Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Biodiesel Indonesia: Ekspektasi Kurangi Gas Emisi, Malah Mendorong Deforestasi
8 Desember 2021 13:22 WIB
ยท
waktu baca 5 menitPada saat Konferensi Perubahan Iklim PBB COP26, Indonesia menjanjikan emisi gas rumah kacanya akan mencapai puncak pada 2030, dan kemudian menurun setelah itu.
Pemerintah juga mengatakan bahwa akan mengakhiri deforestasi di saat yang bersamaan.
Tapi untuk mengurangi emisi dari sektor transportasi, sejauh ini Indonesia mengandalkan penggunaan bahan bakar nabati (biofuel) yang lebih besar - sebuah proses yang kemungkinan besar akan mendorong hilangnya area hutan.
Jadi, bagaimana Indonesia bisa mengurangi emisi dengan penggunaan biofuel dan mengakhiri pembabatan hutan pada 2030?
Apa rencana Indonesia untuk biofuel?
Indonesia saat ini menduduki posisi ketiga dunia sebagai produsen biofuel, setelah Brasil dan Amerika Serikat, dan produsen terbesar di dunia dari biodiesel - alternatif bahan bakar pengganti solar.
Biofuel adalah bahan bakar yang bisa berasal dari materi tumbuhan dan kotoran binatang, dan bisa dipakai sebagai penggerak mesin atau pemanas dan kelistrikan.
Ini dianggap sebagai energi terbarukan pengganti bahan bakar fosil tradisional (batubara, bensin, dan solar) karena bisa diproduksi dengan lebih cepat dan melepaskan lebih sedikit gas rumah kaca.
Indonesia memproduksi biodiesel dari tanaman, utamanya minyak sawit, dan kebijakan pemerintah menetapkan semua bahan bakar diesel harus mengandung campuran ini setidaknya 30%. Porsinya dinaikkan menjadi 50% pada 2025.
Sektor transportasi menyumbang 13,6% dari total emisi di Indonesia, dan 45% dari total penggunaan energi. Pemerintah meyakini kebijakan ini dapat mengurangi emisi transportasi sebanyak 36 juta ton CO2 pada 2040.
Seiring dengan perkiraan pertumbuhan kendaraan hingga 6% per tahun, ini artinya produksi biofuel perlu ditingkatkan hingga 50% dalam waktu tiga tahun mendatang, untuk memenuhi permintaan.
Peningkatan produksi ini akan berdampak terhadap pembukaan lahan untuk tanaman yang menjadi bahan dasar biofuel, diperkirakan sebesar 1,2 juta hektare, atau hampir seperempat dari total lahan perkebunan sawit di Indonesia.
Apa dampak lingkungan terhadap kebijakan ini?
Secara teori, biofuel seharusnya mengurangi emisi dibandingkan dengan bahan bakar fosil.
Sebab, ketika tanaman yang menjadi sumber biofuel ini dibudidayakan, mereka akan menyerap karbon dari atmosfer. Saat pembakarannya, karbon akan dilepaskan ke atmosfer - yang artinya tak ada peningkatan emisi. Karbon yang dikeluarkan dan diserap sama besar.
Lahan kemudian bisa ditanami kembali, dan hasilnya diolah lagi.
Bagaimana pun, persoalannya muncul ketika diperlukan pembukaan lahan hutan untuk pengembangan tanaman sumber biofuel ini.
Hutan adalah salah satu sistem yang paling efektif untuk menyerap CO2 dari atmosfer, jauh dibandingkan tanaman untuk biofuel.
Mengganti hutan dengan tanaman untuk biofuel artinya CO2 akan lebih sedikit diserap, dan ini mengakibatkan peningkatan gas rumah kaca - yang berkontribusi terhadap perubahan iklim.
Jadi, ketika ada perambahan hutan baru - dibandingkan menggunakan lahan pertanian yang sudah ada - untuk mengembangkan perkebunan kedelai atau sawit, pada akhirnya emisi yang dihasilkan untuk setiap unit energi akan lebih banyak dibandingkan emisi solar.
