Konten dari Pengguna

Resesi Ekonomi Global 2023 : Masyarakat Terancam Kehilangan Segalanya.

Barikka Amanda
Mahasiswa Ekonomi Pembangunan Universitas Negeri Malang
4 Desember 2022 22:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Barikka Amanda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Photo by :  Karolina Grabowska https://www.pexels.com/photo/signboard-with-covid-19-title-on-american-flag-with-banknotes-4386340/
zoom-in-whitePerbesar
Photo by : Karolina Grabowska https://www.pexels.com/photo/signboard-with-covid-19-title-on-american-flag-with-banknotes-4386340/
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu yang lalu, masyarakat Indonesia pernah dibuat heboh dengan spekulasi dari seorang content creator edukasi keuangan, Raymond Chin, mengenai bagaimana pada akhir tahun 2022 dan 2023, dunia akan mengalami yang namanya resesi ekonomi besar. Dimulai dari pandemi yang belum selesai, kebijakan keuangan Amerika Serikat yang berdampak secara internasional, dan dampak Perang Rusia dan Ukraina yang di luar ekspektasi. Ketiga permasalahan tersebut tumpang-tindih sehingga menyebabkan bibit permasalahan yang baru muncul di kalangan masyarakat. Apa yang dibicarakan oleh Raymond Chin memang tidak sepenuhnya salah. Karena pada surat kabar yang dimuat di situs Bank Dunia pada bulan September, Bank Dunia melakukan studi di mana risiko resesi ekonomi global pada 2023 akan naik di tengah meningkatnya suku bunga secara serentak pada negara-negara maju. Spekulasi ini juga didukung dengan fakta di lapangan yang menunjukkan efek domino ekonomi internasional, di mana jika satu jatuh, maka yang lain ikut jatuh secara berderetan. Layaknya apa yang terjadi pada krisis energi Eropa yang terjadi akibat Konflik Rusia-Ukraina.
ADVERTISEMENT
Saat kita menonton video pembahasan milik Raymond, jujur daripada mengedukasi penonton mengenai apa saja yang perlu dipersiapkan untuk menghadapi resesi ekonomi, kesan yang didapatkan malah mengundang rasa kecemasan di kalangan masyarakat awam. Apalagi mengingat, masyarakat masih dalam masa pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19.

