Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Hening, Jalan Sunyi Pendidik yang Mencerahkan
6 Mei 2025 11:03 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Odemus Bei Witono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di tengah dinamika pendidikan modern yang serba cepat, para pendidik dituntut menjadi pribadi serba bisa—menguasai teknologi, mengadaptasi kurikulum, memahami psikologi murid, hingga menyusun laporan administrasi.
ADVERTISEMENT
Dalam pusaran tanggung jawab padat itu, satu dimensi yang kerap tersisih adalah ruang untuk hening. Padahal, justru dalam keheningan seorang guru dapat menyentuh kembali jati dirinya sebagai pendidik: bukan hanya pengajar, tetapi pembimbing kehidupan.
Hening bukan berarti menghindar dari tugas, melainkan bentuk kedewasaan batin seorang pendidik. Dalam diam, guru bertemu dengan dirinya sendiri.
Seorang guru dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang jarang terdengar di tengah kebisingan aktivitas, "Apakah yang aku ajarkan sungguh membentuk kehidupan muridku? Apakah kehadiranku bermakna bagi mereka? Apakah aku masih setia pada panggilanku?"
Keheningan membuka ruang menyelami pertanyaan-pertanyaan tersebut, bukan demi jawaban instan, melainkan demi kejujuran dalam mengajar.
Kadang kala, makna dari pengalaman tidak langsung tampak. Seorang guru bisa merasa gagal setelah pelajaran yang tampak kacau, atau hampa setelah bertahun-tahun mengajar tanpa melihat perubahan berarti. Akan tetapi ketika waktu hening disediakan—entah dengan menuliskan kembali pengalaman, berdoa, atau sekadar duduk dalam diam—makna itu perlahan terungkap.
ADVERTISEMENT
Keheningan menjadi ruang pemaknaan ulang, tempat luka dirawat, dan semangat diperbaharui. Di sinilah dimensi spiritual seorang guru tumbuh, yakni tidak sekadar produktif, tetapi reflektif dan penuh kasih.
Pentingnya kedalaman batin dalam pendidikan bukan hal baru. Rabindranath Tagore, tokoh pendidikan dari India, melihat pendidikan sebagai dialog jiwa dengan jiwa.
Bagi Tagore (1917), guru bukanlah mesin penyampai materi, melainkan pribadi yang hadir secara utuh dan mampu menangkap keunikan dalam diri setiap murid. Ia menekankan pentingnya pembelajaran dinamis, bukan sekadar sistematis.
Begitu juga dengan John Dewey, filsuf pendidikan asal Amerika, yang menekankan pentingnya pengalaman reflektif. Bagi Dewey (1916), pendidikan merupakan proses berpikir kritis terhadap pengalaman, bukan pengulangan informasi.
Tagore dan Dewey seakan menggandeng tangan para pendidik menuju kedalaman. Keduanya tidak menolak kemajuan, tetapi memberi peringatan, yaitu jangan kehilangan dimensi manusiawi dalam pendidikan.
ADVERTISEMENT
Dan untuk menjaga dimensi kemanusiaan, keheningan menjadi alat yang tak tergantikan. Hanya dalam diam, guru dapat mengenali dirinya sebagai manusia, bukan sekadar profesional; sebagai pribadi, bukan hanya pelaksana kurikulum.
Hening juga menjadi ruang spiritual. Seorang guru bermutu baik, dalam makna terdalam, adalah pendoa bagi murid-muridnya. Doa di sini tidak terbatas pada ritual keagamaan, melainkan ungkapan batin yang tulus berupa kepedulian yang melampaui kemampuan mengajar, kasih yang tidak mengharap balas.
Dalam doa, seorang guru menyerahkan keterbatasan dirinya, membuka ruang kehadiran yang melampaui dirinya sendiri. Ia tahu, ada hal-hal yang tak bisa dikendalikan, dan di situlah ia belajar untuk percaya, berharap, dan mengasihi.
Retret menjadi bentuk konkret dari pencarian hening ini. Dalam budaya pendidikan yang humanistik, retret bukan sekadar waktu istirahat, tetapi ruang kontemplatif memperbarui makna panggilan.
ADVERTISEMENT
Banyak guru yang dalam keheningan retret menemukan kembali nyala yang sempat padam. Mereka pulang dengan mata lebih jernih, hati lebih ringan, dan tekad lebih murni. Retret merupakan bukti bahwa untuk menjadi pendidik berkualitas, seseorang perlu rela mundur sejenak dari keramaian untuk melangkah lebih dalam.
Keheningan, jika direngkuh dengan tulus, akan membentuk pendidik yang hadir sepenuhnya: kepada dirinya, kepada murid, dan kepada Sang Sumber Kehidupan.
Guru yang belajar hening akan lebih peka terhadap kebutuhan murid, lebih sabar menghadapi perbedaan, dan lebih jujur mengakui keterbatasannya. Ia tidak cepat bereaksi, tetapi mampu merespons dengan bijak. Ia tidak mudah terguncang oleh tekanan, karena punya akar kuat dalam batin yang terawat.
Kendati demikian, menyediakan ruang hening bukan hal mudah. Dunia pendidikan hari ini lebih menghargai kecepatan dan produktivitas daripada permenungan. Guru yang berhenti sejenak sering dianggap malas atau tidak adaptif. Di sinilah dibutuhkan keberanian.
ADVERTISEMENT
Keberanian untuk melawan arus. Keberanian mengatakan, “Aku butuh waktu diam, agar aku bisa kembali mengajar dengan utuh.” Hening adalah bentuk kebijaksanaan; tahu dan mengerti kapan berhenti, agar bisa kembali melangkah dengan penuh daya.
Sebagaimana tanah yang tak boleh terus-menerus digarap tanpa jeda, jiwa pendidik pun butuh waktu untuk diistirahatkan. Bila tidak, pendidik dalam banyak peristiwa akan merasa gersang. Bila terus dipaksa, kehilangan daya hidup.
Maka dari itu, hening adalah bentuk pemeliharaan terhadap jiwa. Keheningan bukan kemewahan, tetapi kebutuhan mendasar. Menjadi hening bukan kelemahan, tetapi kekuatan tersembunyi dari seorang pendidik sejati.
Akhirnya, pendidik yang terdiri dari para guru dan calon guru, perlu merawat ruang hening itu—dalam bentuk doa, jurnal harian, permenungan pribadi, rekoleksi atau retret bersama. Karena hanya dengan hening, pendidik bisa mendengar suara hati.
ADVERTISEMENT
Dan hanya dengan mendengar hati, pendidik bisa sungguh-sungguh hadir bagi mereka yang Tuhan titipkan kepada, yaitu para murid. Melalui hening pendidik menjaga nyala api pengabdian tetap hidup, sekaligus membuat pendidikan menjadi jalan bermakna, manusiawi, dan penuh harapan.