Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
'Loving Vincent' dan Impian yang Sengaja Kau Tanggalkan
6 Maret 2018 20:14 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
Tulisan dari Bardjan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Film animasi berdurasi 95 menit itu mewangikan kembali potongan hidup dari maestro yang “Starry Night”-nya tak hanya nemplok di dinding Museum of Modern Art atau sejumlah museum masyhur lainnya, tetapi juga tersebar gratisan di tumblr dan Instagram.
ADVERTISEMENT
Kemudian, orang-orang--setidaknya saya--kembali mengobrak-abrik mesin peramban untuk menggali lebih jauh kehidupan pelukis legendaris asal Belanda tersebut setelah selesai nonton ‘Loving Vincent’.
Secara teknis, proses kreatif dari film animasi yang terseleksi jadi nomine Oscars 2018 ini (yang saya ramal bakal jadi jawara kalau saja ‘Coco’ tak rilis tahun lalu) ternilai extravagant in a great and beautiful way, mengingat ini merupakan film animasi pertama yang dicipta dari lukisan cat minyak asli. Sebab untuk menggambarkan kisah pelukis ternama, live action saja tidak cukup. Kisahnya sebisa mungkin dimurnikan melalui gores kuas di kanvas.
Terlepas dari teknik pembuatan film yang disembah kritikus, kegetiran seorang manusia telah berhasil dikisahkan dengan manis melalui narasi film ini.
ADVERTISEMENT
Lantas, siapa Vincent Van Gogh sesungguhnya? Tentunya tulisan singkat ini tak mampu membingkai nama agung beserta ketragisan hidupnya dengan temeh. Singkat cerita, ia adalah manusia biasa yang di penghujung usia 20-an telah menemukan dirinya mentok pada satu renjana: melukis.
Namun, meski kamu dan Vincent sama-sama manusia biasa, ada satu hal yang membuatmu takkan bisa jadi serupa Vincent.
Bukan, bukan karena talenta melukis yang mendidih di darahnya itu tak bisa tertandingi olehmu. Buktinya, film ini dibuat dari 65.000 lukisan cat minyak asli yang dibubuh manis ke dalam tiap frame film.Sebanyak 125 seniman melukis setiap frame, sedangkan setiap shot—sekumpulan frame yang membentuk adegan—benar-benar dilakukan melalui proses syuting. Artinya, terdapat 125 seniman yang mampu melukis sebagus, atau paling tidak mendekati, karya Vincent yang asli.
ADVERTISEMENT
Berani bertaruh, di luar sana masih ada seniman-seniman bertalenta emas yang membuat kita sah-sah saja jika mengatakan Vincent bukan pelukis terbaik dunia.
Ia mati bunuh diri karena kehendaknya sendiri. Ah, kamu mungkin tak hendak bunuh diri karena bagimu itu merupakan tindakan paling pengecut sebagai manusia, semenyedihkan apa pun hidup menggelitikmu.
Namun, satu hal yang membuat kamu tak bisa menjadi Vincent adalah, ia mati bunuh diri dalam keadaan yang terhormat buat manusia yang pada hakikatnya merdeka: dalam petualangan hidupnya, ia menyerahkan segalanya tanpa sisa hanya untuk menekuni hal yang ia sukai, melukis.
ADVERTISEMENT
Dalam ‘Loving Vincent’, dikisahkan setahun sudah Vincent Van Gogh mati bunuh diri. Dor! Ia menembak diri sendiri di sebuah lapangan terbuka di Auvers. Sayang seribu sayang, pistol saku itu sudah buluk bin karatan. Alih-alih menerobos jantungnya, peluru itu tak berdigdaya membunuh ia sekilat mungkin; malah mantul di tulang rusuk.
Sambil memegangi perutnya yang berlumur darah, ia kembali ke penginapan. “Aku mencoba bunuh diri,” katanya dengan peluh kesakitan. Dr. Gachet, dokter sekaligus sahabat karibnya, memeriksa keadaan Vincent dengan rasa malang mendalam, lalu meninggalkannya yang terbaring lemas di kamar. Segala tindak pertolongan bakal muspra, katanya. Ia pun modar dua hari kemudian.
Pada awal film, ditampilkan Joseph Roulin, pak tua yang dibilang mirip Fyodor Dostoevsky oleh Vincent sekaligus sobatnya kala bermabuk ria. Selain itu, Joseph pun dipercaya oleh Vincent untuk mengirimkan surat-suratnya kepada Theo Van Gogh, kakak kandung Vincent yang begitu mencintainya. Ia pun mengutus Armand Roulin, anak sulungnya, untuk mengantar surat terakhir Vincent untuk Theo yang ditulis enam minggu sebelum kematiannya.
ADVERTISEMENT
“Dia sedang mengalami kejatuhan mental,” kata Joseph.
“Tidak, dia lemah!” kata Armand.
“Hiduplah lebih lama, Nak. Kehidupan bisa membuat yang kuat jadi lemah."
Armand Roulin akhirnya setuju untuk mengantar surat itu kepada Theo. Di tengah film, ia terlena untuk menyusuri "hutan rimba" penuh teka-teki terkait kematian sang maestro.
Kemelaratan jiwa macam apa yang bikin seseorang yang hatinya lapang melukis di ladang gandum itu untuk memungkas hidupnya sendiri, apalagi ketika enam minggu sebelumnya ia masih riang menyurati kakaknya? Tak ada yang bisa menerka pasti penderitaan jenis apa yang bergejolak dalam hatinya.
