Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten Media Partner
Kasus Dugaan Inses Anak dan Ibu di Bukittinggi: Polisi Harus Menindaklanjuti
30 Juni 2023 8:25 WIB
·
waktu baca 5 menitLembaga advokasi kasus kekerasan seksual, LBH Apik, mendorong Kepolisian Resor Kota Bukittinggi tetap menindaklanjuti kasus dugaan inses yang diungkap Wali Kota Erman Safar, kendati ditentang keras oleh sekelompok masyarakat.
Pasalnya, menurut Direktur LBH Apik, Uli Pangaribuan, kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di daerah yang identik religius kerap ditutup-tutupi lantaran kejahatan tersebut dianggap aib.
Menanggapi persoalan ini, Kapolresta Bukittinggi menyatakan masih melakukan pendalaman.
Namun, seorang tokoh adat Nagari Kurai mengeklaim kasus tersebut hoaks dan disebutnya telah mencemarkan nama baik hukum adat.
Bagaimana kasus ini bermula?
Kasus dugaan inses antara ibu dan anak yang diungkapkan Wali Kota Bukittinggi, Erman Safar, membuat gempar masyarakat setempat.
Erman menyebut hubungan persetubuhan ibu dan anak kandung tersebut sudah berlangsung bertahun-tahun sejak si anak duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) hingga sekarang berusia 28 tahun.
Penuturan Erman membuat peserta yang hadir dalam sosialisasi pencegahan pernikahan anak di rumah dinasnya pada Rabu (21/06), terkejut.
Sebab kejadian tersebut terjadi di tengah masyarakat yang dikenal cukup agamis.
Erman kemudian memaparkan bahwa kasus dugaan inses di Bukittinggi ini sedang ditangani pemkot dan kepolisian.
Adapun korban sedang menjalani karantina di bawah pengawasan instansi penerima wajib lapor (IPWL) Genggam Solidaritas dan Konselor Adiksi Kementerian Sosial.
Pasalnya korban disebut mengalami kecanduan lem sejak berusia 13 tahun.
Selang sepekan, atau pada Senin (26/06), seorang perempuan berinisial EY melaporkan Erman ke polisi atas tuduhan pencemaran nama baik.
EY merupakan ibu dari anak dalam kasus dugaan inses yang diutarakan Erman. EY menyangkal dirinya dan sang anak melakukan hubungan seksual.
"Kami buat laporan karena ada pencemaran nama baik, inses. Padahal tidak ada," imbuh EY.
Menurut dia, Erman semestinya mengonfirmasi terlebih dahulu dugaan inses tersebut ke keluarganya sebelum membuka ke publik. Katanya, akibat pernyataan tersebut keluarganya dirugikan.
"Itu merusak nama pribadi, pencemaran nama baik, agama, keluarga kami, dan ekonomi," sambungnya.
Tudingan kepada Erman juga datang dari tokoh adat.
Koordinator Masyarakat Hukum Adat Kurai Bukittinggi, Taufik Datuak Nan Laweh, menyebut pernyataan tersebut fitnah dan hoaks.
Berdasarkan informasi yang mereka klaim kumpulkan dari keluarga maupun ibu korban yang disebut sebagai pelaku, mereka menyatakan tidak ditemukan adanya dugaan inses.
"Kami sudah meminta keterangan keluarga yang bersangkutan dan anak-anaknya. Data yang kami miliki dengan penuh keyakinan dan analisa, kesimpulan kami dipastikan itu [inses] hoaks," ujar Taufik Datuak Nan Laweh kepada wartawan Halbert Chaniago yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Kamis (29/06).
Tokoh adat ini juga mengatakan, apa yang disampaikan Erman sudah mencemarkan nama baik hukum adat sekaligus fitnah kepada keluarga tersebut.
Itu mengapa mereka mendesak Erman meminta maaf.
"Minimal meminta maaf kepada masyarakat Nagari Kurai. Proses hukum tetap lanjut walaupun ada permintaan maaf wali kota."
Menanggapi laporan pencemaran nama baik itu, Erman mengatakan menyerahkan sepenuhnya ke kepolisian.
