Konten Media Partner

ITB Bantah Kampanyekan LGBT, Pegiat Klaim Perguruan Tinggi Masih Diskriminatif

24 Agustus 2023 12:10 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
(Foto ilustrasi) ITB membantah mengampanyekan LGBT dalam rangkaian acara penerimaan mahasiswa baru
zoom-in-whitePerbesar
(Foto ilustrasi) ITB membantah mengampanyekan LGBT dalam rangkaian acara penerimaan mahasiswa baru
Tudingan kampanye LGBT dalam acara pengenalan mahasiswa baru di Institut Teknologi Bandung (ITB) memicu perdebatan soal pengakuan terhadap hak kelompok minoritas tersebut di lingkup perguruan tinggi.
Sosiolog dari Universitas Pendidikan Indonesia menyebut "kampus harus bersih" dari gerakan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT), namun pegiat hak LGBT mengatakan lembaga pendidikan "seharusnya lebih terbuka untuk mempelajari keberagaman gender dan seksualitas".
Seperti marak diberitakan, ITB dituding melakukan kampanye LGBT dalam penyelenggaraan Orientasi Studi Keluarga Mahasiswa (OSKM) 2023.
Kontroversi tentang kampanye LGBT itu ramai dibicarakan di media sosial.
Sebagian dari mereka mempertanyakan beredarnya kuesioner yang menyediakan opsi non-biner untuk pilihan gender dan digelarnya acara berjudul "Orasi Pelangi".
Pelangi, sebagaimana diketahui belakangan ini, menjadi simbol yang identik dengan kelompok LGBT.
Namun, tudingan tersebut dibantah oleh Rektorat ITB dalam jumpa pers yang digelar di Bandung, Jawa Barat, Selasa (22/08).
Direktur Kemahasiswaan ITB, Prasetyo Adhitama, menegaskan bahwa di bawah pengawasannya, tidak ditemukan bukti-bukti atau usaha mengampanyekan LGBT dalam kegiatan penerimaan mahasiswa baru.

Opsi non-biner dan Orasi Pelangi

Dalam konferensi yang digelar di Gedung Rektorat ITB pada Selasa (22/08), Prasetyo menjelaskan formulir yang mencantumkan opsi non-biner dibagikan dalam bentuk google form kepada mahasiswa baru di sela-sela kegiatan OSKM.
Formulir tersebut, kata Prasetyo, diedarkan tanpa sepengetahuan pihak kampus.
Berdasarkan penelusurannya, formulir itu diedarkan saat sesi sosialisasi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (PPKS) oleh Satuan Tugas PPKS ITB yang masuk dalam rangkaian kegiatan OSKM pada Sabtu (19/08) pagi.
Di sesi tersebut, kuesioner itu dibagikan oleh mitra sponsor Satgas PPKS ITB tanpa berkoordinasi dengan pihak kampus terlebih dahulu.
“Pada saat kejadian, setelah acara, belum lama kami evaluasi, langsung satgas mengontak mitra tersebut untuk segera menutup angket itu," jelas Prasetyo kepada Yuli Saputra, wartawan di Bandung yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Sekitar pukul 12 siang, menurut Prasetyo, angket itu sudah tidak bisa diakses lagi.
"Yang bisa diakses angket resmi dan memang sudah disiapkan oleh Satgas PPKS yang sudah memenuhi panduan atau standar yang dibuat oleh Kementerian Ristek Dikti,” papar Prasetyo usai jumpa pers.
Direktur Kemahasiswaan ITB, Praseyto Adhitama mengklarifikasi isu kampanye LGBT di ITB
Dalam angket resmi tersebut, dia mengakui ada pertanyaan soal gender dengan opsi laki-laki dan perempuan, tapi tanpa menyertakan opsi non-biner.
Lebih lanjut Prasetyo menjelaskan tentang pemasangan bendera pelangi dan acara berjudul "Orasi Pelangi" yang diperdebatkan khalayak.
Dia menegaskan makna warna pelangi itu tidak terkait dengan isu LGBT.
Pelangi di acara penerimaan mahasiswa baru itu, menurutnya, bermakna keragaman di dalam program studi mahasiswa, yang sebetulnya telah dipakai ITB sejak 10 tahun lalu.
“Kan ada sekitar 40 program studi dan itu bermacam macam, bahkan (warna pelangi) tradisi yang sudah lama untuk menggambarkan keragaman tersebut. Seingat saya sudah dari 2013,” papar Prasetyo.
Ketua Panitia OSKM 2023, Steven Siahaan, menjelaskan bahwa diksi "pelangi" berhubungan dengan warna jaket himpunan atau lembaga yang beragam.
Steven beralasan, kata "pelangi" dalam penamaan kegiatan kampus telah dimulai sejak awal 2000-an. Namun baru terdokumentasikan pada 2013.
“Orasi Pelangi karena jaket kami berwarna merah, kuning, hijau, biru yang bervariasi," jelas Steven.
"Orasi Pelangi itu setiap ketua lembaga dengan jaketnya masing-masing yang menunjukkan identitasnya, mereka orasi di depan mahasiswa baru sambil menunjukkan ciri khas lembaganya,” kata Steven.
Setelah menuai kontroversi karena dikaitkan dengan simbol LGBT, pihak rektorat dan panitia penerimaan mahasiswa baru ITB mengubah acara yang sebelumnya bertajuk "Orasi Pelangi" menjadi "Orasi Warna-Warni".

