Konten dari Pengguna

Lifting Minyak Terus Turun, Apakah Firasat Bahlil Benar?

Barri Pratama
Pemerhati Kebijakan Energi dan Alumnus LDP Institut Energi Anak Bangsa (IEAB) Angkatan I
10 September 2024 6:51 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Barri Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: diolah dari ESDM (2024)
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: diolah dari ESDM (2024)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia dalam Rapat Kerja bersama Komisi VII DPR RI (26/8/2024) mengeluarkan pernyataan pesimistis atas target lifting minyak tahun 2024 bisa tercapai. “Feeling saya di tahun 2024, 600 ribu gak tercapai maksimal kita 580 ribu”.
ADVERTISEMENT
Realitanya, lifting minyak dalam negeri memang hampir setiap tahun tidak pernah mencapai target APBN. Lantas, ada maksud apa Menteri ESDM yang baru dilantik 3 (tiga) pekan ini berkata demikian?
Terus menurun hingga jadi net importir
Lifting minyak mentah Indonesia terus mengalami penurunan sejak tahun 1996. Tingkat produksi pada saat itu lebih dari 1,5 juta barrel per hari dan terus menurun sampai dengan 622 ribu barrel per hari pada tahun 2023.
Sebaliknya, konsumsi domestik sendiri justru terus mengalami peningkatan sejalan dengan lambatnya konversi energi ke sumber energi alternatif. Konsekuensi defisit tersebut akhirnya harus ditambal dengan impor yang telah berjalan sejak tahun 2003 (net importer) dan terus menerus melonjak hingga hari ini.
ADVERTISEMENT
Tercatat konsumsi minyak mentah pada tahun 2023 sebesar 1,6 juta barrel per hari artinya defisit lebih kurang 166% bila ditarik dari produksi dalam negeri.
Kenyataannya, lifting minyak hari ini masih mengandalkan blok-blok tua. Tak heran bila kapasitas produksi sumur-sumur minyak eksisting tersebut diliputi penurunan alamiah. Menurut data SKK Migas (2023), Pertamina melalui Pertamina Hulu Energi (PHE) memberikan 65% kontribusi terhadap produksi minyak domestik yaitu 415 ribu barrel per hari yang tersebar pada 65 Wilayah Kerja miliknya yang sebenarnya sebagian besar sudah berumur (kontrak perpanjangan). Pertamina Hulu Rokan (PHR) memberikan sumbangsih terbesar yaitu 161 ribu barrel per hari.
Kondisi ini tidaklah sehat, masyarakat masih sangat bergantung pada penggunaan minyak bumi sebagai sumber energi primer. Parahnya lagi, sebagian besar minyak tersebut merupakan produk impor (62,5%) dimana harga minyak dalam negeri akan sangat rentan terhadap perubahan fluktuasi kurs.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, upaya Pemerintah sendiri dalam mendorong Energi Baru Terbarukan (EBT) masih perlu kerja keras, capaian EBT pada tahun 2023 sebesar 13,09%. Realisasi tersebut masih jauh di bawah target yang ditetapkan yaitu sebesar 17,87% namun bersamaan dengan kondisi yang ada, Pemerintah masih optimis mencapai target 19,49% (2024) dan target 23% (2025) (Kementerian ESDM, 2024).
Minimnya Investasi Sektor Hulu Migas
Salah satu permasalahannya adalah minimnya investasi di sektor hulu migas memiliki andil besar terhadap turunnya produksi minyak bumi di Indonesia. Apakah iklim investasi hulu migas di Indonesia masih kurang menarik bagi investor?
Riset dari lembaga independen Fraser Institute memaparkan skor Investment Attractiveness Index Indonesia hanya mencapai level 45,17 pada 2023. Skor tersebut menempatkan Indonesia di peringkat 56 dari 86 negara.
ADVERTISEMENT
Padahal pada 2019, skor Investment Attractiveness Index berada di level 73,09 atau berada di posisi 27 dari 76 negara saat itu. Meski demikian perlu dipahami bahwa 2019 s.d 2022 terjadi pandemi Covid-19 yang mau tidak mau menggerus daya tarik investasi di seluruh lini.
