Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
10 Ramadhan 1446 HSenin, 10 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Habis Gelap Kembali Terang
10 Maret 2025 13:33 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Odemus Bei Witono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di SD Strada Majulah, seorang anak bernama Irwan Ferdinand dikenal sebagai siswa yang malas bersekolah. Hampir setiap hari, teman-temannya seperti Roni, Tatang, Tina, dan Susi mengingatkannya agar rajin masuk kelas, tetapi dia hanya menanggapi dengan cengengesan dan berkata, "Santai saja, nanti juga aku bisa mengejar pelajaran."
ADVERTISEMENT
Perkataan itu seolah-olah menjadi mantra yang Irwan ulang-ulang setiap kali ada yang menasihatinya. Akan tetapi kenyataannya, semakin hari dia semakin jauh tertinggal dibandingkan teman-temannya. Dia lebih suka menghabiskan waktu di luar kelas, bermain di lapangan atau sekadar bersantai di kantin saat pelajaran berlangsung.
Teman-temannya terkadang merasa kesal, tetapi mereka tetap berusaha menyadarkannya karena mereka tahu bahwa Irwan sebenarnya anak yang cerdas, hanya saja dia kurang memiliki motivasi untuk belajar dengan sungguh-sungguh.
Bu Wati, wali kelasnya, sering kali menegurnya dengan nada lembut tetapi tegas. "Irwan, kalau kamu terus begini, nanti kamu sendiri yang rugi. Masa depanmu ada di tanganmu sendiri," ucapnya setiap kali melihat Irwan tidak memperhatikan pelajaran atau mengerjakan tugas dengan asal-asalan.
ADVERTISEMENT
Kendati demikian, peringatan itu masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Irwan tetap bersikap acuh tak acuh, merasa bahwa belajar bukanlah sesuatu yang mendesak untuk dipikirkan saat ini. Baginya, sekolah hanyalah tempat bermain, bukan tempat untuk bersusah payah memikirkan masa depan.
Bahkan ketika teman-temannya mendapatkan nilai bagus dan menunjukkan rasa bangga mereka, Irwan tetap tidak merasa tergugah mengikuti jejak mereka. Dia masih meyakini bahwa nanti akan ada waktu untuk memperbaiki segalanya, tanpa sadar bahwa waktu terus berjalan dan Irwan semakin tertinggal jauh di belakang.
Tidak hanya Bu Wati, Pak Darmawan, kepala sekolah, juga pernah memanggilnya ke ruangannya dan memberikan nasihat panjang lebar. Dengan suara yang penuh wibawa, Pak Darmawan mencoba menjelaskan pentingnya disiplin dan kerja keras dalam meraih masa depan yang cerah.
ADVERTISEMENT
"Irwan, kamu punya potensi, tetapi kalau kamu tidak menggunakannya dengan baik, kamu hanya akan menyesal nanti," kata beliau dengan serius. Namun, Irwan hanya menundukkan kepala, berpura-pura mendengarkan, padahal pikirannya sudah melayang ke luar ruangan, membayangkan betapa asyiknya bermain bersama teman-temannya di luar sana.
Setelah keluar dari ruangan kepala sekolah, dia kembali ke kebiasaannya yang lama, seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa.
Hari demi hari berlalu, dan tibalah saat pembagian rapor. Ketika Irwan menerima rapornya, wajahnya seketika berubah. Nilai-nilainya anjlok drastis, bahkan dia nyaris tidak naik kelas. Sejenak, dia merasa takut, tetapi ketakutan itu segera ditepis dengan anggapan bahwa masih ada kesempatan untuk memperbaiki semuanya nanti.
Orang tuanya, Pak Jatmiko dan Bu Ratih, sangat khawatir. Mereka telah berusaha keras menasihatinya, tetapi sepertinya Irwan tidak pernah benar-benar mendengarkan. "Nak, hidup ini tidak selamanya bermain-main. Kamu harus belajar agar tidak tertinggal," ujar Bu Ratih dengan mata berkaca-kaca, merasa sedih melihat anaknya semakin tidak peduli dengan masa depannya.
ADVERTISEMENT
Meskipun semua orang di sekelilingnya mencoba membantunya sadar, Irwan tetap tidak berubah. Hingga suatu hari di kelas 6, terjadi sesuatu yang mengubah hidupnya. Bu Nita, guru bahasa Indonesia, memberikan tugas membaca buku tentang kisah para pahlawan nasional.
Setiap siswa diminta untuk memilih salah satu buku dan membaca serta merangkum isi ceritanya. Irwan awalnya menganggap tugas itu membosankan, tetapi karena tidak ingin mendapat teguran lagi, dia memilih sebuah buku secara acak—kisah perjuangan Jenderal Sudirman. Dengan setengah hati, dia mulai membacanya, tidak menyadari bahwa kisah itu akan meninggalkan dampak besar dalam hidupnya.
