Konten Media Partner

Turki Dilanda Krisis Ekonomi, Kaum Mudanya Ingin Pergi Tinggalkan Negaranya

5 Januari 2022 11:58 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Berna sedang mengejar titel PhD dalam bidang jurnalisme di Ankara.
zoom-in-whitePerbesar
Berna sedang mengejar titel PhD dalam bidang jurnalisme di Ankara.
"Saya ingin tinggal di sini karena ini kampung halaman saya. Tapi saya juga ingin pergi dari sini karena saya mendambakan kehidupan layaknya seorang manusia."
Pernyataan itu dikemukakan Berna Akdeniz, seorang mahasiswa S3 berusia 28 tahun yang tinggal di ibu kota Turki, Ankara.
Berna merupakan seorang tuna rungu. Dia bergantung pada alat bantu dengar berupa implan koklea. Ini adalah perangkat elektronik yang memungkinkan orang tuli untuk mendengar suara.
Namun kelangkaan peralatan medis impor yang baru-baru ini terjadi membuatnya cemas tidak dapat mendengar lagi.
"Pemasok koklea telah mengumumkan bahwa mulai Januari dan seterusnya mereka tidak lagi dapat mengimpor produk karena inflasi tinggi dan nilai tukar lira memakan keuntungan mereka," kata Berna.
"Jadi mereka akan bernegosiasi dengan pemerintah agar mendukung bisnis mereka.
"Bagaimana jika mereka tidak mencapai kesepakatan? Hanya memikirkan kemungkinan itu saja sudah membuat saya takut," ujarnya.
Pergi atau tidak pergi? Itulah pertanyaan berliku yang semakin banyak muncul di benak warga Turki, terutama orang muda, akhir-akhir ini.
Perekonomian Turki sedang bergolak. Nilai mata uang mereka menukik, kehilangan hampir setengah dari nilainya dalam setahun. Inflasi Turki meninggi dan harga berbagai komoditas melonjak.
Keluarga berpenghasilan rendah merasa semakin sulit untuk memenuhi kebutuhan. Ini juga dirasakan kelompok kelas menengah Turki.

'Saya ingin keamanan'

Di media sosial, semakin banyak warga Turki membahas keuntungan dan kerugian mencari kehidupan baru di luar negeri. Banyak warganet di negara itu mendengar pengalaman orang-orang Turki yang lebih dulu mengambil langkah itu.
Berna belum mengambil keputusan, tapi dia tergoda untuk pindah ke Eropa. Dukungan negara terhadap penyandang tunarungu adalah faktor utama yang mendorongnya.
"Saya ingin keamanan. Saya ingin jaminan dalam hidup bahwa saya akan dapat mendengar," ujarnya.
Berna adalah satu dari banyak orang muda berpendidikan dari kelas menengah perkotaan di Turki yang mempertimbangkan kehidupan baru di luar negeri.
Mereka memiliki latar belakang yang sangat berbeda dengan imigran Turki pada dekade sebelumnya. Pada masa sebelum ini, orang-orang Turki hijrah ke luar negeri dari pedesaan yang memberi mereka sedikit peluang meraih pendidikan.
Sebuah survei pada tahun 2020 menunjukkan bahwa lebih dari 70% anak muda di Turki ingin meninggalkan negara itu.
Harun Yaman, lulusan perguruan tinggi berusia 28 tahun dari kota Gaziantep di Turki selatan, termasuk dalam generasi baru ini.
Harun memegang gelar sarjana dalam ilmu media televisi, film dan radio. Dia mengatakan telah memutuskan pergi ke Eropa. Targetnya adalah memulai kehidupan baru di Irlandia.
Sejak lulus pada tahun 2018, Harun berjuang mencari pekerjaan sesuai bidang studinya. Saat ini dia bekerja di depo sebuah perusahaan tekstil.
Harun berharap bisa menetap di Irlandia melalui program 'Bekerja dan Belajar' pemerintah setempat.
"Saya tidak melihat harapan atau cahaya apa pun untuk masa depan di Turki. Itulah mengapa saya ingin pergi," ujarnya.
Ada biaya yang harus dibayar untuk mendaftar program itu di Irlandia. Harun telah membayar sebagian ongkos itu.
Namun penurunan tajam nilai lira Turki mengganggu rencananya. Sekarang dia membutuhkan lebih banyak waktu untuk menabung dan melunasi biaya dalam mata uang euro.
"Saya tidak memiliki kehidupan sosial di Turki. Saya bekerja lebih dari 10 jam sehari," ujarnya.
"Krisis mata uang mengurangi daya beli kami. Kami memiliki begitu banyak masalah. Kebijakan keliru pemerintah memicu kemiskinan pada banyak orang dan menyebabkan perpecahan di masyarakat," kata Harun.

