Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8
29 Ramadhan 1446 HSabtu, 29 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Standarisasi Merek Pakaian: Potensi Eksklusi Sosial di Kalangan Remaja
28 Januari 2025 11:52 WIB
ยท
waktu baca 2 menitTulisan dari Brayn Frans Halomoan Simanjuntak tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Standarisasi merek pakaian dalam pertemanan merupakan fenomena sosial yang menarik untuk dicermati. Dalam konteks pergaulan, khususnya di kalangan remaja. Merek pakaian seringkali menjadi simbol identitas dan status sosial. Kecenderungan untuk mengenakan merek yang sama atau serupa dalam sebuah kelompok pertemanan dapat dipandang sebagai upaya untuk membangun rasa kebersamaan, memperkuat identifikasi kelompok, dan menunjukkan konformitas terhadap norma-norma yang berlaku dalam kelompok tersebut. Hal ini juga dipengaruhi oleh paparan media sosial dan iklan yang terus - menerus mempromosikan merek-merek tertentu sebagai representasi gaya hidup ideal. Akibatnya, setiap individu terdorong untuk memiliki merek-merek tersebut sebagai cara mereka meningkatkan citra diri dan diterima dalam lingkungan sosialnya.

Namun, standarisasi merek pakaian dalam pertemanan juga memunculkan beberapa implikasi yang perlu dipertimbangkan. Pertama, hal ini berpotensi memicu konsumerisme berlebihan dan persaingan yang tidak sehat. Individu mungkin merasa tertekan untuk terus-menerus membeli pakaian bermerek agar tetap relevan dan diterima dalam kelompoknya, meskipun hal tersebut melampaui kemampuan finansialnya. Kedua, standarisasi ini dapat membatasi ekspresi individualitas. Ketika semua orang dalam sebuah kelompok mengenakan merek yang sama, keunikan dan ciri khas individu menjadi kurang terlihat. Padahal, pakaian seharusnya menjadi sarana untuk mengekspresikan diri dan menunjukkan identitas yang berbeda-beda.
Lebih lanjut, fenomena ini juga dapat memperkuat stratifikasi sosial. Merek-merek tertentu seringkali diasosiasikan dengan kelas sosial tertentu. Ketika sebuah kelompok pertemanan didominasi oleh individu yang mengenakan merek-merek mewah, hal ini dapat menciptakan jarak dan eksklusivitas terhadap individu yang berasal dari latar belakang ekonomi yang berbeda. Hal ini berpotensi menimbulkan perasaan inferioritas dan marginalisasi bagi mereka yang tidak mampu mengikuti standar merek yang ditetapkan dalam kelompok tersebut. Oleh karena itu, penting untuk disadari bahwa nilai seseorang tidak ditentukan oleh merek pakaian yang dikenakannya, melainkan oleh karakter, kemampuan, dan kontribusinya dalam lingkungan sosial.
Dari sini kita dapat menarik kesimpulan bahwa, standarisasi merek pakaian dalam pertemanan merupakan fenomena kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial dan budaya. Meskipun dapat memberikan rasa kebersamaan dan identifikasi kelompok, fenomena ini juga membawa implikasi negatif seperti konsumerisme berlebihan, pembatasan ekspresi individualitas, dan penguatan stratifikasi sosial. Oleh karena itu, penting bagi setiap individu untuk mengembangkan kesadaran kritis terhadap fenomena ini dan mengutamakan nilai-nilai internal daripada sekadar mengikuti tren merek semata. Pertemanan yang sehat seharusnya didasari oleh rasa saling menghormati dan menerima perbedaan, bukan oleh kesamaan merek pakaian yang dikenakan.
ADVERTISEMENT