Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Antara Film, Komunitas Film, dan Pria Pecinta Film
20 Oktober 2017 17:02 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
Tulisan dari Bardjan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sabtu, 17 Juni 2017 di Pavilun 28, Petogogan, Jakarta Selatan
ADVERTISEMENT
Hampir satu jam saya duduk menunggu pria itu berbincang asyik dengan kawannya yang lain, yang saya taksir pasti memiliki cinta terhadap film hampir sama besar dengan si pria —tentu ia lebih menang.
Si pria itu, menurut sepengetahuan saya selama mengenalnya, adalah tipe everyone’s best friend yang bermurah hati untuk melibatkan dirinya pada obrolan dengan siapapun --apalagi jika lawan bicaranya menggilai film dan sastra, bisa-bisa sampai berjam-jam ia ladeni kalau benar-benar senggang. Maklum, selain sebagai penggemar film akut, ia juga punya kehidupan profesional lain sebagai business development officer, juga co-founder Kenobi Space .
Namun, jabatan pekerjaan formal itu tak dapat membunuh kegigihannya untuk mendirikan sebuah komunitas film, salah satu komunitas yang aktif mengadakan screening rutin di Jakarta. Komunitas itu bernama Jakarta Cinema Club. Kalau kalian yang sedang membaca adalah seorang movie buff, besar kemungkinan tahu eksistensi manis komunitas ini.
ADVERTISEMENT
Duduk di meja bartender sambil menyantap cireng bumbu rujak, saya beberapa kali memalingkan muka ke arah meja sang pria, yang tampak masih asyik menyantap sepiring nasgor sambil berbincang hangat dengan kawannya. Tak selang 15 menit kemudian, pria itu menghampiri saya yang memang di hari sebelumnya sudah bikin janji untuk diwawancara.
Namanya Christian Putra. Namun, ia lebih senang disapa Putra, sebab disapa "Christian" di lingkungan dengan iklim society yang tak bersahabat dengan minoritas sungguh menganggunya. Ialah salah satu penggagas Jakarta Cinema Club, komunitas yang diisi oleh orang-orang yang diberkati kecintaan adiluhung terhadap suguhan audiovisual.
(Sumber: Instagram Jakarta Cinema Club/ @jakartacinemaclub)
Bukan cuma nonton film, orang-orang di dalamnya pun mumpuni untuk menghidupkan dan menarik diskursus pasca screening, dan melanggengkannya jadi sebuah diskusi --bahkan perdebatan yang menggelitik untuk diikuti.
ADVERTISEMENT
Wawancara yang lebih mirip ngobrol santai ini bergulir juga. Ia mengajak saya untuk kembali masuk ke ruang screening Paviliun 28, tempat di mana JACk baru saja menikmati film indie berbahasa Vietnam berjudul 'The Scent of Green Papaya'.
Dengan mengenakan setelan khas-nya saat off-duty dari pekerjaan formal; kaos polos dan celana jins di atas lutut (kadang ia mengenakan topi dan juga sepatu sendal sambil menenteng botol bir saat screening, setidaknya itu yang saya hafal), ia menyambut niat baik saya untuk ngobrol bareng. Kemudian, terjadilah obrolan menarik dari seorang warga yang aktif berdiri di garda depan komunitas film ibu kota.
“Awalnya JACk (stilisasi akronim Jakarta Cinema Club) itu dibentuk karena gue bosen banget nih, di Jakarta orangnya cuma gosip aja. Segala macem digosipin. Update-an Instagram dan Path temen-temennya digosipin,” katanya dengan wajah satir masam yang bisa dibayangkan kala kita mengutuk mundanity sebagian anak-anak Jakarta.
ADVERTISEMENT
Saya, sebagai pembenci ulung stagnansi duniawi yang ditawarkan lingkar pergaulan sendiri, merasa bersemangat ketika ia berkeluh tentang itu.
“Ya, mau gimana lagi. Gue gak pernah complain. Daripada complain, lebih baik gue bikin grup kayak gini, kan? Awalnya cuma sedikit (yang ikut Jakarta Cinema Club), tapi gue ngerti kok, enggak semua orang bisa berpikir kayak gue, kan. Lo suka film yang menurut lo oke, belum tentu kata orang oke, kan?”
Seraya menghela napas panjang, ia mulai bercerita bagaimana JACk bisa berdiri hingga sekarang. JACk kini sudah berdigdaya menggelar screening plus after screening discussion rutin setiap bulan (biasa digelar di akhir pekan), diselingi "After Hours", screening film yang bisa dinikmati selepas berkutat jemu dengan rutinitas kantor (paling sering digelar Rabu atau Kamis malam).
ADVERTISEMENT
Awalnya, JACk didirikan oleh enam kepala. Tiga di antaranya adalah Putra, Joseph Soebagio, dan mantan kekasih Putra. alnya mereka hanya sekadar mendiskusikan film melalui kanal medsos pribadi masing-masing: mengapa suka film X, apa yang menarik dari film, et cetera.
