Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Cerita di Balik Pengiriman Bantuan Indonesia untuk Rohingya (Bagian 1)
20 November 2018 19:21 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
Tulisan dari Baskoro Ajie tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Foto: Penurunan Barang Bantuan dari Pesawat (Sumber: Pribadi/Istimewa)
Tingginya gelombang pengungsi Rohingya ke wilayah Bangladesh paska insiden kekerasan di Rakhine State cukup mencuri perhatian Indonesia dan Dunia. Menlu RI langsung memberikan respons melalui rangkaian langkah diplomasi, termasuk mengajak negara-negara anggota ASEAN untuk ikut memberikan perhatiannya.
ADVERTISEMENT
Tentu saja langkah diplomasi harus dibarengi dengan tindakan nyata, mengingat bahwa masuknya jumlah pengungsi secara besar-besaran menimbulkan kerepotan tersendiri bagi Bangladesh yang statusnya masih sebagai negara kurang berkembang yang sedang berjuang mengentaskan rakyatnya dari kemiskinan.
Setelah beberapa kali lobi diplomatik dilakukan, maka pada September 2017, Bangladesh mulai membuka diri untuk menerima barang bantuan dari Indonesia.
Walaupun PM Syeikh Hasina telah menyetujui untuk menerima bantuan dari Indonesia, ternyata proses pemberian bantuan tidak semudah yang dibayangkan. Pemerintah daerah di kamp pengungsi sangat kerepotan untuk mengkoordinasikan banyaknya jumlah pengungsi serta barang bantuan dari berbagai pihak.
Baru satu hari kembali dari Dhaka dalam rangka inisiasi kerja sama energi bilateral bersama tim Kementerian ESDM, saya langsung diminta untuk kembali berangkat ke Bangladesh sebagai anggota tim pendahulu dalam proses pengiriman bantuan dari Indonesia.
ADVERTISEMENT
Bersama dengan Dubes RI Dhaka, Ibu Rina Soemarno, dan Tim KBRI, kami langsung melakukan koordinasi dengan berbagai pihak baik pemerintah pusat Bangladesh maupun pemerintah daerah untuk memastikan bahwa barang bantuan Indonesia langsung diterima oleh para pengungsi.
Foto: Jalan dari Chittagong ke Cox's Bazar (Sumber: Pribadi/Istimewa)
Tim pendahulu yang terdiri dari enam orang dibagi menjadi dua kelompok di Dhaka dan Chittagong, bekerja ekstra keras hingga larut malam.
Dalam waktu dua hari kami berhasil memproses seluruh dokumen legal, mulai dari izin pendaratan 8 sortie Hercules beserta manifestnya, ground handling, custom clearance, transfer logistic, hingga penyediaan gudang penampungan sementara di Cox’s Bazar yang berjarak 6-7 jam perjalanan darat jika tidak ada rintangan seperti jalan banjir atau berlumpur karena hujan.
ADVERTISEMENT
Bantuan Indonesia hanya bisa mendarat di Chittagong karena badar udara di Cox’s Bazar memiliki kemampuan sangat terbatas serta tidak memiliki lampu runway untuk penerangan saat cuaca mendung atau hari mulai gelap.
Keberhasilan Indonesia memproses pengiriman bantuan secara resmi dan legal dengan cepat, mengundang decak kagum berbagai negara yang masih belum berhasil, bahkan untuk melewati persyaratan bea cukai.
Sebagai informasi: barang bantuan beberapa negara masih tertahan di gudang karena izin distribusi tak kunjung diberikan, bahkan hingga lebih dari 2 minggu, salah satu alasannya karena langsung dikirim tanpa mendapat persetujuan pemerintah Bangladesh terlebih dahulu.
Singkat cerita, saya masuk dalam kelompok Chittagong yang ditambah 2 orang wakil dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang tiba bersamaan dengan barang bantuan. kemudian ke Cox’s Bazar melalui jalan darat untuk memastikan barang bantuan diterima langsung oleh para pengungsi.
ADVERTISEMENT
Setelah diskusi cukup panjang dengan Pemda Cox's Bazar pada pagi hari, akhirnya barang bantuan Indonesia dikeluarkan dari gudang untuk disalurkan kepada pengungsi di salah satu kamp.
Siang hari, dengan menempuh perjalanan sekitar 1,5 jam, kami tiba di jalan utama menuju lokasi kamp pengungsi dan melihat kondisi yang penuh keterbatasan.
Banyak pengungsi yang baru tiba berjalan kaki dengan mengenakan pakaian seadanya tanpa alas, bayi-bayi digendong tanpa mengenakan pakaian, tempat bernaung sementara beratapkan plastik yang disangga tiang-tiang bambu, saling dorong ketika rebutan bahan bantuan, dan bau menyengat karena keterbatasan fasilitas sanitasi bagi ratusan ribu pengungsi.
Hari itu, kami hanya berhasil mencapai pos pertama koordinasi bantuan milik Pemda setempat di pintu masuk wilayah kamp pengungsi.
ADVERTISEMENT
Dengan bantuan penduduk setempat, kami mendirikan tenda bantuan BNPB untuk menggantikan pos tersebut yang hanya terbuat dari bilik bambu dengan ukuran sekitar 2,5 x 5 meter, namun memiliki kesibukan luar biasa sebagai pintu awal distribusi bantuan ke semua kamp pengungsi, termasuk pemeriksaan barang bantuan yang akan masuk.
Hari sudah mulai gelap dan kami harus menempuh perjalanan kembali ke kota Cox’s Bazar tanpa penerangan jalan yang memadai.
----------------