Sebabkan Kerusakan Iklim, Bagaimana Negara dan Perusahaan Pencemar Membayarnya?

Dalam konferensi iklim COP27 tahun lalu, negara-negara sepakat untuk membuat pengaturan pendanaan serta dana khusus untuk membantu negara-negara rentan mengatasi kerusakan iklim. Bagaimana negara-negara kaya dan perusahaan bahan bakar fosil bisa membayar kerugian dan kerusakan iklim yang mereka sebabkan?
Pada bulan Agustus tahun lalu, Pakistan dilanda bencana banjir. Curah hujan yang belum pernah terjadi sebelumnya menewaskan lebih dari 1.500 orang dan membuat negara itu menderita kerusakan ekonomi melebihi US$30 miliar.
Satu bulan kemudian, sebuah studi ilmiah menyimpulkan bahwa curah hujan yang tinggi itu "kemungkinan meningkat" karena perubahan iklim.
Kaitan antara emisi gas rumah kaca dan peristiwa cuaca ekstrem yang sudah terjadi saat ini sudah dibuktikan dengan kuat oleh studi ilmiah .
Peristiwa seperti banjir di Pakistan, topan di Madagaskar, dan kekeringan di Somalia menjadi lebih intens dan lebih sering terjadi karena perubahan iklim .
Bencana-bencana tersebut telah mengakibatkan kematian dan kehancuran dan membuat beberapa negara mengalami kerusakan ekonomi yang sangat besar, menjerumuskan mereka ke dalam utang dan mengalihkan dana dari area-area penting lainnya, seperti kesehatan dan pendidikan.
Terlebih, dampak ini hanya akan semakin parah. Jika suhu global naik 2,9C, PDB rata-rata dari 65 negara paling rentan iklim di dunia diperkirakan turun 20% pada tahun 2050 dan 64% pada tahun 2100 .
Lantaran ancaman iklim seperti itu menjadi bagian yang semakin besar dari kehidupan kita, banyak yang berpendapat bahwa negara-negara dan perusahaan-perusahaan yang bertanggung jawab atas polusi harus menjadi pihak yang membayar.
Jadi bagaimana jika para pencemar benar-benar membayar kerusakan iklim yang mereka sebabkan? Berapa banyak yang mereka perlu bayar, dan apakah pembayaran seperti ini akan menandakan akhir dari industri bahan bakar fosil?
Apakah dana ini akan mampu meringankan kerugian yang disebabkan? Dan mungkinkah ini berarti negara-negara paling rentan di dunia akan bisa memulihkan diri dari bencana iklim dan beradaptasi pada ancaman yang membayangi?

Pada tahun 2030, negara-negara yang rentan kemungkinan akan menghadapi US$290-US$580 miliar dalam "kerusakan residual" iklim tahunan – kerusakan yang tidak dapat dicegah dengan langkah-langkah untuk beradaptasi pada ancaman iklim. Pada tahun 2050, total biaya kerugian dan kerusakan dapat meningkat menjadi US$1-1.8 triliun.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, yang dalam beberapa tahun terakhir telah jadi semakin blak-blakan tentang ketidakadilan terkait perubahan iklim, telah menjabarkan krisis iklim sebagai "studi kasus dalam keadilan moral dan ekonomi".
Dia berpendapat bahwa "para pencemar harus membayar" karena "negara-negara yang rentan membutuhkan tindakan yang berarti."
Tanggung jawab atas perubahan iklim dapat dilihat pada beberapa tingkatan yang berbeda – tindakan pemerintah, perusahaan, masyarakat, dan individu semuanya dapat dikaitkan dengan emisi.
Sebuah studi yang diterbitkan awal tahun 2022 oleh Dartmouth College di New Hampshire, di AS, untuk pertama kalinya memberikan asesmen tentang tanggung jawab negara-negara dalam memicu krisis iklim.
Laporan tersebut menyimpulkan bahwa emisi dari AS, secara historis penghasil emisi terbesar di dunia , mengakibatkan kerugian lebih dari $1,9 triliun dalam kerusakan iklim di dunia antara tahun 1990 dan 2014.
Empat penghasil emisi terbesar berikutnya - China, Rusia, India dan Brasil - menyebabkan tambahan kerugian ekonomi global sebesar US$4,1 trilun dalam periode waktu yang sama. Jika digabungkan, kerugian ini setara dengan sekitar 11% dari PDB global tahunan.