Semakin dalam dia menyelami kisah Jenderal Sudirman, semakin hatinya mulai tersentuh. Dia membaca bagaimana sang jenderal tetap berjuang mempertahankan tanah air meskipun dalam kondisi sakit. Bagaimana beliau dengan penuh semangat memimpin pasukannya, bahkan ketika tubuhnya lemah dan harus ditandu untuk bergerak dari satu tempat ke tempat lain.
ADVERTISEMENT
Keberanian, keteguhan, dan pengorbanan Jenderal Sudirman perlahan-lahan menggugah hati Irwan. Dia mulai merenungkan bagaimana selama ini hanya bermalas-malasan, sementara ada begitu banyak orang di masa lalu yang rela mengorbankan segalanya demi bangsa dan negara.
Saat itulah kesadaran menyapanya. Dia merasa malu pada dirinya sendiri. "Apa yang aku lakukan selama ini? Aku hanya malas dan tidak peduli. Jika aku terus seperti ini, aku akan menjadi sampah masyarakat!" gumamnya dalam hati.
Perasaan itu tidak seperti perasaan bersalah yang sementara, tetapi benar-benar menggerakkan hatinya untuk berubah. Dia mulai memahami bahwa jika tidak segera mengambil tindakan, Irwan akan semakin terperosok dalam kebiasaan buruknya. Dia tidak ingin menjadi seseorang yang hanya membuang-buang waktu tanpa arah. Irwan ingin menjadi seseorang yang memiliki tujuan, seperti Jenderal Sudirman yang tetap teguh dalam perjuangan meskipun dihadapkan pada kesulitan luar biasa.
ADVERTISEMENT
Sejak hari itu, Irwan bertekad untuk berubah. Dia mulai bangun pagi, datang tepat waktu ke sekolah, dan berusaha lebih fokus dalam belajar. Irwan tidak lagi duduk melamun di kelas atau bermain-main saat pelajaran berlangsung. Dia bahkan mengejar ketertinggalannya dengan bertanya kepada teman-temannya, Roni, Tatang, Tina, dan Susi.
Awalnya mereka kaget melihat perubahan Irwan, tetapi mereka juga merasa senang karena akhirnya teman mereka menyadari pentingnya belajar. Mereka dengan senang hati membantunya memahami pelajaran yang selama ini diabaikan. Perlahan tapi pasti, Irwan mulai mengejar ketertinggalannya.
Bu Wati dan Bu Nita juga memperhatikan perubahan drastis dalam diri Irwan. Mereka yang sebelumnya sering merasa frustrasi dengan sikapnya, kini mulai melihat secercah harapan. "Akhirnya kamu sadar, Irwan," kata Bu Nita suatu hari setelah melihat Irwan dengan serius mengerjakan tugasnya.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Pak Darmawan juga bangga melihat bagaimana Irwan yang dulu dikenal sebagai siswa pemalas, kini berubah menjadi seseorang yang penuh semangat dalam belajar. Semua guru dan teman-temannya memberikan dukungan penuh agar Irwan bisa terus mempertahankan perubahan positif ini.
Waktu berlalu, dan saat kelulusan tiba, Irwan berhasil lulus dengan nilai yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Dia memang belum menjadi siswa yang paling pintar di kelas, tetapi dibandingkan dengan dirinya yang dulu, perubahannya sungguh luar biasa.
Orang tuanya, Pak Jatmiko dan Bu Ratih, sangat terharu melihat perjuangan sang anak. Mereka yang semula begitu khawatir kini merasa bangga karena anak mereka akhirnya memahami betapa pentingnya disiplin dan kerja keras. "Terima kasih, Nak, akhirnya kamu sadar betapa pentingnya disiplin dan belajar," ujar Pak Jatmiko sambil menepuk pundak anaknya dengan bangga.
ADVERTISEMENT
Irwan tersenyum. Dia tahu dan mengerti bahwa perjalanannya baru saja dimulai. "Aku tidak mau lagi menjadi orang yang tidak berguna. Aku ingin menjadi seseorang yang bermanfaat bagi bangsa dan orang-orang di sekitarku," katanya dengan penuh keyakinan.
Dia sadar bahwa masa depan bukanlah sesuatu yang bisa ditunda-tunda, melainkan sesuatu yang harus diperjuangkan dari sekarang. Irwan tidak ingin mengulang kesalahan masa lalu, dan berjanji pada dirinya sendiri untuk terus belajar dan berkembang.
Sejak saat itu, Irwan tumbuh menjadi pribadi lebih baik. Habis gelap maka kembali terang. Dia tidak pernah lagi meremehkan arti pentingnya disiplin dalam hidupnya. Dia belajar bahwa setiap usaha yang dilakukan hari ini akan menentukan masa depan.
Irwan juga menyadari bahwa perubahan tidak datang begitu saja, tetapi harus dimulai dari diri sendiri. Dan itulah pelajaran terbesar yang didapatkan—bahwa setiap orang memiliki kesempatan berubah, selama mereka mau berusaha dan tidak menyerah.
ADVERTISEMENT