Ia berkata, apa yang disampaikannya pada pertemuan sosialisasi tersebut adalah informasi umum dan sama sekali tidak menyebutkan identitas korban maupun keluarganya.
Mengapa kasus dugaan inses bikin gempar?
Sosiolog Universitas Andalas, Indah Sari Rahmaini, mengatakan Sumatera Barat merupakan daerah yang memiliki tingkat moralitas cukup tinggi. Bahkan sangat menjunjung tinggi agama.
Karenanya, kata dia, jika mendengar atau mengetahui ada kasus perzinahan atau inses akan menimbulkan respons yang besar pula dari masyarakat.
Bagi masyarakat di Minangkabau, sambung Indah, tindakan seperti ini tidak bisa ditolerir dan bakal berakibat pada kepercayaan masyarakat setempat.
"Mendengar isu ini, entah benar atau bohong, masyarakat tetap merespons dengan penuh sentimen, apalagi dianggap mencoreng nama baik adat Minangkabau yang berpandangan sangat agamis," jelas Indah Sari Rahmaini.
"Apalagi ditambah dengan faktor kultural Minangkabau sebagai etnis, yang memiliki nilai moral yang tinggi."
Direktur LBH Apik, Uli Pangaribuan, menyebut kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di daerah yang identik religius akan menghadapi tantangan besar. Mulai dari penyangkalan, menutup-nutupi, hingga dilaporkan balik oleh pelaku.
Pasalnya kekerasan seksual masih dianggap aib dan karena pelakunya adalah orang dekat atau keluarga korban sendiri.
Itu mengapa beberapa kasus yang pernah ditangani LBH Apik, kata Uli, para korban akhirnya memilih untuk tidak melanjutkan kasus kekerasan seksual yang mereka alami ke kepolisian.
"Beberapa kasus kenapa korban mundur karena takut dilaporkan balik atau kriminalisasi," ujar Uli kepada BBC News Indonesia.
"Salah satu kasus inses yang pernah kami tangani, korban anak dan ibunya diintimidasi oleh paman dan bibinya. Laporan terhadap pelaku yakni ayah anak itu tidak didukung sama sekali."
"Dan kekerasan seksual atau inses itu dianggap aib dan memalukan keluarga. Padahal ini bagian dari kejahatan kemanusiaan."
Uli juga menyebut, kasus-kasus kekerasan seksual yang berlangsung di wilayah yang identik religius kemungkinan lebih banyak jumlahnya namun tidak terungkap demi menjaga nama baik daerah tersebut.
Untuk itulah semua pihak termasuk kepala daerah dan aparat kepolisian, klaimnya, berupaya menutupi agar kasus kekerasan seksual tidak terpublikasi.
"Agar orang tidak menstigma terjadi kekerasan seksual di tempat itu," imbuhnya.
Dalam kasus di Bukittinggi, Uli sangat mengapresiasi keberanian Wali Kota Erman Safar. Sebab, menurutnya, sangat sedikit pejabat daerah yang berpihak pada korban kekerasan seksual.
Adapun kepolisian, sambungnya, mesti menindaklanjuti kasus dugaan inses tersebut demi mencegah terulangnya kasus serupa di masa mendatang.
Tanpa ada penegakan hukum, menurut Uli, pelaku tidak akan jera.
"Kasus ini harus ditindaklanjuti agar tidak dianggap hoaks."
Bagaimana penyelidikan polisi?
Kasat Reskrim Polresta Bukittinggi, Fetrizal, mengatakan pihaknya masih mendalami kasus dugaan inses tersebut. Namun demikian, polisi masih kesulitan untuk memeriksa sang anak karena mengalami gangguan jiwa.
"Terduga telah kami interogasi apakah benar memang ada inses dengan ibu kandungnya. Tapi keterangan yang diberikan berubah-ubah dan tidak jelas," ujarnya seperti dilansir Kompas.com.
Dia juga menjelaskan pihaknya belum bisa menyatakan kebenaran informasi soal inses ini.
Berdasarkan pemeriksaan, sang ibu disebut membantah telah melakukan inses dengan anaknya.
Sementara itu Ketua Instansi Penerima Wajib Lapor (IPWL) Genggam Solidaritas, Sukendra Madra, menyebu sang anak telah menjalani karantina selama tujuh bulan.