Konten dari Pengguna

Sepasang Kaki Renta

Odemus Bei Witono
Direktur Perkumpulan Strada, Pengamat Pendidikan, Kolumnis, Cerpenis, Kandidat Doktor Filsafat di STF Driyarkara, Jakarta, dan Penggemar Sepak Bola.
30 Desember 2024 15:18 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Odemus Bei Witono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kaki, sumber: Pexels.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kaki, sumber: Pexels.
ADVERTISEMENT
Sore di desa itu terasa begitu damai. Angin semilir berhembus dari arah pepohonan, membawa aroma tanah yang khas setelah hujan ringan mengguyur siang tadi. Joni, bersama kakak Dona dan adik Tika, baru saja tiba di rumah nenek mereka untuk menghabiskan liburan. Rumah sederhana dengan dinding kayu menghitam dimakan usia itu tetap kokoh, menjadi saksi bisu perjalanan hidup nenek mereka yang kini telah berusia lebih dari 85 tahun.
ADVERTISEMENT
Hari itu, mereka semua berkumpul di ruang tengah. Nenek duduk santai di kursi goyang tua, menonton acara TV kesukaan. Wajahnya yang penuh keriput memancarkan ketenangan yang sulit digambarkan, seperti seseorang yang telah berdamai dengan waktu. Joni, yang sejak tadi duduk di lantai, tiba-tiba berinisiatif untuk memijat kaki nenek. “Nek, boleh Joni pijit kakinya?” tanyanya penuh hormat.
Nenek hanya tersenyum tipis dan mengangguk. “Boleh, nak. Tapi jangan terlalu keras, ya. Tulang nenek sudah tua.”
Saat Joni pertama kali menyentuh kaki nenek, dadanya tiba-tiba berdebar. Kaki itu, yang dulu mungkin perkasa, kini tampak keriput dan lemah. Namun, ada sesuatu yang luar biasa dari kaki itu. Imajinasi dirinya melayang jauh. Ia membayangkan berapa banyak jalan yang telah dilalui nenek selama hidupnya. Jika sehari nenek berjalan hanya 1-kilometer saja, maka dalam setahun menjadi 365 kilometer, dan dalam 85 tahun menjadi lebih dari 31.000 kilometer. Sebuah jarak yang hampir setara dengan sekali mengelilingi bumi.
ADVERTISEMENT
“Bayangkan, Dona,” bisik Joni kepada kakaknya, “kaki nenek ini sudah berjalan amat jauh. Kita saja belum tentu sanggup.”
Dona tersenyum, lalu mengangguk setuju. “Benar, Jon. Nenek kita hebat.”
Joni melanjutkan memijat sambil pikirannya terus mengembara. Ia ingat cerita ibunya tentang perjuangan nenek dan kakeknya yang sudah almarhum. Nenek pernah menjadi tukang bakso, membuka usaha binatu kecil-kecilan, berdagang di kantin sekolah, hingga membuka warung di pinggir jalan. Semua itu dilakukan demi menghidupi enam anaknya, termasuk ibu Joni. Tak jarang, nenek harus bekerja hingga larut malam, sementara kakek membantu semampunya.
Kini, kaki yang dulu begitu kuat itu telah renta, menyimpan kisah perjuangan yang tak terhitung jumlahnya. Joni merasakan gemuruh di dada, dalam dirinya. Ia semakin menghargai neneknya yang selama ini dianggap hanya sebagai orang tua yang suka bercerita.
ADVERTISEMENT
“Jon, sudah. Jangan melamun terus,” suara Dona membuyarkan lamunannya. “Waktunya makan malam. Tika sudah lapar.”
Mereka bertiga menuju meja makan sederhana di dapur. Nenek menyusul perlahan, berjalan dengan tongkat kayu kesayangannya. Di atas meja, menu makan malam sudah siap: singkong rebus, sambal terasi, dan teh hangat. Aroma singkong yang harum memenuhi ruangan.
“Singkong? Aduh, aku nggak mau makan ini!” seru Tika sambil cemberut.
