Konten dari Pengguna

Tantangan Pengakuan Masyarakat Beragam dalam Perspektif Axel Honneth

Odemus Bei Witono
Direktur Perkumpulan Strada, Pengamat Pendidikan, Kandidat Doktor Filsafat di STF Driyarkara, Jakarta, dan Penggemar Sepak Bola.
27 September 2024 15:29 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Odemus Bei Witono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi perjuangan menegakan hukum yang berkeadilan, sumber: Pexels.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perjuangan menegakan hukum yang berkeadilan, sumber: Pexels.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Axel Honneth (lahir 18 Juli 1949) adalah seorang filsuf Jerman yang saat ini menjabat sebagai Profesor Filsafat Sosial di Universitas Goethe Frankfurt dan the Jack B. Weinstein Professor dalam bidang Humaniora di departemen filsafat Universitas Columbia. Dia pernah menjadi direktur Institut für Sozialforschung (Institut Penelitian Sosial) di Frankfurt am Main, Jerman, dari tahun 2001 hingga 2018. Honneth dikenal sebagai salah satu tokoh terkemuka dalam tradisi Teori Kritis, dengan fokus utama pada gagasan pengakuan (recognition) sebagai landasan hubungan sosial.
ADVERTISEMENT
Lahir di Essen, Jerman Barat, Honneth menempuh studi di Bonn, Bochum, Berlin, dan Munich, di mana dia belajar di bawah bimbingan Jürgen Habermas. Sebelum bergabung dengan Universitas Goethe Frankfurt pada tahun 1996, dia mengajar di Free University of Berlin dan New School, serta memegang The Spinoza Chair of Philosophy di Universitas Amsterdam pada tahun 1999. Honneth telah mengembangkan teori pengakuan yang menghubungkan moralitas, psikologi, dan teori sosial sebagai upaya memperbarui warisan Frankfurt School dalam konteks kritik sosial.
Axel Honneth (1995) dalam The Struggle for Recognition: The Moral Grammar of Social Conflicts menawarkan perspektif mendalam tentang pentingnya pengakuan dalam membangun hubungan sosial secara sehat. Baginya, pengakuan menjadi landasan bagi perkembangan individu dan masyarakat, dan dia mengidentifikasi tiga ranah pengakuan: cinta, hukum, dan solidaritas. Ketiga ranah ini bukan hanya abstraksi teoritis, tetapi juga memiliki implikasi langsung terhadap cara kita menjalani kehidupan sehari-hari dan berinteraksi dengan orang lain.
ADVERTISEMENT
Cinta, yang menjadi fondasi pengakuan diri seseorang, dimulai dari lingkungan terkecil, yaitu keluarga. Dalam keluarga, seseorang pertama kali merasakan cinta tanpa syarat, dan melalui cinta inilah identitas diri mulai terbentuk. Namun, praktiknya tidak semudah teori.
Relasi dalam keluarga kerap kali diwarnai konflik emosional dan perbedaan pandangan, yang membuat proses pengakuan menjadi tidak selalu berjalan mulus. Membina cinta dan pengakuan di dalam keluarga membutuhkan kerja keras, kesabaran, dan keberanian dalam menghadapi kompleksitas dinamika hubungan.
Hukum, sebagai ranah kedua, bertindak sebagai instrumen pengakuan yang memberikan jaminan perlindungan dan keadilan bagi setiap individu. Namun, keadilan ini tidak selalu mudah diwujudkan.
Di banyak negara, termasuk Indonesia, akses terhadap keadilan sering kali dipengaruhi oleh faktor ekonomi, status sosial, atau kepentingan politik. Penegakan hukum adil seringkali terhambat oleh birokrasi korup atau sistem hukum yang bias. Hal ini menunjukkan bahwa meski hukum seharusnya menjadi alat pengakuan setara bagi semua, kenyataan seringkali menunjukkan adanya ketimpangan dan diskriminasi.
ADVERTISEMENT
Ranah ketiga, solidaritas, memungkinkan individu merasa diakui sebagai bagian dari masyarakat. Solidaritas lahir dari kesamaan nilai dan tujuan bersama, yang membuat setiap anggota masyarakat merasa diterima dan dihargai. Namun, solidaritas juga menghadapi tantangan di era yang semakin terfragmentasi ini, terutama ketika perbedaan identitas, budaya, atau keyakinan menjadi penghalang dalam membangun rasa kebersamaan.
Honneth sendiri menyadari adanya kritik terhadap gagasannya, terutama ketika pengakuan dihadapkan pada kelompok-kelompok masyarakat yang enggan berpartisipasi dalam diskursus atau menolak nilai-nilai cinta, hukum, dan solidaritas.
Dalam realitas, tidak semua orang bersedia mengakui atau diakui. Ada kelompok-kelompok yang memilih untuk tidak peduli, baik karena pengalaman trauma, ketidakpercayaan terhadap sistem, atau alasan ideologis lainnya. Sikap ketidakpedulian ini menjadi tantangan serius bagi gagasan Honneth, karena pengakuan tidak dapat dipaksakan.
ADVERTISEMENT
Di sinilah gagasan Honneth perlu diuji lebih jauh: bagaimana kita membangun cinta, hukum, dan solidaritas di tengah masyarakat beragam dan sering kali terpecah belah? Bagaimana kita merespons kelompok yang enggan mengakui orang lain, atau yang merasa bahwa nilai-nilai pengakuan tidak relevan dengan kehidupan mereka? Menjawab pertanyaan ini membutuhkan lebih dari sekadar teori; diperlukan upaya dialog, empati, dan pemahaman mendalam terhadap keragaman dan kompleksitas masyarakat.
Sebagai catatan akhir, gagasan Honneth tentang pengakuan menawarkan kerangka penting bagi kita dalam memahami hubungan sosial. Namun, tantangan nyata adalah bagaimana mengimplementasikan pengakuan di masyarakat yang semakin plural dan kompleks.
Jika cinta, hukum, dan solidaritas hanya menjadi formalitas tanpa substansi, maka tujuan pengakuan tidak akan tercapai. Tantangan terbesar kita adalah menemukan cara bagaimana membangun pengakuan sejati, yang menghargai perbedaan dan menciptakan ruang bagi dialog dan transformasi. Dengan demikian, cinta, hukum, dan solidaritas dapat menjadi pilar kokoh bagi masyarakat secara lebih inklusif, adil, dan bermartabat.
ADVERTISEMENT