Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Kasus Gagal Ginjal Akut: Kisah Perjuangan Sri Merawat Bayinya
28 Februari 2023 14:30 WIB
·
waktu baca 10 menitRaina Rahmawati, 16 bulan, masih berjuang untuk sembuh, setelah lolos dari maut karena mengonsumsi obat sirop beracun.
Raina masih menjalani perawatan fungsi ginjal secara mandiri oleh ibunya, Sri Rubiyanti. Gagal ginjal itu berdampak pada tubuh layu dan mata yang tak bisa fokus. Sejauh ini, kata Sri, kesehatan Raina terus mengalami perkembangan.
Sri Rubiyanti dan sejumlah orang tua lain yang masih merawat anak, atau kehilangan anaknya kini mencari keadilan di meja hijau.
Di sisi lain, pemerintah mengatakan kasus ini "sudah selesai", dan sedang mengupayakan adanya santunan bagi keluarga korban.
Sejak kasus skandal obat sirop meluas, tidak ada satu pun pihak yang menyatakan bertanggung jawab, tapi kepolisian telah menetapkan sejumlah tersangka.
Perhatian: Tulisan dan foto dalam artikel ini memuat detail yang mungkin bisa mengganggu kenyamanan Anda.
Dalam wawancara dengan BBC Indonesia pada November tahun lalu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan kasus skandal obat sirop sudah berakhir.
"Jadi kalau di mata kami, Kementerian Kesehatan, kasus ini sudah selesai. Tidak ada kasus lagi," kata Menteri Budi . Dalam konteks ini, lanjut Budi, tidak ada lagi temuan kasus gagal ginjal dikarenakan obat sirop.
Bagaimana pun, bagi Sri Rubiyanti, ini merupakan awal perjuangan untuk memulihkan anak keduanya, Raina Rahmawati, agar kembali normal seperti sedia kala.
Pagi itu, Sri baru saja selesai menyusui Raina.
Sambil menimang si buah hati dalam pelukan, sesekali ia dengan hati-hati menggeser selang yang menjuntai—bagian ujung selang menusuk ke dalam perut Raina.
"Nyedot ASI minum, mulai kuat," kata Sri, saat kami temui di kediamannya di bilangan Jakarta Timur, Selasa (14/02).
Pada masa-masa kritis, Raina "minum susu, obat, lewat hidung. Langsung ke lambung. Badannya itu enggak ada kekuatan meraih sesuatu."
Ini adalah hari ke-207 Sri merawat putri keduanya itu, setelah divonis mengalami gagal ginjal akut pada 2 Juli 2022 silam.
Raina mengalami gagal ginjal setelah minum obat sirop penurun panas yang diproduksi PT Afi Farma yang diperoleh melalui Puskesmas. Obat ini salah satu yang sudah dilarang beredar oleh BPOM .
Baca juga:
'Kena saraf'
Saat dibersihkan, Raina menangis. Tangisannya terdengar seperti rintihan kesakitan, menyayat hati.
Pandangan Raina hanya terfokus ke arah kiri atas. Kadang pergerakan bola matanya cepat, seperti tidak terkendali. Ia juga "hanya bisa tiduran di rumah 24 jam."
"Kebetulan sudah MRI (pemeriksaan otak). Hasilnya tidak bagus. Di bagian belakang [kepala] itu ada sedikit yang memang kena sarafnya," kata Sri yang meyakini ini semua karena dampak gagal ginjal.
Pada awal terkena gagal ginjal, Raina tak mengeluarkan urine sama sekali. Tubuhnya membengkak, dari berat 8 kilogram menjadi 12,6 kilogram—kemungkinan urine yang tak keluar menyebar ke seluruh tubuh.
Sri mengenang bayinya yang dulu ceria.
"Pada saat sehat, perkembangannya normal. Sudah bisa duduk, sudah merangkak sedikit-sedikit. Bisa joget kalau ada musik," katanya.
Tapi kondisinya tidak seperti dulu lagi. Raina pun "sekarang ini seminggu bisa tiga kali ke rumah sakit" untuk melakukan pemeriksaan rutin.