Pandemi Belum Usai, Kebijakan Moneter yang Blunder

Photo by : Pixabay https://www.pexels.com/photo/rolled-20-u-s-dollar-bill-164527/
Pandemi memang belum selesai, ancaman inflasi akan terus mengintai. Kebijakan menoter ekspansif yang dikeluarkan The Fed dalam mengatasi krisis perekonomian Amerika Serikat ternyata berdampak besar pada perekonomian dunia. Kebijakan yang dimaksud lebih dikenal dengan nama prints money. Prints money di sini bukan dalam artian sebenarnya karena tugas mencetak uang adalah tugas Departemen Keuangan, namun artinya adalah kredit yang ditambahkan pada deposit bank anggota di bawah The Fed. Dengan penambahan kredit pada deposit bank anggota, uang yang tersedia untuk dipinjam, dibelanjakan, ataupun diinvestasikan akan meningkat. Karena memang tujuan awal dari kebijakan ini adalah pemerintah ingin masyarakat untuk terus membelanjakan uangnya agar perputaran uang terus berjalan meskipun shutdown pandemi Covid-19 diberlakukan.
ADVERTISEMENT
Masalahnya, suntikan uang yang dikeluarkan oleh The Fed malah menimbulkan inflasi karena uang yang dipegang terlalu banyak sehingga masyarakat membelanjakan uangnya besar-besaran secara tidak rasional. Masyarakat tidak takut untuk membelanjakan uangnya untuk membeli properti, selama uang yang diberikan oleh pemerintah akan terus mengalir. Sehingga impulsive buying behavior akan melanda masyarakat.
Photo by : Anna Shvets https://images.pexels.com/photos/3962294/pexels-photo-3962294.jpeg?auto=compress&cs=tinysrgb&w=1260&h=750&dpr=2
Inflasi tidak hanya terjadi di Amerika Serikat, namun hampir di seluruh dunia. Perekonomian global dibuat tidak berdaya oleh pandemi, semua harga naik tetapi tidak diiringi dengan peningkatan tingkat ekonomi dan daya beli. Situasi perekonomian makin diperparah oleh Konflik Rusia-Ukraina yang dampaknya di luar ekspektasi dunia. Komoditas-komoditas yang berasal dari kedua negara konflik mengalami kenaikan harga dan keterbatasan persediaan. Faktor politik yang memengaruhi membuat pasokan sumber daya migas Eropa yang berasal dari Rusia tersendat sehingga harga minyak bumi dan listrik di Eropa naik berkali-kali lipat. Terutama di Jerman dan Inggris Raya, di mana masyarakatnya kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari karena sebagian besar pendapatan mereka habis hanya untuk membayar tagihan listrik. Apalagi dengan musim dingin yang akan datang dalam hitungan jari, masyarakat Eropa dihadapkan dengan dua pilihan, apakah mereka akan memilih menyalakan pemanas ruangan atau untuk membeli makanan.
ADVERTISEMENT
Eropa berada di ambang jurang krisis pangan dan energi. Skenario terburuk yang dihadapi oleh masyarakat Eropa adalah perekonomian yang terjun bebas karena saat musim dingin mereka tidak bisa memproduksi apa-apa karena energi yang terlalu mahal dan prioritas penyaluran energi untuk menghangatkan rumah masyarakat daripada perindustrian. Eropa mungkin bisa bertahan selama sisa tahun 2022 ini, namun dengan situasi yang sekarang ini yang tampaknya tidak memperlihatkan perkembangan positif, persedian energi mereka akan habis, dan harga pangan makin naik, pengangguran akan melonjak dan perekonomian akan makin alot.
Lonjakan inflasi yang terjadi di hampir seluruh belahan dunia akibat pandemi, tentunya berdampak juga pada Indonesia. Selain harga bahan pangan dan energi yang melambung, beberapa hari yang lalu Bank Indonesia memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate menjadi 4,75% untuk meredam inflasi. Yang berimbas pada naiknya bunga kredit bank yang kemudian juga berdampak pada harga cicilan yang membengkak, salah satunya Kredit Pemilikan Rumah.
ADVERTISEMENT
Jika cicilan KPR sebagai investasi jangka panjang masyarakat Indonesia membengkak, masyarakat akan kesulitan membayarnya bahkan gagal membayar sebelum jatuh tempo. Imbasnya, denda keterlambatan pembayaran juga akan makin menumpuk dan menambah beban finansial masyarakat. Di saat masyarakat berada pada titik di mana mereka sudah tidak sanggup lagi membayar, aset mereka akan disita dan simpanan darurat akan dikeluarkan untuk melunasi utang pada bank. Pada akhirnya masyarakat kehilangan segalanya.
Pihak yang paling dirugikan dari deretan permasalahan ekonomi global yang tumpang-tindih adalah masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Entah di negara mana pun, masyarakat golongan menengah ke bawah akan kesulitan melunasi cicilan, pendapatan mereka akan habis untuk membayar tagihan listrik dan pangan sehingga tidak tersisa sedikit pun untuk menabung dan investasi, bahkan terancam menjadi pengangguran karena sektor industri yang sulit akibat tekanan pajak pemerintah dan perputaran uang yang serat karena dampak pandemi dan inflasi. Ditambah lagi, pada aset-aset yang disita oleh bank karena pembayaran KPR yang gagal, bank nantinya akan melakukan lelang, tentunya dengan harga aset yang jauh lebih murah kepada masyarakat golongan menengah ke atas.
ADVERTISEMENT
Jadi apa yang dibilang Raymond tentang yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin sesuai fakta di lapangan. Apa yang dikatakan Raymond memang benar adanya dan cara yang dilakukannya dalam mengemas pesan yang disampaikan sangat cerdik. Situasi masyarakat yang mulai muak dengan pemerintahan dan konten penyampaian berita secara formal lewat media televisi yang dinilai kurang menarik oleh kawula muda, membuat masyarakat ikut sadar mengenai situasi terkini dari perekonomian global. Apalagi pada masyarakat Indonesia yang mudah terpancing pada peristiwa kontroversial dan suka dibuat paranoid oleh hal yang mereka lakukan sendiri.
Pemerintah Indonesia sendiri tidak menyangkal mengenai risiko resesi ekonomi global yang akan terjadi, namun pemerintah juga menjelaskan bahwa perekonomian Indonesia tidak akan merasakan dampak yang besar terhadap resesi yang terjadi jika dibandingkan dengan negara-negara maju seperti Amerika Serikat yang dilanda inflasi tinggi ataupun Eropa yang mengalami krisis energi dan pangan. Jadi, pemerintah terus menegaskan bahwa resesi ekonomi tidak perlu ditakuti atau dicemaskan, tetapi perlu diwaspadai. Bukan tanpa alasan pemerintah mengeluarkan pernyataan tersebut pada publik. Karena pemerintah ingin masyarakat tidak terlalu cepat bertindak irasional dan malah memperburuk situasi ekonomi nasional.
ADVERTISEMENT
Tidak sedikit figur-figur bisnis dan keuangan yang gencar untuk mengedukasi masyarakat tentang hal apa saja yang perlu dilakukan dalam menghadapi resesi ekonomi yang mendatang. Tips yang dibagikan oleh mereka bisa diterapkan mulai sekarang, agar nantinya saat skenario terburuk terjadi, masyarakat sudah tidak cemas dan panik, karena mereka sudah mempersiapkannya dari sekarang. Dan yang terpenting, kekuatan finansial mereka tidak terguncang sehingga roda perekonomian tetap berjalan dan pertumbuhan ekonomi mengalami perkembangan.