Konten dari Pengguna

Sekolah Sukses: Perubahan Perilaku, Kunci Kemajuan Karya Pendidikan

Odemus Bei Witono
Direktur Perkumpulan Strada, Pengamat Pendidikan, Kolumnis, Cerpenis, Kandidat Doktor Filsafat di STF Driyarkara, Jakarta, dan Penggemar Sepak Bola.
28 April 2025 14:06 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Odemus Bei Witono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Salah satu sekolah modern di Bekasi, terus berubah dan berkembang, sumber: Dok. Strada.
zoom-in-whitePerbesar
Salah satu sekolah modern di Bekasi, terus berubah dan berkembang, sumber: Dok. Strada.
ADVERTISEMENT
Banyak sekolah yang telah mencapai reputasi tinggi sering kali tergoda untuk berpuas diri. Prestasi akademik gemilang, animo masyarakat yang besar, dan kinerja tim solid tampak seakan-akan menjamin keberlanjutan kesuksesan.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, seperti yang diingatkan Marshall Goldsmith (2007) dalam bukunya What Got You Here Won’t Get You There, keberhasilan di masa lalu tidak otomatis mengantar kita pada keberhasilan masa depan.
Untuk dunia pendidikan, gagasan tersebut merupakan peringatan penting, yakni sekolah sukses perlu terus memperbarui diri, terutama dalam hal perilaku kolektif dan kepemimpinan. Tidak sedikit sekolah yang setelah berhasil meraih popularitas, justru tanpa sadar terjebak dalam rutinitas stagnan, merasa "cukup" dengan apa yang sudah dicapai.
Goldsmith (2007) menekankan bahwa banyak kebiasaan yang membawa seseorang — atau dalam konteks ini, sebuah institusi — ke puncak, justru dapat menjadi penghambat ketika tantangan baru muncul. Misalnya, rasa ingin "selalu menang" dalam diskusi internal dapat mematikan semangat kolaborasi.
ADVERTISEMENT
Kebiasaan memberi komentar negatif tanpa membangun, ketidakmauan mengakui kesalahan, atau keengganan mendengarkan suara komunitas sekolah, adalah contoh lain dari sikap merusak dinamika pertumbuhan.
Di beberapa kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung, kita bisa mengamati bahwa beberapa sekolah swasta ternama mulai menunjukkan gejala lebih sibuk mempertahankan citra daripada menghidupi inovasi nyata dalam pembelajaran.
Ilustrasi diskusi bersama membuat terobosan pengembangan sekolah di masa depan, sumber: Pexels.
Sekolah yang ingin terus berkembang perlu mempraktikkan perbaikan perilaku kecil, seperti lebih banyak mendengar, lebih sering memberikan apresiasi kepada tim, serta lebih tulus dalam meminta maaf saat keliru. Dalam pantauan saya, sejumlah sekolah yang mulai stagnan tampak terlalu kaku dalam menerima masukan, baik dari guru, siswa, maupun orang tua.
dalam banyak kasus, ada niatan mengembangkan ruang dialog yang sehat, tetapi mereka malah memilih mempertahankan pola lama dengan alasan menjaga "standar mutu". Padahal, dunia berubah cepat; pendekatan lama yang dulu relevan bisa saja hari ini terasa usang jika tidak disertai sikap adaptif.
ADVERTISEMENT
Alih-alih terjebak pada nostalgia pencapaian masa lalu, sekolah perlu mengadopsi pendekatan feedforward — menanyakan apa yang bisa diperbaiki dalam mengupayakan masa depan, bukan sekadar mencari kesalahan di masa lampau.
Di beberapa forum pendidikan, saya melihat sekolah-sekolah yang aktif meminta masukan tentang bagaimana memperbaiki ekosistem belajar mereka justru lebih bertahan dan berkembang.
Mereka berani mengevaluasi kebijakan-kebijakan lama, bukan malah merendahkan pencapaian sebelumnya, melainkan untuk memperkaya jalan mereka ke depan. Hal tersebut menunjukkan bahwa budaya bertanya lebih penting daripada sekadar berbangga diri.