Yang jelas, hari-hari sebelum keputusannya untuk bunuh diri, ia dihardik sinting oleh orang-orang sekitar, apalagi setelah kabar pemotongan telinganya oleh dirinya sendiri (yang kemudian dihadiahkan kepada pelacur setempat) akibat pertengkaran hebat dengan Paul Gauguin merebak.
ADVERTISEMENT
Waktu demi waktu, serangan kejiwaan menggerojok hidupnya secara ganas. Psikosis melumpuhkan kesehatannya secara periodik hingga ia mengalami inersia yang sunyi yang membuatnya tak bisa berbicara selama berminggu-minggu.
Namun, kealpaan jiwa itu tak membuat hidupnya alpa makna. Ia lebih produktif menggiati takdirnya sebagai pelukis. Ketika ia berusaha dipulihkan di suaka jiwa, sambil merenung menghadap jendela suaka tersebut ia melihat hamparan alam dan langit malam yang menggoda kepalanya untuk dituang di atas kanvas, seperti Irises, Lilacs, Wheat Field with Cypresses, dan Starry Night. Keluar dari suaka jiwa itu, ia tinggal di Auvers dan mengabdikan segenap hidupnya hanya untuk melukis.
Hanya dalam 70 hari, ia menyelesaikan 75 lukisan dan lebih dari 100 gambar serta sketsa. Sementara itu, lebih dari 800 lukisan telah ia buahkan sampai ia modar pada usia 37 tahun. Meskipun satu-satunya lukisan yang menuai duit hanya The Red Vineyard, karya-karyanya bergelegak meriah hingga era ini dan tak lekang oleh gerus zaman.
ADVERTISEMENT
Jadi, jika kamu ingin merasakan secuil tragedi kehidupan Vincent, menonton ‘Loving Vincent’ adalah metode amatir paling menyenangkan untuk membaca hidupnya.
Namun, setelah selesai menontonnya, segeralah berkaca dan lihat dirimu di cermin yang sudah rerak dan retak itu. Betapa lucu keseharianmu: pura-pura berasyik-masyuk dengan apa yang kamu kerjakan saat ini. Pekerjaanmu saat ini bukan rencanamu, apalagi renjanamu. Namun, kamu sengaja tak menyisakan pilihan lain untuk terus bekerja di kantormu berbelas jam tiap hari demi duit. Sengaja kamu tanggalkan mimpi-mimpi mungil itu di jemuran loteng supaya bulan depan utang-utangmu bisa sedikit lebih jinak, hanya untuk menyaksikan lembar tagihan itu mengganas lagi sampai bulan depan.
Jangan salah. Vincent pun telah melewati berbagai pekerjaan yang menjemukan batinnya: penyalur karya seni, asisten guru di Inggris, dan misionaris sekaligus pengkhotbah para penambang Borinage. Namun, pemecatan demi pemecatan itu telah menghantarnya pada ladang-ladang anggur, hampar bunga mentari, kafe kecil di perkotaan, hingga malam malam sendu berbintang yang begitu menjanjikan untuk dilukis.
ADVERTISEMENT
Sama sepertimu, Vincent telah menemukan cinta sejatinya dalam kehidupan: melukis. Kamu pun mungkin telah menemukan sesuatu yang begitu kamu cintai, bukan?
Suara di kepalamu berkata bahwa waktumu untuk mengejar mimpi telah usai. Duniamu bukan lagi taman kanak-kanak yang penuh kepolosan, namun berlembar-lembar tugas korporat yang mencekik urat-urat leher, dan kamu memilih untuk tetap tinggal. Sementara kamu tahu, gairahmu bersemayam di tempat yang sebenarnya bisa kamu sambangi seenak hati, namun sengaja disembunyikan jauh-jauh agar ia tak usil mengusik pekerjaan formalmu.
Vincent tak terlambat untuk sadar kalau karier sekaligus jalan hidupnya adalah melukis. Ia baru menyadari hal ini ketika memasuki usia 28 tahun, 10 tahun sebelum menjumpai mati. Jauh berbeda denganmu, ia menolak membohongi dirinya untuk memilih melukis sebagai jalan kariernya. Ia kirimkan kegembiraan itu melalui surat kepada Theo, sesaat setelah kakak tercintanya itu mengirimkan alat-alat lukis demi menunjang kegemarannya.
ADVERTISEMENT
Nah, itulah sebab kenapa kamu takkan pernah bisa jadi Vincent. Meskipun sadar bahwa hanya menjadi budak pemilik modal-lah ia bisa punya kehidupan lebih layak, ia ogah kembali menekuni pekerjaan yang memenjarakan kreativitas itu. Sedangkan kamu jam segini masih di kantor, melakukan hal yang belum pernah tercatat dalam agenda cinta-citamu sepanjang hayat. Lalu kamu tega untuk menyingkirkan renjanamu jauh-jauh dari meja kerjamu. Abis gimana dong, gajinya lumayan gede dan bisa bikin kamu enggak kere-kere banget lah tiap bulan.
ADVERTISEMENT
Sudahlah, lupakan soal rencana dan renjanamu itu. Berbeda dengan Vincent, kamu tak memberontak sekecil apa pun kala pekerjaanmu itu kurang memuaskan dahaga kebahagiaanmu.
Dan meskipun setidaknya kamu merasa mampu menekuni keduanya—pekerjaan formal yang menyiksa dan pekerjaan yang benar-benar kamu cintai— toh kamu bakal lebih mencintai pekerjaan formalmu itu. Sebab kamu takut jadi tambah kere kalau hanya fokus menekuni gairahmu yang tidak begitu menjanjikan secara material itu—ah, mari bayangkan jika Vincent memiliki pikiran yang sama denganmu...
Tulisan ini bukan untuk sesiapa, hanya refleksi diri semata.