'Cuci darah di rumah'
Hari itu, Raina hanya dijemur sebentar di bawah sinar matahari pagi karena angin dingin lebih mendominasi. Ini merupakan aktivitas rutin selama tujuh bulan terakhir sebagai "terapi sinar matahari" untuk Raina.
Selang yang menempel di perut Raina merupakan bagian dari prosedur cuci darah apa yang disebut Dialisis Peritoneal Rawat Jalan Terus Menerus atau CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis). CAPD menjadi alternatif dari cuci darah yang menggunakan mesin khusus.
Setiap pasien yang menggunakan prosedur ini harus menjalani operasi untuk menanamkan tabung lunak atau kateter di dalam rongga perut.
Kateter ini disambung selang, kemudian dimasukkan larutan khusus, untuk menguras limbah dalam tubuh akibat ginjal yang tidak berfungsi secara normal. Larutan ini kemudian dikeluarkan kembali.
Melalui CAPD, Sri menguras limbah dalam tubuh Raina empat kali sehari di rumahnya. Cara mandiri ini ia lakukan sejak Raina dinyatakan gagal ginjal.
"Masukin [larutannya] 300 ml didiamkan 3,5 jam. Di-alarm pakai ponsel, terus dikeluarkan setelah 3,5 jam. Kemudian dimasukkan lagi seperti itu. Pokoknya sehari empat kali," katanya.
Ini sebabnya, Sri tak bisa melepaskan pandangannya pada Raina selama 24 jam. Ia juga mengukur setiap tetes urine yang dikeluarkan Raina setiap saat, untuk mengetahui perkembangan kesehatannya, terutama fungsi ginjalnya.
"Dari pagi ke malam, saya urus. Dari bengkak, sampai nggak bisa lihat," tambah Sri sambil menahan isak tangisnya.
Raina tak bisa dirawat orang lain karena "dia enggak mau ditaruh, jadi mau mandiin saja susah. Ini ada selang juga, jadi aktivitas dia susah."
Selain itu, hanya Sri seorang yang tahu persis bagaimana menjaga kebersihan akses cuci darah di perut Raina.
"Karena kalau infeksi, lebih parah lagi pengobatannya. Bisa-bisa, dua minggu lebih di rumah sakit lagi dirawat. Makanya kebersihannya harus terjaga. Apa yang dia makan, apa yang dia pegang. Semua harus bersih," jelas Sri.
Terkadang perhatian lebih pada Raina menuai protes dari putri pertamanya. "Kok dedek mulu yang diurus," kata Sri menirukan putri pertamanya, "tapi lama-lama dia tahu adiknya sakit."
Dalam perkembangan terakhir, Raina rencananya akan lepas dari prosedur CAPD. Tapi ini tergantung dari hasil tes darah yang akan dilakukan di penghujung Februari.
"Melihat perkembangan dia kayak gini, sampai dia berjuang sejauh ini, saya yang tadinya lelah banget ya sudah nggak [lagi]," kata Sri.
Perkembangan fungsi ginjal Raina ini telah memberi sedikit angin segar bagi Sri dan keluarganya.
Bagaimana pun, ini baru awalan, karena jalan panjang di depan Raina masih terbentang.
Ia harus menjalani proses selanjutnya yaitu fisioterapi untuk saraf mata, dan tulang serta otot agar bisa duduk-berdiri.
'Tanpa ditengok pemerintah'
Sejak Raina mengalami gagal ginjal akut, keluarga Sri Rubiyanti mengaku hanya didatangi petugas kesehatan dari puskesmas untuk mengambil sampel obat, dan seorang dokter melakukan wawancara.
Hasilnya, lanjut Sri, belum ada. Tapi mereka masih menyimpan dua botol obat sirop lainnya sebagai bukti.
"Jangan hanya melihat data. Harus bisa lihat langsung kondisinya. Karena kalau tidak melihat langsung, tidak akan tahu bagaimana repotnya, bagaimana susahnya. Anak-anak seperti ini, gagal ginjal dan dampak-dampaknya," kata Sri.
