Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
PERJUANGAN AGUNG WILIS BLAMBANGAN
25 Agustus 2017 23:02 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
Tulisan dari BANYUWANGI CONNECT tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Namanya adalah Mas Putra, saat menjadi Patih Amangkubhumi (Perdana Menteri) Blambangan dia bergelar Wong Agung Wilis, dan setelah turun dari jabatannya dia dikenal sebagai Mas Sirna Wibhawa. Dia menjabat sebagai Perdana Menteri Blambangan antara 1736-1760 dan selanjutnya menjadi raja Blambangan antara tahun 1764-1778.Ayahnya bernama Pangeran Mas Sepuh/Prabu Danurejo(1736-1763) dan ibunya adalah Mas Ayu Kabakaba.
ADVERTISEMENT
Tahun 1743, Kapten Baron von Hohendorff menekan Sunan Amral/Amangkurat II dari Kartasura agar menyerahkan wilayah Java’s Oosthoek kepada pihak kompeni sebagai imbalan atas bantuan kompeni mengembalikan tahta Kartasura kepadanya. Dua puluh empat tahun kemudian, tepatnya tanggal 20 Pebruari 1767, ekspedisi 45 kapal militer kompeni dibawah pimpinan Kapten Erdwijn Blanke yang terdiri atas 335 serdadu Eropa, 3.000 laskar pribumi berangkat untuk menduduki Blambangan. 27 Pebruari 1767 satu kota Panarukan dapat direbut oleh kompeni.
Tanggal 22 Maret 1767 ekspedisi Belanda tiba di Banyualit/Blimbingsari. Pertempuran kedua meletus.Disanalah Genocida pertama terjadi.Saat itu orang-orang Blambangan keturunan Bali dibantai, kemudian disebarkan desas-desus di Bali bahwa Wong Blambangan telah membantai orang-orang Bali.Fitnah tersebut bertujuan mengadu domba kedua belah pihak.
ADVERTISEMENT
Tanggal 23 Maret 1767, dibawah pimpinan Kapten Alperes Adrianus Van Rijke (pengganti E. Blank) untuk pertama kalinya Bendera Belanda berkibar di Teluk Pampang.Dan hal tersebut otomatis memicu kemarahan pihak Blambangan yang dipimpin Pangeran Blambangan Agung Wilis. Bulan oktober 1767, kompeni mendatangkan 50 prajurit Eropa dan 200 prajurit pribumi bantuan dari Lumajang dibawah pimpinan Kapten Wipperman.
16 Januari 1768, kapal Catharina Cornelia dari Panarukan yang dikomandoi oleh Vaandrig Houtappel berlabuh di Banyualit mengangkut 1.000 orang prajurit pribumi untuk membantu pasukan kompeni di Blambangan.
18 Februari 1768 Kapten Maurer, Skipper Pietersz, Letnan Diest, dan Letnan Wipperman mulai menggempur Kutharaja. Namun pasukan kompeni itu dapat dikalahan dan mundur. Dalam peristiwa itu, sekitar 150 penduduk sipil tewas dan terluka membela kehormatan negeri dan rajanya.
ADVERTISEMENT
24 april 1768, Gezaghebber Joan Everard Coop a Groen bersama Kapten Vermehr dan Letnan Hounold menuju Blambangan dengan membawa 102 prajurit Eropa, 2.232 prajurit pribumi, dan 100 kuli angkut untuk membawa bahan pangan, obat-obatan, dan senjata yang akan digunakan untuk membantu pasukan kompeni yang terkepung di Banyualit. Awal mei 1768 mereka tiba di Banyualit dan segera membombardir prajurit Blambangan dari laut untuk menyelamatkan prajurit Belanda yang terkepung dalam Benteng mereka sendiri. Ratusan pejuang Blambangan gugur.
14 mei 1768, Armada Gezaghebber Joan Everard Coop a Groen (1767-1772) menuju Teluk Pampang untuk merebut kembali Benteng kompeni di Teluk Pampang. Peperangan di Teluk Pampang terjadi antara pasukan Letnan Hounold yang membawahi 60 serdadu Eropa dan 100 prajurit pribumi melawan pasukan Blambangan. Saat pihak Belanda bersiap menyambut Gezaghebber Joan Everard Coop a Groen turun dari kapal. Tiba-tiba pasukan gerilyawan Blambangan menyerang kembali dengan kekuatan 200 prajurit.Awalnya pasukan Blambangan menang, namun setelah Letnan Dietzen dan Biesheuvel datang dengan tambahan prajurit, keadaan berbalik.
ADVERTISEMENT
Pasukan Blambangan terdesak di beberapa kubu pertempuran.Di Banyualit dimana Agung Wilis memimpin sendiri perjuangan juga kalah, disanalah kelicikan kompeni dimulai dengan memanfaatkan penghianat untuk melacak keberadaan Agung Wilis.Agung Wilis ditangkap, kemudian diasingkan ke Pulau Endam/Damar Besar di utara Batavia dan dipindahkan ke Pulau Banda di Maluku.
Setelah itu Kutharaja Lateng dan seluruh desa di sekitarnya dibumi hanguskan rata dengan tanah. Harta benda kerajaan termasuk manuskrip dari perpustakaannya dijarah. Bahan bangunanya diambil untuk membangun benteng di Teluk Pampang.Termasuk juga tempat-tempat ibadah seperti Masjid Agung, Pura Agung, dan Klenteng Ho Tong Bio, diratakan dengan tanah.Kelak untuk menghapus sejarahnya, disana dibangun sebuah jalan raya simpang tiga penghubung; Genteng-Banyuwangi-Grajagan.(Mas Aji Wirabhumi)
Ilustrasi Oleh Wyak Kent Ali
ADVERTISEMENT