Lebih dari 70% warga Turki memimpikan kehidupan di luar negeri

Menurut data resmi, kebanyakan orang yang meninggalkan Turki berusia antara 25 dan 29 tahun.
Institut Statistik Turki menunda perilisan data migrasi tahun 2020 mereka yang awalnya hendak mereka diterbitkan pada September 2021.
Temuan mereka pada tahun 2019 menunjukkan, lebih dari 330.000 orang meninggalkan Turki untuk tinggal di luar negeri. Jumlah itu meningkat 2% dari tahun sebelumnya.
Angka-angka terbaru diprediksi menunjukkan tren yang terus berlanjut.
Seorang pengunjuk rasa memegang poster bertuliskan, "Kami tidak dapat memenuhi kebutuhan".
Survei yang dilakukan Universitas Yeditepe Istanbul dan MAK Consultancy tentang bagaimana kaum muda Turki memandang imigrasi mengejutkan publik setempat.
Jajak pendapat yang digelar Agustus 2020 itu menemukan bahwa 76% responden menyatakan siap tinggal di negara lain jika mereka diberi kesempatan sementara.
Ketika ditanya apakah mereka akan pergi secara permanen jika mendapatkan kewarganegaraan di negara lain, 64% responden mengatakan mereka akan mengambil tawaran itu.
Turki, seperti banyak negara lain, merasakan tekanan ekonomi yang disebabkan pandemi Covid-19. Situasi mereka diperburuk krisis mata uang.
Walau begitu, akademisi Turki Ibrahim Sirkeci, seorang ahli studi migrasi yang berbasis di Inggris, percaya bahwa faktor-faktor sosial dan politik juga sangat berperan memicu tren ini.
"Ini jelas merupakan gelombang baru migrasi dari Turki," kata Sirkeci kepada BBC.

Mencari kebebasan

"Sebagian besar masyarakat Turki telah kehilangan harapan masa depan karena mereka merasa dikucilkan dari kekuatan politik. Yang merasakan itu termasuk pengusaha, pebisnis, seniman, dan para sarjana," tuturnya.
Para kritikus menuduh Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, membatasi kebebasan berbicara dan menekan oposisi.
Semakin banyak warga negara Turki yang meminta suaka di negara-negara Eropa. Menurut Eurostat, badan statistik Uni Eropa, jumlahnya meningkat lebih dari dua kali lipat selama satu dekade terakhir.
Puncaknya terjadi pada 2019 saat hampir 25.000 warga Turki memohon suaka dari negara lain.
Di satu sisi, Turki adalah salah satu negara teratas yang menampung pengungsi dari negara lain. Sebagian besar pengungsi itu berasal dari Suriah.
Tidak semua warga Turki merasa mudah meninggalkan tanah air mereka.
"Namun Turki juga satu-satunya negara anggota OECD yang menghasilkan lebih banyak pengungsi daripada negara berkembang mana pun, kecuali Irak, Afghanistan, dan Suriah. Itu adalah tren baru," kata Sirkeci.
"Saya menyebutnya orang buangan anti-Erdogan. Orang-orang melarikan diri dari rezim dan struktur politik tertentu," ujarnya.
Namun pemerintah Turki menolak anggapan dan data yang menunjukkan bahwa orang-orang muda berkualitas sedang 'melarikan diri'.
Menteri Tenaga Kerja dan Jaminan Sosial Turki, Vedat Bilgin, membahas masalah ini dalam sebuah seminar Oktober lalu.
"Antusiasme untuk pergi ke luar negeri lebih banyak di kalangan anak muda. Itu adalah keinginan yang wajar. Mereka ingin mengenal dunia," ucapnya.
Bagaimanapun, Berna menyebut meninggalkan Turki akan menjadi keputusan yang sulit baginya. Dia bermimpi memulai sebuah keluarga dan bagian dari mimpi itu adalah tentang kembali ke Turki.
"Saya ingin anak-anak saya tumbuh di tanah air saya. Mereka harus melihat keindahan alam Turki," kata Berna.