Potensi Gas Hidrat di Indonesia

Barry Majeed Hartono
I am a young student intending to enrich my knowledge in geology specifically in petroleum geochemistry and I am also passionate to share my knowledge. My interest lies in geological engineering especially in the research and development of geochemistry exploration. When dealing with tasks, my mindset is always geared towards results and its objectives, but I still value the processes to achieve it. I am an enthusiastic person who holds high ideals and always ready to adapt. I always keep in mind to maintain a good attitude and clearly love to work together with other companions in order to achieve more.
Konten dari Pengguna
26 April 2020 12:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Barry Majeed Hartono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Seperti yang sudah dijelaskan pada tulisan sebelumnya (Gas Hidrat, Energi Masa Depan yang Ramah Lingkungan), gas hidrat merupakan gas yang lebih ramah lingkungan dibandingkan gas konvensional. Pembakaran gas hidrat akan menghasilkan panas yang sangat besar dibandingkan gas konvensional. Setiap pembakaran 1 meter kubik gas hidrat akan menghasilkan energi yang setara dengan 168 meter kubik gas alam konvensional (www.sciencedaily.com diakses terakhir tanggal 26 April 2020 pukul 10.00). Pertanyaan selanjutnya muncul, bagaimana potensinya di Indonesia?

Gas Hidrat dalam pandangan Indonesia

Gas hidrat atau methane hydrate di Indonesia sudah disebutkan dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) nomor 5 tahun 2012 tentang Tata Cara Penetapan dan Penawaran Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi Non Konvensional. Dalam Permen tersebut, gas hidrat digolongkan sebagai minyak dan gas bumi non konvensional.
ADVERTISEMENT
Minyak dan gas non konvensional sendiri didefinisikan sebagai minyak dan gas bumi yang diusahakan dari tempat terbentuknya (Kementerian ESDM, 2012). Jadi, dengan adanya Permen ini, Indonesia setidaknya sudah "melirik" potensi dari gas hidrat.
Segitiga sumber daya non konvensional (Holditch, 2006).

Potensi Gas Hidrat di Indonesia

Pertanyaan selanjutnya muncul, apakah kondisi geologi di Indonesia memungkinkan untuk gas hidrat dapat terbentuk ?. Pada tulisan sebelumnya, setidaknya terdapat 2 lingkungan yang memungkinkan gas hidrat untuk terbentuk, yaitu lingkungan laut dalam dan lingkungan permafrost (Ruppel dan Kessler, 2017).
Namun dengan letak geografis Indonesia yang terletak di zona Khatulistiwa, tampaknya lingkungan permafrost sangatlah tidak mungkin ditemukan di Indonesia. Jadi, gas hidrat yang dihasilkan di laut dalam lah (kondisi tekanan tinggi dan temperatur rendah) yang ditemukan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pertama, hal yang perlu diingat adalah bahwa Indonesia secara tektonik terletak pada zona interaksi antar lempeng. Salah satunya adalah Lempeng Indo-Australia yang tersubduksi atau menujam ke bawah Lempeng Eurasia (Hall, 2012). Selain adanya laut dalam , lingkungan tersebut harus kaya akan material organik.
Hal ini dikarenakan gas metana yang terbentuk dari aktivitas mikroba yang "memakan" material organik. Interaksi antar lempeng ini menyebabkan adanya wilayah laut dalam dan daerah paparan di Indonesia sehingga gas hidrat dapat terbentuk.
Menurut Ruppel dan Kessler (2017), gas hidrat di Indonesia stabil pada kedalaman 400 hingga 600 meter di bawah laut. Keberadaan gas hidrat sendiri sudah ditemukan di Indonesia, seperti di Selat Sunda (Priasmara dkk., 2014) dan Selat Makassar (Jackson, 2004). Penemuan ini membuka peluang eksplorasi gas hidrat di Indonesia.
Zona stabilitas gas hidrat di seluruh Dunia (Ruppel dan Kessler, 2017).

Studi kasus: Selat Makassar

Gas hidrat pernah diidentifikasi oleh Jackson (2004) di Selat Makassar Utara, antara Sulawesi Barat dengan Kalimantan Timur. Identifikasi gas hidrat ini didapat dari gejala BSR atau bottom seismic reflection. Gejala ini timbul apabila gelombang seismik dipantulkan oleh struktur seperti es di dalam sedimen. Bedasarkan BSR, gas hidrat ini terletak di Sabuk Lipatan Sulawesi Barat.
ADVERTISEMENT
Sedimen laut ini berasal dari Delta Mahakam, Kalimantan Timur (Jackson, 2004). Sedimen ini setidaknya memiliki 2 peranan penting terhadap gas hidrat di daerah Sulawesi Barat. Pertama, Sedimen yang berbutir kasar (besar-besar seperti pasir) memberikan tempat efektif sebagai reservoir dari gas hidrat. Kedua, sedimen dari Delta Mahakam membawa material organik (sisa-sisa tumbuhan) sehingga aktivitas mikroba bisa berlangsung menghasilkan gas hidrat (Jackson, 2004).
Bedasarkan BSR, volume gas di daerah paling prospektif di Selat Makassar diperkirakan mencapai 80 x 10^12 SCF (standard cubic feet) dengan 67 x 10^12 SCF berasal dari gas hidrat (Jackson, 2004). Studi kasus di Selat Makassar menunjukkan bahwa Indonesia memiliki sumber daya gas hidrat yang sangat besar. Sumber daya ini bahkan belum ditambah dari daerah lainnya.
ADVERTISEMENT

Tantangannya di Indonesia

Walaupun sumber daya ini sangat besar, terdapat tantangan besar dalam eksplorasi gas hidrat. Tantangan besar dari eksplorasi ini adalah cara untuk mendapatkan gas ini. Teknologi di Dunia belum ada yang bisa menghasilkan gas hidrat secara komersil. Namun, apabila teknologi ini sudah ada, Indonesia bisa beralih ke gas yang sangat potensial dan lebih ramah lingkungan. Baca juga tulisan sebelumnya terkait gas hidrat dengan membuka link di bawah ini.

Referensi

Priasmara, F.N.D., Aryono, A.F., Barus, F.I., Sijabat, R.F., 2014. Indonesia Gas Hydrate Potential of Sunda Strait Case Study: Future Energy or Geohazard?. Proc. Indon. Petrol. Assoc., 38th Ann. Conv, Jakarta.
Ruppel, C.D., and Kessler, J.D., 2017. The interaction of climate change and methane hydrates. Rev. Geophys., 55, 126-168.
ADVERTISEMENT
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2012. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral nomor 5 tahun 2012 tentang Tata Cara Penetapan dan Penawaran Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi Non Konvensional. Kementerian ESDM, Jakarta.
Jackson, B.A., 2004. Seismic evidence for gas hydrates in the North Makassar Basin, Indonesia. Petroleum Geoscience, 10, 227-238.
Hall, R., 2012. Sundaland and Wallacea: geology, plate tectonics and paleogeography. Cambridge Univesity Press, Cambridge.
Holditch, S.A. 2006. Tight Gas Sands. Journal of Petroleum Technology,58(6), 86-93.