Menyadari diskusi film di medsos itu tak berlangsung alot --bahkan viral dan berhasil memancing partisipan diskusi dari user lainnya--, terlintas di benaknya ide untuk nobar dan diskusi film bersama. Secara independen, mereka menginsiasi screening film di Subtitles, Dharmawangsa, Jakarta Selatan, dan dihadiri oleh jumlah orang yang bisa dihitung jari. Kadang hanya dihadiri 4-6 orang, itu pun sudah termasuk sohib-sohibnya sendiri.
Namun, lama kelamaan para pecinta film ibu kota berangsur memperlihatkan wajahnya. Suatu waktu, screening kecil-kecilan itu mendapat kehadiran 16 penonton, jumlah yang mengejutkan Putra saat itu.
ADVERTISEMENT
"Hingga akhirnya, Subtitles enggak bisa nampung lagi. Kita akhirnya kerja sama dengan Paviliun 28. Screening pertama kita saat itu temanya eroticism. And guess what? Saat itu penuh banget!”
Pupil matanya melebar kala ia mem-flashback memori itu. Bayangkan, biasanya ia dan temannya hanya menonton film di rumah masing-masing dan mendikusikannya saat meetup di Amber atau Burgreens, tempat nongkrong favorit mereka. Sekarang, mereka bisa nonton dan diskusi bareng pada tempat yang sama plus massa lebih banyak.
And Yes, There Are Some Boring Jakartans People (and they who like Fast and Furious)
Christian Putra baru pulang dari Amerika Serikat pada tahun 2013. Mengenang romansa hidupnya yang indah saat di luar negeri membikin ia gemas dengan cultural gap yang dialami di Jakarta.
ADVERTISEMENT
“Ya, omongan temen-temen gue di kantor ya itu-itu terus. Ngomongin si ini, ngomongin si itu, si anu udah beli ini. Si anu lagi pergi ke situ. Si anu update status ini di Facebook. Weekend juga sama aja."
Ia pun mengkritisi khalayak yang masih berpikiran sempit, tutup mata akan keberagaman, dan mudah tersinggung oleh isu sensitif. Mereka gegabah hanya melihat dari mata sendiri dan masa bodoh dengan pandangan lain.
ADVERTISEMENT
Ya, tentunya "kuliah" singkat itu dengan antusias saya amini.
“Di New Jersey dulu, semua orang sudah besar dengan culture. Kayak buku-buku Fitzgerald, Hemingway, mereka sudah lahap itu. Film-film Top 100 IMDb itu mainstream buat mereka. Kita jauh banget dari itu. Dampaknya, banyak orang-orang yang enggak siap dengan keberagaman."
Pernyataan itu bak mencoreng muka dengan abu gosok. Saya jadi malu akan kemiskinan khazanah film yang sempit. Apalagi soal buku. Jangankan karya Fitzgerald, Hemingway, atau Dickens, mendikte karya Pram saja belum khatam.
Saya memetik satu kesimpulan bahwa ia cukup peduli untuk memoles selera pasar agar lebih bernutrisi. Saya pun memastikannya dengan bertanya, “So, you care about their tastes?”
“Yes, gue peduli. Karena apa yang kita consume bakal mempengaruhi how we see life. Kalau nontonnya itu-itu aja, ya hidup lo bakal gitu-gitu aja. Simpelnya, kalau lo abis nonton lo googling, ya berarti berhasil. Semakin banyak nonton, semakin banyak tahu."
ADVERTISEMENT
Kepedulian mengubah selera pasar, menurut Putra, juga dapat membantu para pembuat film diapresiasi karyanya. Sebab banyak para pembuat film indie yang sukar meraup banyak spektator. Mungkin, baru semenit nonton karya mereka, mereka sudah ogah lanjut karena tidak in-tune dengan selera.
“Karena filmmakers indie itu suka complain, "Wah, film gue gak ada yang ngerti". Ya iyalah, make sense mereka enggak ngerti, karena kebanyakan seneng nonton film itu-itu doang. Transformers, Fast and Furious, dari seri 1-100." Kelakarnya membuat perut saya geli karena ia ada benarnya.
(Sumber: YouTube)
Dengan bersungut-sungut ia berpendapat, kalau pembuat film ingin build audience, pecinta film perlu membangun keingintahuan masyarakat akan film-film bagus. Dalam kata lain, JACk memiliki misi mulia: me-mainstream-kan film-film yang tak umum.
ADVERTISEMENT
(Hmmm.. Maaf jika ada penggemar film serupa Fast and Furious yang tersungging, eh, tersinggung di sini. Kami tidak bermaksud. He he he!)
Jadi, apakah para sumbu pendek itu kurang menonton banyak film bagus? Pertanyan itu kini menjelma jadi retoris.
Hal-hal yang Membuat Jakarta Cinema Club Tak Serupa dengan Komunitas Film Lain
Banyak komunitas pecinta film lain di Jakarta. Lantas, apa yang membuat Jakarta Cinema Club unik?
