Konten dari Pengguna

Memahami Intoleransi Melalui Pendidikan dan Empati

Odemus Bei Witono
Direktur Perkumpulan Strada, Pengamat Pendidikan, Kandidat Doktor Filsafat di STF Driyarkara, Jakarta, dan Penggemar Sepak Bola.
24 Juni 2024 15:20 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Odemus Bei Witono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Hadir dalam acara kerukunan di Kampung Sawah, sumber: dok. pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Hadir dalam acara kerukunan di Kampung Sawah, sumber: dok. pribadi.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Anton, Nita, dan Joni (bukan nama sebenarnya) tinggal di Kampung Sawah Bekasi, sebuah perkampungan yang terkenal dengan kerukunan mereka sebagai kampung persaudaraan. Di sana, kehidupan masyarakat sangat akrab, dan anak-anak bergaul tanpa membeda-bedakan.
ADVERTISEMENT
Mereka saling menolong dan peduli satu sama lain, menciptakan lingkungan nyaman bagi Anton, dan teman-teman. Mereka merasa bahwa praktik hidup persaudaraan di kampung tersebut masih sangat tinggi dan sepanjang hidup Anton, Nita, dan Joni belum pernah mengalami situasi intoleransi. Warga Kampung di sana hidup akur dan rukun dalam kebersamaan.
Namun, kondisi ideal dalam masyarakat toleran dapat berubah menjadi intoleransi jika tidak dijaga secara baik. Mengapa dalam keanekaragaman masyarakat masih ada potensi terjadi intoleransi? Menurut analisis Baptiste (2009:107), intoleransi sering kali berakar dari rasa takut yang mendalam terhadap hal-hal yang tidak diketahui.
Bruce Lee, legenda seni bela diri, pernah mengatakan dengan bijak, "Orang takut pada apa yang tidak mereka pahami." Pemahaman ini mengungkapkan bahwa banyak konflik muncul bukan karena kebencian inheren, tetapi karena kurangnya pemahaman. Baik melalui refleksi sejarah maupun contoh kontemporer, orang dapat melihat bagaimana menjembatani kesenjangan pemahaman ini dapat mengubah ketakutan menjadi empati dan permusuhan menjadi harmoni.
ADVERTISEMENT
Indonesia, dengan keragaman budaya, agama, dan etnis, sering kali menghadapi tantangan dalam menjaga keharmonisan di tengah perbedaan. Sejarah Indonesia mencatat berbagai konflik yang muncul akibat ketidakpahaman antara kelompok-kelompok berbeda. Misalnya, peristiwa kerusuhan antar etnis dan agama di beberapa daerah menunjukkan bagaimana ketakutan dan ketidakpahaman dapat memicu kekerasan.
Namun, di balik tantangan tersebut, ada banyak pelajaran tentang pentingnya pendidikan dan empati dalam membangun masyarakat inklusif. Pengalaman-pengalaman di berbagai daerah di Indonesia menunjukkan bahwa dialog terbuka dan pendidikan dapat menjadi kunci untuk mengatasi intoleransi.
Ambil contoh upaya rekonsiliasi pasca konflik di Maluku puluhan tahun silam. Setelah bertahun-tahun konflik berdarah antara komunitas Muslim dan Kristen, dialog dan pendidikan lintas agama mulai diperkenalkan.
ADVERTISEMENT
Program-program demikian membantu anggota komunitas untuk saling mengenal lebih baik, memahami tradisi dan keyakinan satu sama lain, serta membangun jembatan empati. Hasilnya, meskipun masih ada tantangan, namun perdamaian dan kerukunan mulai tumbuh kembali di antara mereka.
Tetap gembira dalam perbedaan, teman-teman satu kelas, waktu bersekolah di SMA, sumber: dok. pribadi.
Program pendidikan yang menekankan toleransi dan keberagaman telah membantu mengurangi ketegangan dan menciptakan rasa saling menghormati. Melalui berbagai kegiatan bersama, seperti festival budaya dan dialog komunitas, warga dapat belajar lebih banyak tentang satu sama lain dan membangun hubungan yang lebih kuat.
Penting untuk diingat bahwa edukasi tidak hanya berarti pendidikan formal di sekolah, tetapi juga informal melalui interaksi sehari-hari. Misalnya, mengenalkan anak-anak pada berbagai budaya dan tradisi melalui kegiatan ekstrakurikuler, seperti seni dan olahraga, dapat membantu mereka tumbuh dengan pemahaman lebih luas dan menghargai keberagaman.
ADVERTISEMENT
Sebagai bangsa yang kaya akan keberagaman, Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi contoh bagi dunia dalam hal toleransi dan inklusifitas. Namun, ini hanya dapat terwujud jika kita semua bersedia belajar dan memahami satu sama lain. Menciptakan ruang-ruang dialog, baik di tingkat komunitas maupun nasional, adalah langkah penting untuk mengurangi ketakutan dan prasangka.
Dalam kajian Baptiste (2009:110) budaya yang berbeda memiliki cara berkomunikasi yang unik. Semakin seseorang memahami berbagai budaya ini, semakin mampu orang itu berkomunikasi dengan orang-orang di sekitar.
Kunjungan meningkatkan saling pengertian, dan mempererat tali persaudaraan, sumber: dok. pribadi.
Dengan pengetahuan yang lebih mendalam tentang budaya-budaya yang berbeda, orang dapat membantu kelompok-kelompok berbeda berkomunikasi dengan lebih efektif. Sebagai penengah konflik, seseorang dapat membantu warga menemukan kesamaan. Ketika orang menyadari bahwa memiliki lebih banyak kesamaan daripada perbedaan, mereka dapat mencapai pemahaman yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Sebagai catatan akhir, intoleransi sering kali merupakan akibat dari ketidaktahuan dan ketakutan. Dengan memupuk budaya pendidikan dan dialog terbuka, warga dapat menjembatani kesenjangan dan membangun masyarakat yang lebih inklusif.
Pengamatan Bruce Lee tetap relevan hingga saat ini, yakni pemahaman menghilangkan rasa takut. Di Indonesia, jalan menuju toleransi dan empati terletak pada kesediaan orang untuk belajar tentang dan dari satu sama lain, serta menghargai kekayaan keberagaman yang dimiliki.