Dona, sebagai kakak yang bijak, mencoba membujuk adiknya. “Tika, singkongnya enak, lho. Apalagi dimakan sama teh hangat ini. Rasanya pas banget. Coba deh.”
Awalnya, Tika tetap menolak. Tapi setelah Dona terus merayu dan menunjukkan bagaimana nikmatnya menyantap singkong dengan teh, akhirnya Tika mau mencoba. Gigitan pertamanya membuat wajahnya berubah. “Hmm, ternyata enak juga,” ujarnya malu-malu.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Joni makan dengan lahap. Ia mengunyah perlahan, menikmati setiap gigitan. Di sela-sela makannya, ia melirik nenek yang juga sedang makan dengan tenang. Dalam hati, Joni berbisik, “Terima kasih, Nek, karena telah memperkenalkan kami pada kehidupan yang penuh makna. Nenek adalah pahlawan sejati.”
Setelah makan malam selesai, mereka kembali ke ruang tengah. Nenek mulai bercerita tentang masa mudanya, seperti biasa. Kali ini, ceritanya tentang bagaimana nenek dan kakek bekerja sama membangun warung kecil mereka dulu. “Kalian tahu,” kata nenek dengan mata berbinar, “kadang kami hanya punya sedikit uang untuk membeli bahan baku. Tapi kami selalu berusaha. Kakekmu itu pandai membuat orang tertawa. Pelanggan sering kembali karena merasa nyaman di warung kami.”
ADVERTISEMENT
Joni, Dona, dan Tika mendengarkan dengan penuh antusias. Mereka mulai menyadari betapa luar biasanya perjuangan nenek mereka. Malam itu, mereka tertidur dengan pikiran yang penuh kekaguman dan rasa syukur.
Keesokan paginya, Joni bangun lebih awal dari yang lain. Ia berjalan ke halaman rumah dan melihat nenek sedang duduk di bangku kayu, menikmati matahari pagi. Joni menghampirinya.
“Nek, boleh Joni tanya sesuatu?”
Nenek tersenyum. “Tentu, nak. Tanya apa?”
“Apa yang membuat nenek begitu kuat menjalani semua itu? Hidup nenek kan tidak mudah.”
Nenek terdiam sejenak. Ia menatap jauh ke arah pepohonan di kejauhan. “Nak, hidup itu memang tidak pernah mudah. Tapi kalau kita punya cinta, semuanya jadi lebih ringan. Nenek mencintai keluarga nenek, kakekmu, anak-anak nenek, termasuk ibumu. Cinta itu yang memberi nenek kekuatan untuk terus berjalan, meski kaki ini sekarang sudah lemah.”
ADVERTISEMENT
Kata-kata nenek itu membekas di hati Joni. Ia merasa baru saja belajar pelajaran hidup yang berharga. Cinta adalah sumber kekuatan yang luar biasa, pikirnya.
Hari itu, sebelum mereka kembali ke kota, Joni, Dona, dan Tika berpamitan kepada nenek. Joni memeluk nenek erat-erat, merasakan kehangatan dari tubuh renta itu. Dalam hati, ia berjanji akan selalu mengingat pelajaran yang didapat dari neneknya.
Di perjalanan pulang, Tika bertanya, “Jon, kenapa kemarin kamu lama banget mijitin nenek? Tumben.”
Joni tersenyum, menatap adiknya. “Karena dari kaki nenek, aku belajar banyak hal. Tentang perjuangan, cinta, dan hidup. Aku rasa, kita harus lebih sering ke sini, Tik. Ada banyak yang bisa kita pelajari dari nenek.”
Dona, yang duduk di depan bersama sopir, menoleh dan berkata, “Setuju, Jon. Nenek kita adalah harta yang sangat berharga.”
ADVERTISEMENT
Mobil itu melaju perlahan meninggalkan desa, membawa mereka kembali ke hiruk-pikuk kota. Namun, kenangan tentang nenek dan kaki tuanya akan selalu hidup di hati mereka, menginspirasi mereka untuk menjalani hidup dengan cinta dan semangat yang sama.