“We talk about the topics in general, bukan hal-hal teknis. Contohnya, waktu itu kita mengangkat isu feminisme lewat film Chantal Akerman dan Jackie Brown-nya Tarantino. American New Wave, surrealism, steampunk," Putra mendikte beberapa topik yang diangkat secara tematik tiap bulannya.
Secara pribadi, hal yang paling bikin saya convenient mengunjungi screening JACk ialah keterpesonaan saya akan bagaimana sebuah film mampu men-trigger diskusi topik-topik sensitif seperti seks dan SARA. Putra mengamini bahwa there are things you are afraid to ask, tetapi bisa dibahas ramai-ramai dan santai di akhir pekan.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya pada meetup mingguan diskusi dapat membuncah jadi busa-busa licin yang menggoda. JACk memiliki grup WhatsApp yang tak pernah sunyi dari diskusi maha berbudaya yang menyulap saya jadi free rider ciut di dalamnya. Namun, saya menikmati obrolan mereka di grup chat, sebab obrolan itu kelak mendorong saya melakukan manuever ini: "Yang tak paham menjadi penasaran, kemudian googling."
Siapa yang Jadi Sasaran?
Disadari atau tidak, JACk tak urung mengangkat tema film bulanan yang terklasifikasi niche: feminism, eroticism, horror-comedy, steampunk, the outback gothic, the queer cinema, hingga disability. Tidak ada satu pun film ber-premis persis karya Michael Bay bertengger dalam daftar topik mereka, yang dipilih melalui voting lewat grup WhatsApp.
(Sumber: Instagram Jakarta Cinema Club/@jakartacinemaclub)
(Sumber: Meetup Jakarta Cinema Club)
ADVERTISEMENT
Lantas, apakah JACk menyasar audiens yang sama niche-nya seperti tema film-film mereka?
"Awalnya gue mikir, gue pengen menyasar orang-orang kayak gue semua. Ya, kalau sama yang nonton Fast and Furious, pasti bakal gak nyambung dong? Kalau mau ngomongin film Fast and Furious ya sama teman kerja lo aja. Ngomongin film Disney sama anggota keluarga lo masih nyambung." Lagi-lagi ia berkelakar sarkastik.
Namun justru, makin ke sini, pria penggila film Metrpolitan dan Purple Rose of Cairo ini justru merasa bahwa orang-orang yang menyukai Fast and Furious dan Transformers adalah orang-orang yang ia buru.
“Bukankah dengan kedatangan mereka (para penggemar Fast and Furious, red) nonton ke sini, terus mereka ikut diskusi, mereka bisa jadi, “Wah, ternyata ada ya film yang kayak gini?”, dan akhirnya mereka bisa terdorong buat googling, ngajak temen buat nonton?”
ADVERTISEMENT
Good answer, dude.
*****
Perbincangan kami bakal selesai dalam hitungan menit kala ia melontarkan harapannya ke depan untuk komunitas tercintanya ini.
"Di sini, semua bisa berkesempatan jadi kurator film dan moderator secara rolling. Semua boleh punya ide. Semua harus punya sense of belonging sama JACk meskipun gue yang mendirikan."
Ia melontarkan harapannya untuk menyulap JACk bukan cuma acara nobar, baik nonton bareng maupun nonton-lalu-bubar. Ia ingin menjadikan komunitas ini selayak kelas kajian film.
Dan berapapun yang hadir, well, ini bukan urusan angka, tetapi partisipasi aktif dari mereka yang bersedia menunaikan visi bersama. JACk tumbuh hanya dari enam orang dengan mimpi liar mendirikan komunitas film. Kini ia telah berkembang, dan harus terus berkembang --atau mati.
ADVERTISEMENT
Perbincangan kami yang bergulir selama 27 menit 23 detik itu dipungkas dengan indah karena ia mengutip sutradara favorit saya sepanjang masa, "Ibaratnya, komunitas itu harus jalan terus, atau mati sekalian. Kalau kata Woody Allen, sih, A relationship is like a shark. It has to constantly move forward or it dies."
Setelah berterima kasih atas waktunya berbincang dengan saya, ia kembali menemui temannya di area makan Paviliun 28. Saya pun kembali duduk di meja bartender. Tidak memesan apa-apa, hanya memandang sekeliling. Pengunjung tempat ini rata-rata adalah penyuka kegiatan seni, baik itu musik, film, maupun puisi. Dandanan mereka keren-keren.
ADVERTISEMENT
Dunia serasa begitu luas di dalam tempat itu, namun saya mendadak seukuran kutu kasur. Masih banyak petualangan yang masih terkunci rapat karena saya belum cukup kelas untuk membuka pintunya. Mungkin karena saya belum cukup banyak baca ataupun nonton.
"Apakah saya pernah suka Fast and Furious?"
Christian Putra adalah pegiat film, literasi, serta co-founder Jakarta Cinema Club dan Kenobi Space.