Adapun lesunya investasi hulu migas senada dengan Data SKK Migas (2024), dimana investasi hulu migas meski beranjak naik dua tahun terakhir, namun masih belum melewati 15 Miliar USD seperti yang pernah diraih pada tahun 2015.
Maka perlu upaya agresif dan radikal Pemerintah, untuk terus meningkatkan investasi hulu migas terlebih khusus pada sektor eksplorasi sampai dengan produksi. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi Menteri ESDM hari ini yang merupakan Menteri Investasi sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Janji Manis Revitalisasi Kilang Minyak
Untuk memastikan ketersediaan dan menjamin keamanan energi nasional dalam jangka panjang serta mendukung peningkatan produksi migas dalam negeri, revitalisasi kilang dan penyimpanan minyak wajib dilakukan. Sebagai informasi, kapasitas kilang yang ada di Indonesia hari ini sekitar 1 juta barrel per hari, tidak mengalami penambahan signifikan akibat tidak adanya penambahan kilang baru hampir 20 tahun terakhir.
Justru pada 7 Maret 2007 Refinery Unit I Pangkalan Brandan resmi ditutup dikarenakan usia dan lain sebagainya sehingga Pertamina kini hanya memiliki 6 Unit saja dengan total kapasitas 1,031 juta barrel ekuivalen per hari (RU II s.d RU VII). Padahal beberapa negara tetangga yang sumber cadangan minyaknya lebih kecil dari Indonesia tapi memiliki kapasitas kilang yang lebih besar, contoh: Thailand dengan 1,27 juta barrel per hari dan Singapura dengan 1,49 juta barrel per hari (McKinsey, 2019).
ADVERTISEMENT
Jokowi sendiri sebenarnya menjadikan kilang sebagai salah satu bahan kampanye sewaktu maju Capres 2014. Kemudian sebagai bentuk komitmennya, Jokowi meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 146 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Pembangunan dan Pengembangan Kilang Minyak di Dalam Negeri.
Proyek revitalisasi 5 kilang eksisting RDMP (Refinery Development Master Plan) yaitu Kilang Cilacap, Balikpapan, Plaju, Balongan dan Dumai serta pembangunan 2 GRR (Grass Root Refinery) yaitu pembangunan Kilang baru Tuban dan Bontang kemudian dimasukkan dalam Proyek Strategis Nasional melalui Perpres Nomor 58 Tahun 2017 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.
Adapun kapasitas kilang nantinya diharapkan hampir merata berkisar 300 s.d 400 MBSD untuk masing-masing Unit sehingga meningkatkan kapasitas kilang nasional mencapai 150%. Dengan demikian mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor Crude maupun BBM.
ADVERTISEMENT
Sayangnya tak semanis rencana. Rencana revitalisasi Kilang Cilacap antara Saudi Aramco dan PT Pertamina (Persero) misalkan, dimulai dengan nilai investasi yang ditawar setengah (2,8 miliar USD dari 5,6 miliar USD) sampai berakhir tanpa ada kepastian. Pada akhirnya PT Pertamina (Persero) memutuskan untuk melanjutkan RDMP Cilacap sendiri tanpa raksasa minyak Saudi Aramco.
Oktober 2024 Pemerintahan Jokowi berakhir begitu juga janji-janji, semoga Pemerintahan Prabowo dapat tetap melanjutkan estafet program revitalisasi kilang minyak dalam rangka menguatkan produksi migas dalam negeri.
Pada akhirnya, mari kita lihat gebrakan Menteri ESDM meningkatkan lifting minyak dalam negeri dengan berbagai permasalahan yang ada sampai dengan masa jabatannya (berakhir?).
Barri Pratama Pemerhati Kebijakan Energi dan Alumnus LDP Institut Energi Anak Bangsa (IEAB) Angkatan I
ADVERTISEMENT