Mi Instan hingga Bakso - Kontradiksi Mengejutkan dari 'Comfort Food'

Konten Media Partner
14 Januari 2023 12:10 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mi Instan hingga Bakso - Kontradiksi Mengejutkan dari 'Comfort Food'
zoom-in-whitePerbesar
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Setiap budaya memiliki hidangan tertentu yang selalu diidamkan seseorang ketika mereka berada dalam kondisi-kondisi tertentu. Ini yang sering disebut dengan comfort food, makanan yang memberikan kenyamanan saat menyantapnya. Namun ternyata, tidak ada satu makanan yang sama di dunia ini, yang menjadi comfort food semua orang.
Mi instan ditambah telur dan kornet, sate, atau bakso—menu makanan itu mungkin langsung terlintas di kepala Anda jika seseorang meminta Anda menyebutkan comfort food.
Frasa comfort food, yang telah menjadi sebuah kosa kata makanan selama beberapa dekade, diartikan sebagai makanan yang membangkitkan kesenangan, rasa yang akrab, dan pelipur lara di saat sedih.
Menurut setidaknya seorang penulis, Liza Minnelli membantu mempopulerkan frasa tersebut dalam wawancara pada 1970 dengan seorang kolumnis surat kabar. Baginya, comfort food adalah hamburger yang mahal.
Daftar comfort food di Inggris meliputi sarapan ala Inggris lengkap dan telur orak-arik di atas roti panggang.
Dari namanya saja sepertinya sudah menjelaskan semuanya: makanan yang Anda makan untuk memberikan kenyamanan pada diri sendiri.
Namun, benarkah perasan itu yang kita dapatkan dari makanan yang biasanya mengandung kalori tinggi itu?
Ketika para psikolog dan peneliti lain berupaya mendefinisikan comfort food, mereka menemukan beberapa kontradiksi yang mengejutkan.
Salah satunya berkaitan dengan momen. Belum ditemukan bukti yang jelas bahwa pada saat-saat sulit, kita cenderung menyantap makanan yang familier.
Stacy Wood, seorang profesor pemasaran di University of South Carolina, menemukan dalam sebuah studi tahun 2010 bahwa para peserta penelitian yang mengalami lebih banyak mengalami gejolak dalam hidup cenderung lebih memilih makanan yang belum pernah mereka coba sebelumnya.
Meskipun para peserta sendiri mengatakan bahwa mereka pikir orang dengan kehidupan yang stabil memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk menjajal makanan-makanan baru, ketika situasi menjadi sulit, mereka justru tidak mengikuti aturan itu.
Suasana ketika menikmati comfort food – seperti tartiflette yang tidak berbahaya ini – mungkin lebih penting dari apa pun.
Ketika mereka ditawari keripik kentang merek Amerika yang populer atau keripik kentang Inggris yang "eksotis" dengan rasa camembert dan prem, mereka yang memiliki kehidupan yang lebih stabil memilih merek yang sudah dikenal, tidak memilih sesuatu yang baru.
Periode perubahan sebenarnya bisa membuat kita lebih terbuka terhadap kemungkinan baru, kata para peneliti.
Para ilmuwan juga bertanya-tanya apakah kalori dalam comfort food dapat meningkatkan suasana hati.
Namun nyatanya, banyak comfort food yang tidak manis. Faktanya, dalam sebuah jajak pendapat, pizza mengalahkan semua pesaingnya dan mendapatkan gelar comfort food terfavorit di Amerika.
Lebih jauh lagi, sebuah studi yang mensurvei sekitar 1.400 orang di Amerika Utara menemukan lebih banyak laki-laki mengonsumsi comfort food sebagai semacam perayaan.
Dengan kata lain, mereka justru mengonsumsi comfort food dalam suasana hati yang baik.
Sementara para perempuan cenderung mengonsumsi comfort food ketika suasana hati mereka sedang tidak baik. Menyantap comfort food cenderung membuat mereka merasa bersalah, tidak bahagia.
Mungkin mengonsumsi comfort food memberikan sesuatu yang lebih kasat mata ketimbang keceriaan.
Dalam beberapa situasi, beberapa peneliti mengemukakan comfort food mungkin membantu kita merasa memiliki (sense of belonging), kebutuhan emosional manusia untuk berafiliasi dan diterima.
Dalam sebuah artikel berjudul "Chicken Soup Really Is Good for the Soul", para peneliti menemukan mengonsumsi comfort food dapat membangkitkan perasaan yang berkaitan dengan hubungan.
Bagi orang Amerika Utara yang memiliki riwayat hubungan yang kuat dan aman, menyantap makanan semacam itu dapat melindungi mereka dari hal-hal yang bisa mengancam identitas mereka.
Namun, orang-orang yang tidak memiliki riwayat koneksi yang aman tidak akan merasakan efek itu. Efeknya akan tergantung pada masa lalu Anda sendiri.
Comfort food tidak berpengaruh pada perasaan kesepian atau rasa memiliki mereka.
Mungkinkah comfort food adalah konsep yang hanya membantu orang dari budaya tertentu?
Beberapa makanan dapat membangkitkan perasaan kebersamaan berkat keterkaitannya dengan masa lalu.
Suasana pesta es krim Anda sebenarnya lebih penting dari apa pun.
Orang-orang makan karena banyak alasan emosional, ungkap psikolog Oxford Charles Spence, entah mereka mengonsumsi ikan dan kentang goreng atau kubis Brussel.
Mereka makan untuk menjaga suasana hati tetap baik, untuk merayakan, untuk menghabiskan waktu. Dan untuk makanannya sendiri, setiap budaya akan berbeda-beda.
Comfort food India yang sering disebut-sebut adalah khichri, bubur gurih dari lentil dan nasi, dengan acar di atasnya.
Bagi sebagian orang China, bakso shi zi tou atau lion's head meatballs, bola daging babi yang dibumbui, mampu memenuhi alasan-alasan emosional itu.
Orang Suriah mungkin akan sangat antusias dengan mujaddara, hidangan dari lentil dan bulgur (biji gandum jenis Tricum), yang di atasnya diberi bawang bombay yang ditumis sampai mengeluarkan karamel.
Sementara orang Prancis mungkin memimpikan tartiflette, kentang dengan bacon dan keju.
Bagi orang Swiss dari Canton de Vaud, kelezatan sosis kubis yang sangat bercita rasa lokal dengan daun bawang dan kentang dapat menghadirkan kenyamanan di saat-saat yang paling dibutuhkan.
Upaya untuk mengklasifikasikan comfort food sebagai makanan yang renyah atau lunak, mudah dimakan atau sulit dinikmati, sebagian besar gagal menemukan polanya, bahkan dalam budaya tertentu.
Namun, beberapa bukti nyata dari orang-orang yang menyantap comfort food demi kenyamanan berasal dari para turis.
Jauh dari rumah, sedikit terintimidasi oleh masakan lokal, dan mungkin sakit atau jet-lag, orang-orang di dua bandara utama di Taiwan disurvei oleh para peneliti.
Para pelancong yang tidak suka mencoba makanan baru adalah yang paling bahagia saat mereka mengonsumsi comfort food.
Ini menegaskan, setidaknya dalam beberapa situasi, makanan yang akrab memang memainkan peran yang kita bayangkan – memberikan kepastian, rasa memiliki, dan stabilitas, di samping memberikan asupan kalori.
Versi bahasa Inggris artikel ini dengan judul Why not all comfort food is the same dapat Anda baca di BBC Future.