Lebih dari sekadar kecerdasan teknis atau keberhasilan akademik, perilaku adaptif menjadi syarat mutlak. Kesediaan terus belajar, mengoreksi diri, dan menghargai kontribusi semua pihak merupakan modal utama agar karya pendidikan tidak hanya bertahan, melainkan tumbuh lebih kuat di tengah perubahan zaman.
ADVERTISEMENT
Sekolah perlu berdialog untuk membaca tanda-tanda zaman sekaligus mencari tahu apa yang menjadi kebutuhan para murid dalam mengembangkan talenta mereka di masa depan, sumber: Dok. Strada
Beberapa sekolah di kota besar yang mampu membaca tanda-tanda perubahan ini, kini bahkan mengembangkan program pembelajaran berbasis karakter, inovasi sosial, dan teknologi pendidikan yang lebih humanis. Mereka tidak hanya menyiapkan siswa dalam mengikuti ujian, tetapi untuk hidup lebih luas dan bermakna.
Dalam kenyataannya, banyak sekolah yang terjebak dalam perangkap eksklusivitas — merasa lebih unggul karena ranking nasional atau prestise sosial tertentu.
Akibatnya, sebagian besar energi dihabiskan untuk mempertahankan gengsi, bukan memperbaiki pelayanan pendidikan. Di Jakarta, misalnya, ada sekolah yang tampak mewah dari luar, namun di dalamnya terjadi ketimpangan komunikasi antara manajemen, guru, dan siswa.
Di Surabaya, ada pula sekolah sukses secara prestasi, tetapi mulai kehilangan ikatan emosional dengan murid-muridnya. Hal demikian membuktikan bahwa tanpa pembaruan perilaku, keberhasilan hanya menjadi kemasan kosong.
ADVERTISEMENT
Sikap rendah hati untuk terus belajar adalah fondasi penting. Sekolah-sekolah yang mampu mempertahankan kerendahan hati ini biasanya lebih cepat beradaptasi terhadap perubahan kurikulum nasional, lebih terbuka dalam menerima kritik orang tua, dan lebih kreatif dalam merancang kurikulum lokal yang sesuai dengan kebutuhan zaman.
Ilustrasi sekolah bukan museum prestasi masa lalu, melainkan terus bergerak menjadi lebih maju, sumber: Pexels.
Mereka sadar bahwa sekolah bukan museum prestasi masa lalu, melainkan ruang hidup yang terus bergerak dan berevolusi. Mereka lebih memilih menjadi pelayan kebutuhan pembelajaran siswa, daripada sekadar menjadi penguasa tradisi.
Marshall Goldsmith (2007) secara tajam mengingatkan bahwa di tingkat tertentu, perilaku lebih penting daripada kecerdasan teknis. Pernyataan tersebut relevan bagi sekolah-sekolah yang telah berada di papan atas. Tanpa perubahan perilaku, sekolah hanya akan menjadi institusi besar yang lambat, kaku, dan kehilangan relevansi.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, dengan kesediaan untuk berubah — mendengarkan lebih banyak, memperbaiki cara berkomunikasi, dan lebih tulus dalam melayani — sekolah bisa memperpanjang usia kejayaan dan bahkan menemukan makna baru dalam misinya.
Maka, bagi sekolah-sekolah yang hari ini sudah sukses, pertanyaan mendesak bukan lagi sekadar "Bagaimana mempertahankan prestasi?", melainkan "Apa yang harus kami ubah agar tetap relevan dan hidup?" Inilah tantangan strategis lebih berat daripada sekadar memenangkan lomba akademik atau meningkatkan angka pendaftaran.
Tantangan demikian tentu saja menuntut kedewasaan, kepekaan terhadap perubahan zaman, dan kerendahan hati mengakui bahwa di dunia yang terus berubah, hanya institusi yang mampu memperbarui dirinya, akan tetap berpengaruh dan bermakna.