemenkes memberi batas tarif rapid tes seharga Rp 150 ribu. Namun, ternyata masih banyak fasilitas kesehatan non pemerintah di Gorontalo, terutama rumah sakit swasta dan laboratorium swasta yang mengaku rugi jika harus menyesuaikan dengan harga batas tersebut.
Kepala Perwakilan Ombudsman Gorontalo, Alim Niode, mengungkapkan ketika ia mengecek langsung di lapangan terkait implementasi surat edaran itu ke fasilitas kesehatan milik swasta di Gorontalo, ia menemukan kenyataan, jika pada dasarnya, pihak swasta ini mau mengikuti batasan tarif yang dikeluarkan oleh Kemenkes. Namun, dengan konsekuensi rapid test seharga Rp 150 ribu itu akan dilakukan, tapi tanpa disertai surat keterangan pendukung. Artinya, masyarakat hanya akan dibantu dalam mendeteksi dirinya reaktif atau non-reaktif COVID-19, namun tanpa mengeluarkan surat rekomendasi atau surat keterangan yang menjelaskan hasil tersebut.
ADVERTISEMENT
“Saya menghubungi laboratorium non pemerintah, dan saya mendapatkan informasi kemarin itu dengan biaya rapid tes 150 (ribu rupiah) its ok. Mereka akan menyesuaikan, tetapi kalau dengan menyertakan surat keterangan itu totalnya seperti yang diberitakan di kumparan 243 (ribu rupiah). Untuk Kota Gorontalo, hasil pantauan kami di lapangan, ini masih Rp 350 ribu dan yang paling murah Rp 243 ribu. Rp 350 ribu disertai dengan surat keterangannya,” kata Alim.
Alim mengaku, kenapa para pihak swasta ini kesulitan jika harus menyesuaikan dengan tarif batas tersebut, dan mematok harga di atas itu, sebab masing-masing lab, terutama non pemerintah itu untuk mendapatkan bahan alat rapid tes, satu unit untuk satu orang itu mereka akses ke mana-mana. Ada yang ke Jakarta ada yang ke Manado, itu yang mereka dapatkan tidak ada yang Rp 150 ribu, masih ada di atas Rp 200-an ribu. Oleh karena itu dari sisi hitung-hitungan itu agak sulit untuk Rp 150 ribu itu. Itu info lapangan. (jadi) ini soal penyesuaian,” kata Alim.
ADVERTISEMENT
Selain itu, penjelasan yang ia dapat dari pihak laboratorium non pemerintah tersebut, bahwa Rp 350 ribu itu termasuk surat keterangan dan juga pemeriksaan lanjut. Misalnya jika masyarakat membutuhkan sampel darah yang harus dianalisis lagi lebih lanjut. Biasanya untuk memastikan apakah indikator yang terdapat di dalam darahnya itu, mendukung untuk diberikan surat izin keluar-masuk, atau harus direkomendasikan untuk dirawat intensif.
“Itu tambahan yang akan mereka lakukan dengan biaya Rp 350 ribu itu. Mereka menyampaikan bahwa akan habiskan dulu apa yang sudah terbeli dengan harga segitu, lalu kemudian akan berfikir untuk melakukan penyesuaian,” kata Alim.
Namun ini bukan soal pikir-pikir. Mestinya kata Alim, harus cepat dikoordinasikan. Dan ia sendiri melihat bahwa koordinasi ini adalah unsur yang lemah di level pemerintah. Karena hal-hal semacam itu katanya harus segera disesuaikan. Jika ada hal-hal yang mungkin bermasalah di dalam penyesuaian itu, harus disampaikan ke publik dan dicarikan solusinya seperti apa.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, jangan kemudian mengambang seperti itu. "Publik itu mendapatkan info dari Kemenkes 150 ribu, tapi di Gorontalo harganya ada bervariasi. Ada yang 350, ada yang 200an. Jadi bingung orang-orang. Siapa yang bertanggung jawab untuk melakukan penetapan penyesuaian dari Kementerian Kesehatan itu?” ujar Alim.
Alim Niode sendiri mengharapkan jika masyarakat mau melaporkan hal-hal semacam itu ke Ombudsman Gorontalo secara resmi. Sebab, sejauh ini banyak yang melapor menggunakan jalur tidak resmi, yaitu dengan menelpon saja. Terutama yang ada di luar daerah. Sehingga ia sendiri meminta masyarakat untuk membuat laporan resmi ke kantor Ombudsman Perwakilan Gorontalo, di Jalan 23 Januari, Kelurahan Biawao, Kecamatan Kota Selatan, Kota Gorontalo.
“Ada siswa, ada santri yang melanjutkan studi di sini. Ada keluarga yang susah pulang itu mereka menelepon. Dan kami lebih baik menerima laporan resmi daripada menelepon mendengar keluhan-keluhan yang tidak resmi seperti itu. Karena ini memastikan apa benar atau tidak, pelaporannya bertanggung jawab dan betul. Sehingga kami mau memastikan itu dan mengajak pihak-pihak terkait untuk membicarakan ini dan mencarikan kepastian ke publik berapa sebetulnya dan bagaimana seharunya jalan keluarnya,” kata Alim.
ADVERTISEMENT
Alim sendiri belum berani mengungkap fasilitas kesehatan swasta mana saja yang ia temui. Ia mengaku akan menyampaikan setelah kunjungan ke beberapa rumah sakit selesai.
"Biar lengkap ya. Kalau masih satu-satu begitu nanti ada yang merasa terpojok dengan pemberitaan dan diskriminasi oleh Ombusdman. Kalau sudah lengkap kami akan paparkan kepada kawan-kawan semua. Ini rumah sakitnya, baik pemerintah dan non pemerintah. Sejauh yang ditemukan di lapangan adalah masih rumah sakit swasta. Para pengguna jasa itu memandang itu cepat. Juga laboratorium swasta. Itu cepat skali. Ada yang hanya 2 jam saja itu bisa selesai,” tutup Alim. Sabtu, (11/7).
-----
Reporter: Wawan Akuba
----------------------------
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona
ADVERTISEMENT