Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Selubung Tahun Baru bagi Pendidik
1 Januari 2025 9:30 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Odemus Bei Witono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Langit malam tahun baru di sudut kota besar itu penuh dengan warna-warni kembang api. Namun, di tempat khusus, tepatnya di salah satu saung rumah retret pinggiran kota, ada lima orang guru muda berkumpul, duduk melingkar sambil menikmati teh hangat dan kue kecil. Pak Rudi, sosok yang dikenal tegas, membuka selubung percakapan.
ADVERTISEMENT
“Tahun 2025 sudah di depan mata. Menurut saya, kita perlu merancang sesuatu sebaik-baiknya untuk para murid. Bagaimana menurut kalian?” tanyanya sambil memandang rekan-rekan.
Pak Waito, yang terkenal santai dan sedikit nyeleneh, mendengus pelan. “Kenapa sih kita selalu bicara soal mendidik murid sebaik-baiknya? Bukannya kita juga butuh waktu untuk mengurus diri sendiri? Jadi guru itu berat, loh.”
Bu Nita, yang biasanya hanya mendengarkan, kali ini mengangkat bicara. Wajahnya yang tenang terlihat sedikit serius. “Saya setuju kalau istilah ‘sebaik-baiknya’ itu kurang tepat. Baik menurut siapa? Standar setiap orang kan berbeda.”
Bu Rina, yang duduk di sampingnya, mengangguk sambil menyesap tehnya. “Iya, kita sering bingung. Mau fokus pada akademik? Karakter? Atau bakat? Sepertinya semuanya penting, tapi mana yang utama?”
ADVERTISEMENT
Pak Bagas, yang biasanya menjadi penengah, tampak mengangguk setuju. Namun sebelum ia sempat menambahkan pendapatnya, Pak Rudi berbicara lagi, kali ini dengan nada lebih bersemangat.
“Mungkin kita perlu pendekatan baru. Saya punya istilah yang bisa jadi inspirasi, yakni nuraga dan arunika.”
Mendengar itu, Pak Waito dan Bu Rina serempak berseru, “Istilah apa itu?”
Pak Rudi tersenyum, menikmati perhatian yang tiba-tiba tertuju padanya. “Nuraga itu berarti simpati, berbagi rasa yang kemudian memunculkan empati atau rasa kepedulian mendalam. Sebagai guru, kita harus memahami murid bukan hanya dari sisi akademik, tapi juga emosional dan sosial mereka. Kita perlu hadir sebagai pendidik yang memiliki empati dan kasih sayang.”
Pak Waito mengangkat alis. “Empati dan kasih sayang itu bagus, tapi tidak semua murid menghargai itu, loh. Kadang kita dianggap remeh.”
ADVERTISEMENT
“Bukan soal dihargai atau tidak,” Pak Rudi menimpali. “Tapi soal bagaimana kita hadir dengan makna. Kalau kita tulus, dampaknya akan terasa, meskipun mungkin tidak langsung.”
Bu Rina menambahkan, “Lalu, arunika itu apa? Saya belum pernah dengar istilah itu.”
“Arunika itu sinar mentari yang terbit di pagi hari,” jelas Pak Rudi. “Sebagai guru, kita dapat menjadi seperti matahari pagi bagi murid-murid. Memberi mereka semangat, harapan, dan energi dalam meraih masa depan.”
Pak Bagas yang sejak tadi diam akhirnya berbicara. “Kalau begitu, inti dari kedua istilah itu adalah bagaimana kita menjadi guru yang bermakna bagi murid-murid. Tapi bagaimana caranya? Kita tahu teori, tapi praktiknya?”
Bu Nita, yang biasanya pendiam, kembali angkat bicara. “Mungkin kita bisa mulai dari hal kecil. Misalnya, mendengarkan lebih banyak, memahami kebutuhan setiap murid, dan memberi apresiasi sekecil apa pun usaha mereka. Itu kan bagian dari nuraga.”
ADVERTISEMENT
Pak Waito mengangguk setuju, meski sebelumnya terlihat skeptis. “Oke, itu masuk akal. Tapi soal arunika, bagaimana bisa jadi inspirasi kalau kita sendiri kadang kehilangan semangat?”
Pak Rudi menjawab dengan mantap. “Itu sebabnya kita harus saling mendukung. Kita tidak hanya menginspirasi murid, tapi juga saling menginspirasi sebagai rekan. Kalau saling memberi energi positif, itu akan menular ke murid-murid kita.”
Diskusi di saung itu semakin hangat ketika para guru mulai berbagi pengalaman inspiratif mereka. Pak Bagas menjadi yang pertama berbicara, menceritakan sebuah kisah menyentuh tentang bagaimana ia pernah memotivasi seorang murid yang hampir putus sekolah.
Dengan pendekatan penuh empati dan komunikasi yang intens, ia membantu murid tersebut menyadari potensi yang dimiliki. Berkat bimbingan konsisten, murid itu mampu bangkit kembali dan melanjutkan pendidikan dengan semangat baru.
ADVERTISEMENT
Bu Rina pun ikut terpancing melanjutkan cerita, mengenai pendekatan personal yang ia terapkan mampu membantu murid-murid menemukan minat dan bakat mereka. Ia menyebut bahwa perhatian terhadap kebutuhan individu murid dapat membawa dampak luar biasa dalam perkembangan mereka.
Bahkan Pak Waito, yang awalnya cenderung skeptis terhadap pendekatan semacam itu, akhirnya turut berbagi kisah. Ia menceritakan pengalamannya mendampingi seorang murid yang bermasalah, dari yang dulunya sulit diatur hingga akhirnya berubah menjadi pribadi yang jauh lebih baik. Pengalaman-pengalaman ini tidak hanya menginspirasi, tetapi juga mempertegas pentingnya dedikasi dan pendekatan personal dalam dunia pendidikan.
Malam semakin larut, tetapi mereka tidak merasa lelah. Ide-ide baru terus mengalir, dan mereka mulai merancang program-program kecil yang bisa diterapkan di kelas. Bu Rina mengusulkan sesi refleksi mingguan untuk murid-murid. Pak Bagas menyarankan kegiatan belajar di luar kelas untuk memperkuat hubungan sosial. Sementara itu, Bu Nita menawarkan ide membuat jurnal apresiasi, baik untuk murid maupun guru.
ADVERTISEMENT
“Jadi, tahun 2025 ini kita sepakat untuk jadi guru yang bermakna dan berbela rasa, ya?” Pak Rudi menutup diskusi dengan senyuman.
Semua mengangguk, termasuk Pak Waito yang kini terlihat lebih antusias. “Ya, dengan nuraga dan arunika,” katanya sambil tertawa kecil. “Istilahnya memang asing, tapi saya mulai suka. Semoga kita benar-benar bisa jadi seperti itu.”
Di luar, suara kembang api masih terdengar. Tetapi di saung rumah retret itu, ada semangat baru yang menyala, semangat untuk menjadi pendidik yang tidak hanya mengajar, tetapi juga menginspirasi. Tahun 2025 pun disambut dengan optimisme dan harapan besar.