Selain itu, tambah Sri, tidak semua pengobatan dan biaya perawatan Raina ditanggung BPJS Kesehatan. Keluarga masih membutuhkan paket pembersih, perban, cairan NACL, susu khusus, dan vitamin khusus yang harus dibeli dari kocek pribadi.
"Sebulan kurang lebih Rp3 jutaan, untuk kebutuhan yang tidak di-cover BPJS. Kita menghemat untuk bisa bertahan, demi kelangsungan hidup keluarga saya juga," kata Eko Rahmat Saputro, ayah Raina yang mengaku memiliki gaji di kisaran Rp5 juta per bulan sebagai pengemudi TransJakarta.
Dalam langkah mencari keadilan, Sri dan Eko melalui Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) bersiap melayangkan gugatan. "Sedang pengumpulan berkas," kata Sri.
'Dua hari sebelum ulang tahun, saya kehilangan anak'
Sejauh ini, sebanyak 25 keluarga korban gagal ginjal akut karena sirop obat beracun melayangkan gugatan class action—terpisah dengan yang sedang disiapkan oleh Sri Rubiyanti dan KPCDI.
Salah satunya adalah pasangan Nur Asiah dan Asmari yang mendatangi makam putri kesayangan mereka beberapa hari sebelum hadir ke ruang persidangan.
Di atas nisan, terpatri nama Rahmaniah Anassya. Lahir: 17 Agustus 2018; Wafat: 10 Oktober 2022.
"[Semalam] saya mimpi bertemu, saya senang. Senyum lagi. Selayaknya anak-anak lagi main. Saya yakin dia sudah bahagia," kata Nur Asiah.
Nur Asiah bercerita, putri satu-satunya yang dulu "aktif", itu mengalami gagal ginjal setelah minum obat sirop penurun panas produksi PT Afi Farma.
"Saya nggak tahu kalau itu racun. Kalau saya tahu, saya tidak akan kasih. Ini dari dokter, bukan beli di warung," kata Nur Asiah yang mengaku mendapat tuduhan dari lingkungannya kalau ia lalai menjaga kesehatan anak.
Selama perawatan karena gagal ginjal akut, Rahmaniah sudah berjuang selama tiga minggu dari satu rumah sakit ke rumah sakit lainnya. Tapi nyawanya tak tertolong.
"Dan itu dua hari setelahnya, ulang tahun saya. Saya kehilangan anak saya," kenang Nur Asiah sambil menitikan air mata.
Nur Asiah juga mengenang putrinya "Kalau saya lagi aktivitas, suka direcokin. Itu yang membuat saya kangen. Ke kamar mandi pun saya ditanya, 'Mama mau ke mana?'"
Asmari ikut mengenang anak bungsunya tersebut.
Setiap kali pulang kantor, Asmari ingin cepat-cepat ke rumah, karena putrinya tak akan tidur lelap sebelum ayahnya pulang. Sampai ia mendengar suara sepeda motor yang sangat dia hapal muncul di pintu masuk rumah.
"Sebelum saya pulang, dia nggak mau tidur. Harus diusap-usap sama ayahnya baru mau tidur," kata Asmari yang bekerja sebagai penjaga keamanan.
Bagaimana pun, waktu kebersamaan dengan Rahmaniah tak bisa diputar kembali. Bagi pasangan Nur Asiah dan Asmari, yang kini tersisa adalah perjuangan untuk mengusut tuntas kasus ini sampai selesai.
"Saya sudah berusaha ikhlas. Tapi kenapa saya mengajukan tuntutan, karena saya nggak mau orang lain merasakan seperti saya… Biar enggak ada lagi korban.
"Saya ingin perjuangan anak saya enggak sia-sia. Saya minta bisa tuntas kasusnya sampai selesai. Yang dalam perawatan pun bisa dijamin kesembuhannya sampai sehat lagi," kata Nur Asiah.