Bagaimana sikap ITB terhadap isu LGBT?

Tudingan kampanye LGBT di kampus ITB menimbulkan pertanyaan bagaimana sikap kampus terkemuka itu terhadap kelompok minoritas tersebut.
Sekretaris Institut ITB, Widjaja Martokusumo, saat jumpa pers beralasan bahwa isu tentang LGBT merupakan "isu kemanusiaan yang kompleks".
Namun pada prinsipnya, kata Widjaja, pihaknya "mencoba untuk melaksanakan kegiatan yang sesuai dengan undang-undang yang berlaku".
“Sebagai institusi pendidikan, kami siap untuk introspeksi, untuk memperbaiki, dan seperti tadi disampaikan bahwa ini adalah isu kompleks kemanusiaan yang tidak mudah, dan kita ikuti aturan negara,” terang Widjaja.
“ITB memastikan dalam pelaksanaan PMB (Penerimaan Mahasiswa Baru) tidak terdapat aktivitas yang mengarah kepada apa yang menjadi sorotan, dan secara langsung melakukan antisipasi melalui pembinaan secara internal dalam konteks pendidikan,” lanjutnya.
Hal senada dikemukakan oleh Ketua Kabinet Keluarga Mahasiswa (KM) ITB, Yogi Syahputra.
"Dalam kegiatan OSKM, kami tidak ada sama sekali niat untuk mempromosikan atau mengagendakan kampanye terkait LGBT dan lain sebagainya,” ungkap Yogi.
Seorang pendukung LGBT memegang payung pelangi memperingati Hari Internasional Melawan Homofobia, Bifobia, dan Transfobia (IDAHOT) di Bunderan HI, Jakarta, Indonesia
Pegiat hak LGBT sekaligus pendiri dan pembina GAYa Nusantara, Dede Oetomo, menyayangkan sikap ITB yang menurutnya menutup mata terhadap keberadaan mahasiswa dengan gender dan seksualitas yang beragam.
Padahal, menurut Dede, pilihan gender lebih dari dua sudah menjadi fakta umum.
Dicontohkan olehnya, banyak lembaga swadaya masyarakat — bahkan yang tidak berkaitan dengan gerakan LGBT — sudah mengakui bahwa tidak semua orang nyaman untuk mengidentifikasi diri sebagai hanya perempuan atau laki-laki.
Oleh karena itu, disertakan opsi lainnya, seperti nonbiner.
“Ini kan lembaga pendidikan publik, lalu persoalannya, kok diskriminatif? Nggak boleh seperti itu,” ujar Dede.