"Kami menunjukkan bahwa ada dasar ilmiah untuk klaim pertanggungjawaban [iklim]," kata Justin Mankin, rekan penulis studi dan asisten profesor geografi di Dartmouth College.
"Sains menunjukkan bahwa jika satu negara memiliki kerusakan yang dapat dideteksi; upaya negara tersebut untuk mengurangi [emisi] dapat memberi manfaat yang signifikan. Itu sangat penting... Ini menentang narasi 'apa yang bisa dilakukan satu negara?'"
Kalau pemerintah serius untuk menutupi kerusakan akibat bahaya ini, negara-negara dapat membangun fasilitas pembiayaan kerugian dan kerusakan di bawah Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) - badan perubahan iklim PBB - yang akan mereka bayar sesuai dengan kontribusi mereka, kata Sadie DeCoste, seorang aktivis di Tipping Point UK, organisasi nirlaba yang bekerja pada keadilan iklim.
Bagian yang adil dapat dihitung berdasarkan riwayat dan kontribusi mereka saat ini terhadap emisi global, katanya.
Menjadikan dana tersebut bagian dari proses UNFCCC, bukan lembaga eksternal, akan menjadikannya "akuntabel dan transparan" dan memastikan lembaga tersebut merupakan "komitmen kolektif untuk mencapai jumlah yang disepakati", imbuh DeCoste.
Dana semacam itu tidak bisa didasarkan pada komitmen sukarela yang dibuat hanya oleh negara-negara yang lebih bersedia membayar, ujarnya.
Negara-negara paling rentan terhadap perubahan iklim di dunia telah menyerukan agar fasilitas semacam itu didirikan, yang akan menilai kebutuhan negara-negara setelah bencana iklim dan meminta dana khusus dari pemerintah berdasarkan berbagai faktor termasuk kontribusi mereka terhadap pemanasan global.
Dalam konferensi iklim COP27, November tahun lalu, negara-negara membuat terobosan dengan kesepakatan untuk membuat pengaturan pendanaan baru, serta dana khusus, untuk membantu negara-negara berkembang dalam mengatasi kerugian dan kerusakan akibat perubahan iklim.
Mereka juga sepakat membentuk ‘komite transisi’ untuk membuat rekomendasi tentang cara mengoperasionalkan pengaturan pendanaan baru serta dana khusus tersebut pada COP28 tahun ini.
Dikatakan pula bahwa transformasi global menjadi ekonomi yang rendah karbon diperkirakan membutuhkan investasi sebesar $4-6 triliun per tahun .
Sebelumnya, negara-negara kaya bersikeras bahwa bantuan kemanusiaan sudah cukup untuk menangani masalah ini.

Pajak untuk iklim
Tidak cuma negara, perusahaan bahan bakar fosil juga semakin dimintai pertanggungjawaban atas emisi gas rumah kaca mereka. Sebuah laporan tahun 2017 dari CDP, sebuah organisasi nirlaba, menemukan 71% dari seluruh emisi gas rumah kaca global sejak 1988 hanya dihasilkan oleh 100 perusahaan bahan bakar fosil.
Perusahaan-perusahaan ini mendapat untung besar dari mengekstraksi dan menjual bahan bakar fosil, yang telah memicu kenaikan suhu dan memperburuk peristiwa cuaca ekstrem.
Jika perusahaan bahan bakar fosil terbesar di dunia dimintai pertanggungjawaban atas emisi ini, mereka dapat dipaksa untuk membayar secara tahunan, berdasarkan kontribusi mereka pada polusi karbon global yang telah dihasilkan selama 20 tahun terakhir, ke dalam dana iklim yang dibayar pencemar. Ini dapat membantu negara-negara berkembang menangani dampak iklim dan membiayai transisi ke energi bersih.
Pencemar juga dapat diwajibkan untuk membayar atas emisi yang sedang dihasilkan melalui pajak internasional untuk ekstraksi bahan bakar fosil, seperti yang diusulkan oleh koalisi negara-negara yang rentan terhadap iklim.
