Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Dokter di Inggris: Obat-obat COVID-19 Terbaru Bisa Mengurangi Tingkat Keparahan
16 Februari 2022 21:11 WIB
·
waktu baca 5 menitBerkat penggunaan obat-obatan terbaru, semakin sedikit pasien Covid di Inggris yang sakit parah atau bahkan sekarat. Jadi, apakah ini berarti kita akhirnya dapat menjinakkan virus corona?
Ketika pandemi Covid-19 pertama kali melanda dua tahun lalu, para dokter tidak punya obat-obatan yang ampuh memerangi virus corona.
Saya ingat pada April 2020, saya berada di sebuah unit gawat darurat khusus pasien Covid. Saat itu, seorang dokter yang mengenakan alat pelindung diri (APD) lengkap berkata kepada saya bahwa pihak rumah sakit tidak punya apapun untuk menangani pasien sakit parah, kecuali oksigen.
Saya menyaksikan bagaimana pasien demi pasien dipasangi ventilator untuk membantu kerja paru-paru mereka.
Kenangan menyedihkan itu akan senantiasa tertanam di dalam benak saya.
Namun, kini keadaannya berubah drastis. Di Rumah Sakit Royal Victoria di Newcastle, Inggris, ICU atau unit perawatan intensifnya tampak dan terasa sangat berbeda.
Pertama, para tenaga kesehatan di sana tidak lagi memakai APD lengkap karena sebagian besar bangsal bebas Covid. Pada puncak Covid setahun lalu, rumah sakit tersebut menangani 90 pasien kritis. Sekarang hanya ada tiga pasien dengan kondisi serupa.
Sekarang jarang sekali ada pasien yang dipasangi ventilator. Durasi menginap di rumah sakit juga semakin pendek dan tingkat kesembuhan meningkat signifikan.
"Dua tahun lalu kami tidak punya apa-apa," kata Dr Matthias Schmid, kepala bidang penyakit menular Rumah Sakit Royal Victoria di Newcastle, yang menangani pasien Covid pertama di Inggris pada akhir Januari 2020.
"Sekarang kami punya rangkaian pengobatan yang dapat mengurangi keparahan [penyakit] serta mencegah kematian banyak pasien," tambahnya.
Rangkaian pengobatan yang dimaksud Dr Matthias mencakup obat steroid antiperadangan dexamethasone, obat pertama yang terbukti menyelamatkan nyawa pasien Covid dengan sakit parah. Obat tersebut ditemukan melalui uji coba terobosan NHS.
"Kini terasa lebih normal bagi kami," kata Dr Miriam Baruch, konsultan medis di unit perawatan intensif.
"Sangat bagus bahwa kami bisa melatih dokter-dokter untuk menangani beragam pasien yang kami terima," lanjutnya.
Kemajuan utama terbesar di bidang medis tentu saja vaksin Covid yang sangat efektif melindungi khalayak.
Walau vaksin-vaksin tersebut kurang efektif melindungi masyarakat dari varian Omicron, vaksin sudah terbukti memberikan perlindungan sangat kuat terhadap penyakit parah.
"Kami telah menangani pasien-pasien yang sakit parah akibat Omicron, namun mayoritas dari mereka belum divaksinasi," ungkap konsultan bidang penyakit menular, Dr Ashley Price.
Menurutnya, tanpa vaksin, varian Omicron bakal menimbulkan pasien rawat inap dalam "jumlah besar".
Selain dexamethasone, tenaga kesehatan kini juga dapat mengandalkan obat-obat lain untuk menangani pasien-pasien rentan.
David Howarth, misalnya. Pria ini terjangkit Covid-19, padahal dirinya mengidap gangguan kekebalan tubuh. Dokter kemudian memberi pria berusia 59 tahun ini obat antibodi untuk melawan virus corona.
"Saya baru didiagnosa mengidap Covid kemarin, dan hari ini saya sudah mendapat obat ini. Obat ini akan mendorong kemampuan tubuh saya melawan virus," ucap David.
Obat yang diberikan kepada David adalah sotrovimab, obat antibodi monoclonal yang memproduksi protein sintetis guna menempel ke virus corona sehingga virus tersebut tidak berkembang.
Dalam uji coba terhadap pasien-pasien rentan, obat itu memangkas kemungkinan rawat inap di rumah sakit serta angka kematian hingga 79%. Layanan Kesehatan Inggris (NHS) telah memesan 100.000 dosis sotrovimab.
Obat lainnya yang menjadi senjata melawan Covid adalah Paxlovid—obat antivirus yang ketika diuji coba, memangkas angka rawat inap di rumah sakit hingga 89%. Obat ini dikirimkan ke pasien-pasien berisiko tinggi di seantero Inggris yang baru saja teruji positif mengidap Covid-19.
Melalui Satuan Tugas Antivirus, pemerintah Inggris telah memesan hampir lima juta dosis Paxlovid dan obat antivirus lainnya, yaitu molnupiravir.
Kedua obat ini dirancang untuk mencegah infeksi Covid menjadi penyakit parah sekaligus menjadi bagian dari senjata perlawanan terhadap Covid.
Emily Goldfischer, 51, dari London bagian barat, adalah salah satu pasien pertama yang diberikan obat Paxlovid.
Perempuan ini mengalami gangguan kekebalan tubuh dan sudah menerima empat dosis vaksin Covid. Dia menghubungi rumah sakit ketika teruji positif Covid.
Pada hari yang sama, obat Paxlovid diantar ke rumahnya.
"Saya sudah mengonsumsinya selama dua hari dan kini saya merasa jauh lebih baik. Dan terasa cukup melegakan bahwa saya bisa sangat cepat mendapat obat ini dari NHS," paparnya.
Saat ini terdapat lebih dari 12.000 pasien Covid di berbagai rumah sakit di Inggris. Dan mungkin juga ada varian baru mengkhawatirkan yang dapay menimbulkan gelombang berikutnya.
Pandemi ini telah mengajarkan kita untuk menghindari pembuatan prediksi secara tergesa-gesa. Kasus virus corona mungkin akan naik lagi dan terus menimbulkan ancaman, terutama terhadap mereka yang belum divaksinasi dan mereka yang punya masalah kesehatan serius.
Walau jumlah rawat inap di rumah sakit menurun drastis di Inggris, masih ada masalah Covid berkepanjangan alias long Covid. Bulan lalu, satu dari 50 orang di Inggris mengaku hidup dengan gejala Covid secara terus-menerus.
Akan tetapi, kombinasi vaksin-vaksin yang efektif dan obat-obatan yang tepat tampak memberi perlawanan terhadap Covid. Hal ini memberikan kesempatan kepada Layanan Kesehatan Inggris (NHS) dan masyarakat untuk dapat merencanakan masa depan yang tak lagi didominasi serta diganggu virus corona.
Covid tidak akan raib sepenuhnya, tapi kalaupun ada varian baru yang mematikan, seharusnya hal itu dapat diatasi melalui kombinasi vaksin dan obat-obatan yang semakin efektif.