'Lembaga pendidikan garda depan peradaban'

Lebih lanjut, pendiri dan pembina GAYa Nusantara, Dede Oetomo, menjelaskan ITB sebagai lembaga pendidikan seharusnya lebih terbuka untuk mempelajari keberagaman gender dan seksualitas.
Sebab, menurut Dede, dalam ilmu sains dan teologi sudah diakui bahwa gender terdapat lebih dari dua.
Ia kemudian menyebut contoh kebudayaan Bugis yang mengenal lima gender dan kebudayaan Toraja yang mengenal empat gender.
“Ini masalah diskriminasi," tegas Dede.
“Harusnya lembaga pendidikan itu ada di garda depan dari peradaban. Dan peradaban sekarang sebetulnya, hak untuk semua orang apapun bedanya,“ ungkap Dede kepada BBC News Indonesia pada Rabu (23/8).
Suku Bugis di Sulawesi, mengenal keberadaan lima gender dalam budaya mereka
Ia mengatakan bahwa pada umumnya, generasi muda yang mengidentifikasi diri sebagai transgender seringkali memilih untuk tidak melanjutkan ke jenjang kuliah.
Kalaupun memilih untuk kuliah, mereka harus berkompromi dengan memilih salah satu dari opsi gender yang diakui.
Akan tetapi, ujar Dede, terdapat sejumlah mahasiswa dengan gender non-biner mendapat pengakuan di kampusnya.
"Seperti Atmajaya Jakarta pernah punya mahasiswa kedokteran yang trans, Allegra Walter. UIN Jogjakarta pernah punya," ujar Dede.
Namun pengakuan terhadap mereka, kata Dede, tak lepas dari perjuangan rektorat untuk menjadikan perguruan tinggi mereka sebagai lembaga pendidikan yang inklusif.

Apakah kampus harus bebas LGBT?

Sosiolog dari Universitas Pendidikan Indonesia, Yadi Ruyadi mengatakan "kampus harus bersih dari gerakan LGBT" mengingat institusi pendidikan, terutama Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) seperti ITB, diatur oleh undang-undang, antara lain Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Di level perguruan tinggi, ada statuta yang dasar hukumnya adalah peraturan pemerintah.
“Di statuta itu mengandung visi, misi, tujuan, kemudian ada nilai-nilai. Saya lihat perguruan tinggi itu nggak ada ruang untuk bisa menerima, kalau dilihat dari ketentuan tadi, nilai-nilai dari LGBT,” ujar Yadi yang juga pakar pendidikan karakter Pancasila.
Ketika kampus “menolak” LGBT, menurut Yadi, tidak bisa dianggap sebagai tindakan diskriminatif.
“Tapi, ketika sudah masuk menjadi bagian dari perguruan tinggi, menjadi salah satu unsur civitas akademika, maka ketika dia mengekspresikan apa yang menjadi keyakinannya, maka di situ tentu saja tidak bisa bebas.
“Dalam konteks ekspresi bagian dari hak asasi manusia, kemudian bagian dari keyakinan-keyakinannya, ya tetap itu kan harus berpegang pada norma dan nilai-nilai dari perguruan tinggi yang dianut,” ungkap Yadi.
Namun, menurut pegiat hak LGBT Dede Oetomo, lembaga pendidikan semestinya bersikap inklusif dalam memberikan akses pendidikan kepada seluruh lapisan masyarakat, tanpa membeda-bedakan berdasarkan agama, gender maupun seksualitas.
“Saya tidak setuju [bahwa kampus harus bebas dari LGBT]. Bukan sebagai aktivis LGBTQ+ saja tapi sebagai public intellectual yang merasa semua orang punya hak terhadap pengetahuan," ungkap Dede yang juga merupakan dosen tidak tetap pengajar mata kuliah "Media, Budaya dan Masyarakat" di Universitas Airlangga Surabaya.
"Sains itu demokratis, harusnya,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa dengan dunia yang semakin berkembang dan generasi muda yang berpikiran terbuka, perguruan tinggi harus bisa menyesuaikan diri.
“Kalau saya anak SMA yang lumayan terbuka dengan teman-teman, saya akan ragu-ragu untuk masuk ITB,” ujar Dede.