'Tidak ada yang bertanggung jawab'
Per 5 Februari 2023, jumlah gagal ginjal akut akibat obat sirop dilaporkan mencapai 326 kasus (dua kasus suspek) yang tersebar di 27 provinsi Indonesia.
Dari kasus ini, tingkat kematiannya mencapai 60% atau kasus meninggal 204 anak (satu suspek).
Dalam perkembangan skandal obat sirop, belum ada satu pun pihak yang menyampaikan permintaan maaf, atau pun menyatakan bertanggung jawab.
BPOM melempar kesalahan ini ada di pihak perusahaan yang mencampur bahan obat sirop dengan cairan kimia yang biasa untuk campuran cat, pulpen, dan cairan rem.
BPOM juga mengaku belum ada standar pengawasan untuk cemaran obat sirop .
Sementara itu, industri farmasi merasa dikorbankan dan dirugikan dalam skandal obat sirop yang telah merenggut nyawa lebih dari 200 anak ini.
Kementerian Kesehatan mengatakan pengawasan obat-obatan bukan berada di bawah kewenangan mereka , tapi sempat mengambil langkah menghentikan peredaran obat sirop. Upaya yang dilakukan adalah menghentikan pemberian obat dari fasilitas kesehatan, dokter, atau apotek kepada masyarakat.
Di sisi lain, polisi mendalami keterlibatan pengawasan dari BPOM. Polisi juga menangkap empat tersangka perorangan dari CV Samudera Chemical dan CV Anugrah Perdana Gemilang, yang sebelumnya sempat menjadi buron.
Sebelumnya, lima perusahaan juga telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini, yaitu PT Afi Farma, PT Tirta Buana Kemindo, PT Fari Jaya, CV Anugrah Perdana Gemilang, dan CV Samudera Chemical.
Bagaimana pun, Eko Rahmat Saputro orang tua dari anak gagal ginjal akut, mengatakan ia memperoleh obat sirop dari puskesmas. "Saya berharap pemerintah bertanggung jawab, karena kan ini kelalaian dari pemerintah juga. Bukan kelalaian dari orang tuanya sendiri."
Kemenkes usahakan beri santunan
Dalam keterangan terpisah, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, dokter Siti Nadia Tarmizi mengakui belum ada kunjungan resmi dari kementeriannya kepada korban sirop beracun. "Karena banyak juga kasus kematian karena kesehatan," katanya.
Namun, kata dokter Nadia, Kemenkes sudah "melakukan pelayanan terbaik" bagi pasien gagal ginjal.
"Penerima gagal ginjal akut itu akan mendapatkan pembiayaan melalui mekanisme JKN. Artinya melalui mekanisme BPJS. Kalau dia bukan peserta BPJS maka kita akan daftarkan. Dan masuk ke PBI, penerima bantuan iuran, jadi akan dibayar oleh negara," kata dokter Nadia.
Ia mengeklaim, 50% daftar pasien gagal ginjal akibat obat sirop yang masih mendapat perawatan sudah berstatus sebagai penerima bantuan iuran (PBI).
"Kami sudah sampaikan kepada rumah sakit untuk nanti lewat pemberian obat yang memang ditanggung dalam skema BPJS," katanya.
Selain itu, Kemenkes juga mengatakan tengah mengupayakan adanya biaya santunan kepada orang tua korban obat sirop beracun.
"Kami sudah menginisiasi pertemuan antara Kementerian Keuangan dan Kementerian Sosial. Ini yang sedang kami lakukan, dan sedang dibahas mekanismenya," tambah dokter Nadia.
Bantuan ini mungkin diharapkan sebagian orang tua korban, meski tidak bisa langsung mengembalikan buah hati mereka seperti dulu lagi.
"Kerugian materi dan immateri. Ini sakit bukan sehari, dua hari, seminggu, tapi jangka panjang. Waktu yang nggak bisa terulang kembali, untuk kesembuhan anak saya yang normal seperti dulu lagi," kata Eko Rahmat Saputro.