Pemerintah berupaya untuk menerapkan langkah-langkah pelestarian hutan. Namun, belakangan ini mereka gagal memperpanjang izin pembukaan lahan baru untuk perkebunan sawit.
Indonesia berikrar untuk mengakhiri deforestasi pada 2030 di pertemuan COP26, tapi setelah itu, Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya mengatakan janji itu "tidak pantas dan tidak adil" .
Dalam wawancara dengan BBC pada Oktober lalu, Presiden Joko Widodo mengklaim telah menekan jumlah deforestasi dalam 20 tahun terakhir, termasuk "merehabilitasi jutaan hektar" hutan.
Benar, tingkat deforestasi tahunan Indonesia telah menurun. Tapi Indonesia masih tetap menempati nomor tiga dunia sebagai negara yang kehilangan jumlah hutan , terutama karena perkebunan kelapa sawit baru.
Saat dihubungi terkait artikel ini, Febry Calvin Tetelepta dari kantor kepresidenan mengatakan kepada kami perkebunan sawit merupakan cara lebih efisien untuk memproduksi biofuel dibandingkan tanaman bunga matahari dan kedelai.
"Efisiensi penggunaan lahan kebun kelapa sawit juga relatif lebih tinggi dibanding minyak nabati lain," ujar Febry melalui keterangan tertulis kepada BBC Indonesia.
Dia mengatakan perkebunan sawit relatif membutuhkan lahan yang lebih kecil untuk dapat menghasilkan minyak dalam jumlah sama dibanding bunga matahari dan kedelai - pernyataan ini benar.
Apa yang dilakukan negara lain terkait biofuel?
Lebih dari 60 negara memiliki kebijakan soal penggunaan biodiesel untuk pasokan bahan bakar mereka, tapi kebijakan itu kemudian diubah di beberapa negara.
Jerman sebagai negara keempat terbesar dunia yang memproduksi biofuel, mengatakan mulai 2023 sudah tidak lagi memproduksi biodiesel dari minyak sawit karena keprihatinan atas deforestasi.
Uni Eropa juga memperketat pembatasannya.
Brasil - negara yang juga menggunakan biofuel dalam jumlah besar - telah mengurangi produksi biofuel tahun ini karena masalah kekeringan yang menurunkan hasil jagung dan kedelainya.
Thailand telah menangguhkan dalam waktu yang tak ditentukan kebijakan pencampuran solar dan biodiesel karena harga tanam yang lebih mahal, membuat produksinya tidak berkelanjutan.
Bagaimana dengan solusi lainnya?
Global Forest Watch mengatakan ada sekitar 50-60 tanaman lain yang lebih ramah lingkungan dibandingkan kelapa sawit, seperti kemiri dan kelapa yang ada di Indonesia.
Bagaimana pun, kelompok peneliti Carbon Disclosure Project menemukan bahwa masalah sertifikasi yang dikeluarkan untuk produksi biofuel dengan saeit, termasuk pemberian subsidi, mendorong produsen untuk melanjutkan praktik deforestasi, dibandingkan mencari alternatif berkelanjutan yang lain.
Indonesia mengatakan keinginan untuk beralih menggunakan kendaraan listrik untuk memangkas emisi di bidang transportasi.
Tapi sekarang targetnya masih sangat sederhana, yakni 2,2 juta mobil listrik pada 2030 dan penjualan motor dan mobil listrik saja pada 2050 .
Di Indonesia terdapat 21 juta kendaraan yang beroperasi, tapi hanya ribuan saja jumlahnya yang sudah menggunakan tenaga listrik di akhir 2020.
Dan mengingat 90% listrik Indonesia bersumber dari bahan bakar fosil (kebanyakan batu bara), menggunakan kendaraan listrik saat ini menghasilkan emisi yang jauh lebih besar daripada menggunakan solar atau bensin.
Filda Yusgiantoro, pengamat energi mengatakan, berdasarkan permintaan kendaraan yang terus meningkat, "biofuel... dari minyak sawit akan masih memainkan peran besar dalam memasok kebutuhan bahan bakar di sektor transportasi".
Wartawan BBC Indonesia Astudestra Ajengrastri dan Nurika Manan berkontribusi pada artikel ini.