Dalam skema tersebut, perusahaan akan dikenakan pajak untuk setiap ton batu bara, minyak, atau gas yang mereka ekstraksi. Mulai dari tarif yang rendah dan meningkat setiap tahunnya, pajak semacam itu dapat mengumpulkan miliaran untuk membantu negara-negara membangun kembali dan memulihkan diri dari bencana.
"[Pajak kerusakan iklim] adalah cara untuk membangun akuntabilitas dan tanggung jawab," kata DeCoste. Ini membuka percakapan tentang bagaimana pencemar dapat memberi negara-negara rentan dana yang cukup untuk beradaptasi dengan ancaman iklim yang mereka hadapi, katanya.
Beberapa pemerintah saat ini sudah mempertimbangkan untuk mengenakan pajak atas keuntungan tiba-tiba (windfall profit) dari perusahaan bahan bakar fosil yang sedang diuntungkan oleh harga energi yang tinggi.
Sebagian pendapatan yang dikumpulkan oleh pajak semacam itu dapat membantu masyarakat yang rentan pulih dari peristiwa ekstrem, seperti kekeringan dan banjir.
Namun, limitasi terbesar dari skema ini dalam jangka panjang adalah windfall profit perusahaan bahan bakar fosil hanya bersifat sementara.
"Kita perlu memastikan perusahaan bahan bakar fosil dikenakan pajak secara efektif dan konsisten sepanjang waktu, tidak hanya satu kali," kata Olivia Hanks, aktivis iklim di kelompok kepercayaan Quakers di Inggris.
Namun, karena pemerintah juga perlu menetapkan rencana untuk mengurangi penggunaan batu bara, minyak dan gas, pajak bahan bakar fosil hanya dapat mendanai kerugian dan kerusakan iklim untuk sementara, kata Hanks – yang berarti sumber keuangan lain juga akan diperlukan untuk membayar kerusakan iklim.
Industri yang menggunakan banyak bahan bakar fosil, seperti penerbangan dan pengiriman bunker, juga dapat dikenakan pajak. Perilaku yang tidak sustainable, seperti sering terbang dan makan daging merah, juga dapat dikenakan pajak.
Perilaku yang paling berpolusi cenderung dikaitkan dengan gaya hidup sejumlah kecil orang dengan pendapatan yang sangat tinggi – hanya 1% dari populasi global yang bertanggung jawab atas 50% emisi penerbangan , misalnya, sementara 90% orang tidak pernah terbang sama sekali.
Pungutan tambahan yang dikenakan oleh maskapai penerbangan, yang meningkat dengan setiap penerbangan tambahan yang diambil individu, adalah cara yang "adil, layak, dan cocok" untuk mengumpulkan dana kerugian dan kerusakan, kata beberapa peneliti.
Pungutan seperti itu dapat menghasilkan hingga $5-10 miliar setiap tahun , dapat dengan mudah dikumpulkan pada keberangkatan penerbangan internasional, dan disalurkan ke komunitas yang rentan melalui lembaga internasional seperti Green Climate Fund, yang didirikan untuk membantu negara-negara berkembang mengurangi emisi mereka dan beradaptasi dengan dampak iklim.

Mengalihkan subsidi
Mengalihkan uang publik yang saat ini mendukung kegiatan yang mencemari untuk mendukung mereka yang menderita dampak perubahan iklim juga dapat membuat perbedaan besar.
Sebuah laporan baru-baru ini memperkirakan bahwa pemerintah di seluruh dunia saat ini menghabiskan $ 1,9 trilun setiap tahun untuk subsidi yang berbahaya bagi lingkungan, seperti dukungan untuk produksi bahan bakar fosil dan untuk pertanian intensif.
Ini setara dengan sekitar 2% dari PDB global tahunan – uang yang dalam banyak kasus sebenarnya dapat digunakan untuk mendukung korban bencana iklim.
Pemerintah akan memainkan peran penting dalam meredistribusi uang dengan cara ini, tetapi pengadilan adalah jalan penting lain di mana para korban bencana iklim dapat mendapatkan kompensasi. Kemajuan terbaru dalam ilmu "atribusi iklim" sangat penting di sini.
"Atribusi iklim memungkinkan kita untuk mengukur kontribusi produsen bahan bakar fosil tertentu pada dampak seperti kenaikan suhu rata-rata global, kenaikan permukaan laut, dan pengasaman laut," kata Kathy Mulvey, direktur kampanye akuntabilitas iklim di Union of Concerned Scientists di AS.
