Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Keberagaman Keyakinan Religius dalam Persatuan Bangsa
22 Januari 2023 11:00 WIB
Tulisan dari Odemus Bei Witono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam hidup bermasyarakat, orang di kalangan tertentu mengenal istilah mitos religius. Mitos tersebut diceritakan dengan maksud menjawab aneka pertanyaan mengenai kehidupan manusia. Manusia dalam tradisi menciptakan aneka mitos. Mitos biasanya sering digunakan untuk melegitimasi keberadaan kosmis atau struktur-struktur sosial yang ada. Cerita mitos itu kerap kali menggunakan bahasa simbol, sehingga memunculkan aneka penafsiran atas kisah yang dimitoskan. Mitos religius kerap mencampur adukan suatu cerita dengan sesuatu yang bernuansa ketuhanan, sehingga tidak jarang manusia membenarkan apa yang diceritakan oleh mitos.
ADVERTISEMENT
Selain cerita mitos, ritual keagamaan kerap juga menggunakan bahasa simbol. Agama-agama yang lekat dalam budaya umumnya mempunyai bahasa simbol tertentu, yang terkait dengan sesuatu yang dianggap melampaui hidup manusia normal (transenden), yaitu kehidupan ilahi. Bahasa simbol ini nampak jelas dalam banyak ritual keagamaan. Aneka ritual merupakan aksi simbolis sosial agamis. Kegiatan aneka ritual yang dilakukan berulang-ulang jika tidak direfleksikan dan dihayati lama-kelamaan bisa menjadi kegiatan rutinitas belaka. Jika demikian, kegiatan ritual keagamaan kurang dirasakan maknanya.
Menurut Michael Amaladoss (2003), ritual keagamaan merupakan integrasi performatif sosial dan psikologikal manusia. Lantas apakah di dalam simbol-simbol keagamaan terdapat suatu kebenaran? Kebenaran simbolik itu bisa dipahami sejauh sesuai dengan kenyataan hidup yang dialami seseorang. Pada kenyataan, simbol-simbol keagamaan kurang menunjukkan realitas sesungguhnya. Simbol-simbol itu mempunyai keterbatasan untuk ditafsirkan. Walaupun simbol-simbol sebagai media pengalaman terbatas, pengalaman dan komitmen manusia kerap dipengaruhi oleh simbol yang dianggap mutlak benar. Sebuah gerakan yang melampaui simbol-simbol agama adalah partikular benar pada tingkat hubungan. Hal tersebut menunjukkan artikulasi antara pengetahuan dan aksi.
ADVERTISEMENT
Dalam analisis Amaladoss, agama-agama tertentu mengklaim sebuah status khusus atas simbol-simbol, mitos, cerita-cerita dan ritual-ritual mereka. Tak jarang, orang mengenal Tuhan sesuai dengan image-nya saja. Padahal wahyu ilahi jelas, yaitu bersumber dari Tuhan sendiri. Kehendak Allah dan keinginan manusia tidak bisa dipertentangkan. Oleh sebab itu, perlu dialektika iman, agar terjadi keselarasan antara kehendak Tuhan dan keinginan manusia. Wahyu Tuhan sendiri adalah sebuah komunikasi antara Tuhan dan manusia.
Salah satu persoalan terkait simbol-simbol religius, yaitu adanya orang yang memberikan kualitas mutlak dari realitas simbolik yang mereka yakini. Sebenarnya, tidak ada satupun orang yang dapat mengklaim telah mengetahui realitas secara pasti tanpa cacat bahkan terhadap realitas yang ditampakkan. Orang sering membuat cerita beberapa orang buta dan seekor gajah. Masing-masing orang buta mempunyai gambaran tentang gajah berbeda-beda, tergantung pada apa yang mereka sentuh.
ADVERTISEMENT
Dalam afirmasi relasional menurut Amaladoss terdapat tegangan, yaitu saat merumuskan suatu kebenaran objektif. Tegangan ini terjadi karena adanya relasi antara subjek dan objek kebenaran. Kebenaran objektif kadang sulit diwujudkan karena kemampuan kita dalam menafsirkan kebenaran terbatas. Kita tidak bisa memaksakan ide atau gagasan kepada seseorang atau kelompok tertentu, karena simbol-simbol pengetahuan kita terbatas. Untuk mengatasi keterbatasan, orang mencoba mengetahui realitas lewat banyak dialog pengalaman, aneka perspektif dan simbol-simbol. Orang perlu belajar memahami apa itu kebenaran, agar kemampuan tafsir atas sesuatu yang benar terasa cukup memadai. Seseorang atau sekelompok orang dalam keterbatasan seharusnya tidak menganggap diri paling benar, dan berhak menghakimi orang/kelompok lain yang berbeda.
Jika kemampuan tafsir manusia atas kebenaran terbatas, maka apa yang menjadi kriteria, agar orang dapat menghakimi satu sama lain? Mereka yang menganggap diri paling benar kadang merasa layak untuk menjadi hakim atas kelompok-kelompok lain yang berbeda. Tentu saja, tindakan mereka sangat sulit untuk dibenarkan. Manusia dalam dimensi kultural dan perspektif experiential yang berbeda, bukan pemicu konflik horisontal. Akan tetapi sebaliknya, dalam perbedaan manusia diharapkan mampu hidup bersama, dapat berinteraksi secara aktif, berkomunikasi secara baik, dan saling mengingatkan jika terjadi kesalahpahaman dalam pergaulan hidup sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Dalam hidup bersama, perlunya kenjelasan, dan konsensus rasional mengenai tujuan dan pengertian umum dalam kehidupan masyarakat dewasa. Masing-masing pemeluk agama, dalam relasi sosial kemanusiaan dalam praksis hidup bersama sangat mungkin terjadi. Budaya gotong royong, saling membantu secara kultural sudah lama terbangun. Adanya enam agama dan aliran kepercayaan yang diakui di Indonesia tidak menghalangi silaturahmi antar anak bangsa dalam merawat keragaman hidup dalam persatuan.
Dalam analisis Amaladoss, kebenaran bukan bersifat subjektif, melainkan inter-subjektif. Banyak orang berpikir bahwa wahyu adalah jaminan mutlak benar, padahal hanya Allah yang merupakan kebenaran mutlak. Wahyu ilahi yang ditangkap oleh manusia melalui medium kemanusiaan dan bahasa yang terbatas. Dengan demikian manifestasi wahyu ilahi tidak pernah total dapat ditangkap oleh manusia. Karena keterbatasan manusia menerima wahyu ilahi, maka orang baik secara individual, maupun komunal tidak dapat mengklaim diri mengetahui seluruhnya dari yang Mutlak Benar.
ADVERTISEMENT
Sebagai catatan akhir, simbol-simbol religius, aneka narasi dan ritual dapat diyakini, dihayati, dan dihidupi. Menghormati keyakinan orang yang berbeda-beda dalam persatuan menciptakan harmoni kehidupan. Kita patut bersyukur di Indonesia ada enam agama, dan aneka aliran kepercayaan yang diakui secara resmi, tetapi sebagian besar orang di sana, dan si sini dapat hidup secara rukun dan damai.
Seandainya terjadi kesalahpahaman di masyarakat, melalui media komunikasi dialogis yang beradab tatanan hidup kemasyarakatan dapat kembali ditata. Kita satu bangsa, berbeda-beda tetapi tetap satu, “Bhinneka Tunggal Ika”, semboyan, dan impian para pendiri bangsa terhadap negeri yang kaya dengan ragam agama, suku, dan budaya.