Kemajuan ilmiah yang sedang berlangsung di bidang ini akan memudahkan pengacara untuk menggugat para pencemar, kata Richard Wiles, presiden Center for Climate Integrity, sebuah organisasi advokasi di AS yang bekerja untuk meminta pertanggungjawaban pencemar.
Kasus penting yang bertujuan menggunakan ilmu atribusi untuk menuntut kerusakan iklim adalah gugatan yang diajukan oleh seorang petani di Peru terhadap perusahaan utilitas terbesar Jerman, RWE atas melelehnya glasier yang meningkatkan risiko banjir.
Gugatan tersebut dapat menjadi preseden tentang apakah pencemar harus memberikan kompensasi atas kerusakan iklim secara pro rata.
Kekuatan preseden "bisa berarti bahwa kita akan melihat semakin banyak klaim yang berhasil diajukan ke pengadilan," ujarnya. Ini berpotensi berada di yurisdiksi di seluruh dunia dan menargetkan sejumlah besar perusahaan, tambahnya.
"Jika perusahaan yang menghasilkan banyak emisi dapat dimintai pertanggungjawaban atas dampaknya, maka itu benar-benar bisa menjadi game changer untuk tindakan pembayaran [pembayaran untuk kerusakan iklim oleh pencemar] dalam banyak hal."

Jika kasus pengadilan dan pajak yang membuat perusahaan bahan bakar fosil lebih bertanggung jawab atas dampak emisi mereka memang menumpuk, apakah ini akan menjadi lonceng kematian bagi industri – akhir dari batu bara, minyak dan gas?
Ini tentu akan memberi insentif kepada perusahaan bahan bakar fosil untuk beralih memproduksi energi bersih, seperti angin dan matahari, alih-alih memproduksi bahan bakar yang lebih intensif karbon, kata Hanks.
"Kalau pencemar tahu mereka harus membayar biaya penuh dari kegiatan mereka, kita akan melihat transisi energi terjadi jauh lebih cepat."
Dapatkah ini membuat perusahaan bahan bakar fosil bangkrut? "Jika pencemar dianggap bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi akibat emisi mereka, Anda bisa melihat sejumlah besar uang," kata Stuart-Smith.
"Saya pikir bukan hal yang tidak masuk akal untuk berbicara tentang angka dalam miliaran dolar. Kita dapat melihat pembayaran yang cukup besar sehingga secara substansial akan berdampak pada keuntungan [perusahaan bahan bakar fosil]."
Industri bahan bakar fosil diperkirakan telah menghasilkan keuntungan $2.8 miliar per hari selama 50 tahun terakhir – $1triliun per tahun dan total $52 triliun. Dalam skenario di mana perusahaan bahan bakar fosil diminta untuk menanggung seluruh tagihan kerusakan iklim (diproyeksikan mencapai $290-580 miliar (£260-520 miliar) per tahun pada tahun 2030 ), ini setara dengan sekitar 30-60% dari keuntungan tahunan mereka saat ini.
Tuntutan hukum juga dapat secara langsung berdampak pada model bisnis pencemar ke depan, tambah Stuart-Smith. "Kita melihat kasus-kasus yang dibawa ke pengadilan, misalnya, menyebut rencana pengurangan emisi perusahaan dan nasional tidak memadai," katanya.
Putusan pengadilan Belanda tahun 2021, misalnya, memerintahkan Shell untuk mengurangi emisinya sejalan dengan Perjanjian Paris tentang perubahan iklim .
Konsekuensi dari ini juga melampaui kerusakan langsung yang dibayarkan oleh perusahaan, kata Wiles. "[Kerusakan sebenarnya] adalah risiko reputasi dan hilangnya lisensi sosial mereka."
Apa manfaatnya bagi negara-negara yang rentan?
Bagi negara-negara yang rentan terhadap iklim, dana yang dibayar oleh pencemar akan menjadi penyelamat. Dana jangka panjang akan memungkinkan mereka untuk berinvestasi dalam infrastruktur tangguh yang melindungi mereka dari peristiwa ekstrem, seperti angin topan dan banjir, serta ancaman yang bergerak lambat, seperti naiknya permukaan laut.
Uang itu juga akan memungkinkan negara-negara untuk memperkuat sistem kesehatan masyarakat mereka dan menutupi biaya kesehatan terkait iklim, seperti penyakit yang ditularkan melalui air, yang meningkat karena perubahan iklim .
Ini juga dapat memberikan kompensasi bagi pekerja yang kehilangan pekerjaan di industri yang menghasilkan polisi. Industri batu bara global, misalnya, diperkirakan kehilangan 4,7 juta pekerjaan dalam transisi energi bersih, sementara industri pertambangan diperkirakan akan kehilangan 4 juta pekerjaan . Kompensasi juga dapat mendukung pekerja yang kehilangan pekerjaan karena dampak iklim, seperti petani dan nelayan, kata Mulvey.

Banyak negara berkembang sangat bergantung pada bahan bakar fosil untuk memenuhi kebutuhan energi dan menumbuhkan ekonomi mereka. "Tapi jalan menuju pembangunan itu kotor; ini industrialisasi," kata Mankin.
Mankin mengatakan tidak jelas apakah pendanaan kerugian dan kerusakan akan menempatkan negara-negara ini pada jalur yang lebih bersih dan memungkinkan mereka untuk berkembang dan pada saat yang sama beradaptasi dengan ancaman iklim.
Namun Hanks mengatakan pembayaran kerugian dan kerusakan akan menciptakan "ruang finansial dan pengambilan keputusan" bagi negara-negara berkembang untuk fokus pada transisi energi, daripada harus "terus-terusan menangani bencana demi bencana tanpa uang untuk melakukannya".
Pembiayaan kerugian dan kerusakan juga dapat membuat perbedaan besar bagi orang-orang yang telah mengungsi secara permanen karena perubahan iklim. Diperkirakan pada tahun 2050 hingga 216 juta orang akan terpaksa meninggalkan rumah mereka karena dampak iklim seperti kelangkaan air, penurunan produktivitas tanaman dan kenaikan permukaan laut.
Uang itu juga dapat digunakan untuk pemulihan ekosistem vital, seperti bakau dan terumbu karang, yang telah rusak atau hancur oleh badai dan banjir dan dapat memberikan perlindungan vital terhadap dampak iklim.
Di dunia di mana pencemar membayar bagian mereka yang adil, apakah itu cukup untuk mengkompensasi masyarakat atas kerugian yang mereka derita? Wiles mengatakan apa pun yang dibayar, itu "tidak akan pernah cukup", karena banyak komunitas akan terus melihat dampak iklim di masa depan.
Terlebih lagi, ada beberapa dampak iklim yang tidak pernah dapat dibayar oleh pencemar - karena mereka tidak dapat diukur atau dipulihkan dengan biaya berapa pun, kata Mulvey.
"Tidak ada jumlah uang yang dapat mengkompensasi beberapa kehilangan dan kerusakan iklim: hilangnya nyawa manusia, warisan budaya, spesies hewan dan tumbuhan, dan tanah leluhur adalah salah satu dampak yang paling mendalam," katanya.
"Kedaulatan negara yang telah kehilangan wilayah fisiknya [karena naiknya permukaan laut, misalnya] tidak dapat dikembalikan dengan uang."
Namun, pencemar yang membayar ganti rugi akan membantu memperbaiki ketidakadilan iklim global dan mengakui bahwa mereka yang dirugikan secara tidak proporsional oleh perubahan iklim cenderung bukan orang yang bertanggung jawab untuk menyebabkannya.
"Ini akan membantu kita mengubah cara berpikir tentang tanggung jawab," kata Hanks. "Ini tentang mempertanggungjawabkan kesalahan moral, [dan] juga membayangkan dunia dan relasi kekuasaan secara berbeda."
Kapitalisme mengajarkan kita pola pikir kompetitif di mana kita sebagai negara kita tidak perlu memberikan uang kepada negara lain karena dapat mempertaruhkan keuntungan strategis kita.
"Tetapi adalah mungkin untuk berpikir dalam istilah yang lebih kooperatif dan menyadari bahwa jika [negara-negara rentan] berkembang, itu membuat [negara-negara kaya] juga lebih mungkin untuk berkembang."
Anda dapat membaca versi bahasa Inggris artikel ini di BBC Future .