Konten dari Pengguna

Menilik Pro dan Kontra Pengesahan RUU Kesehatan Menjadi Undang-Undang

BEM KM UNNES
Akun resmi BEM KM Universitas Negeri Semarang
13 Juli 2023 7:59 WIB
·
waktu baca 12 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari BEM KM UNNES tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pro dan kontra pengesahan RUU Kesehatan menjadi Undang-Undang. Foto: Yavdat/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pro dan kontra pengesahan RUU Kesehatan menjadi Undang-Undang. Foto: Yavdat/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Penyusunan UU Kesehatan dilakukan pada 25 Agustus 2022—07 Februari 2023 (per 14 Februari 2023, RUU kesehatan disepakati oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi RUU usul inisiatif DPR dalam Rapat Paripurna ke-16 Masa Persidangan III Tahun Sidang 2022-2023).
ADVERTISEMENT
Presiden menunjuk Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, sebagai koordinator perwakilan pemerintah dalam pembahasan RUU Kesehatan ini bersama DPR. Beberapa Menteri lainnya juga ditunjuk untuk ikut serta dalam pembahasan tersebut. Untuk menyederhanakan dan mengatasi tumpang tindih praktik kesehatan, DPR menginisiasi Omnibus Law Undang-Undang (UU) Kesehatan.
Menteri Kesehatan menjadi pemimpin dalam penyusunan Daftar Isian Masukan (DIM) RUU bersama Menteri dan lembaga terkait lainnya. Partisipasi masyarakat sebagai pemangku kepentingan akan dilibatkan melalui pelbagai kegiatan dalam proses partisipasi publik, baik melalui pertemuan tatap muka maupun daring.
Kemudian, pada hari Selasa, 11 Juli 2023, dalam sidang paripurna masa persidangan V tahun sidang 2022-2023, DPR RI secara resmi memutuskan untuk mengesahkan RUU Kesehatan menjadi UU Kesehatan.
Gambar gedung parlemen, Senayan, Jakarta. Foto: Bimo Pradsmadji/Shutterstock
UU Kesehatan ini juga menggunakan pendekatan Omnibus Law, yakni dengan meleburkan sepuluh undang-undang:
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, ada dua UU yang tetap berlaku, yang sebagian substansinya diubah atau direvisi. Dua UU, yakni:
Sejak diumumkan kepada publik, RUU Kesehatan ini sudah menimbulkan pro dan kontra karena dianggap belum sepenuhnya mencerminkan kepentingan rakyat dan belum sepenuhnya fokus pada perlindungan serta pemenuhan hak kesehatan publik, yang merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
ADVERTISEMENT

Pro UU Kesehatan

Ilustrasi pro UU Kesehatan. Foto: Have a nice day Photo/Shutterstock
Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan RI memberikan alasan terkait keberadaan RUU Kesehatan. Menurut mereka, banyak dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang mengungkapkan adanya kesenjangan dalam bidang kesehatan di Indonesia dibandingkan dengan negara lain. Hal ini menjadi alasan mengapa banyak orang lebih memilih berobat ke luar negeri daripada di Indonesia.
Pemerintah menilai ada enam tantangan utama di sektor kesehatan yang menjadi alasan pendukung pemerintah terhadap adanya omnibus law UU Kesehatan, yakni:
ADVERTISEMENT
Pemerintah juga menganggap bahwa reformasi kesehatan penting untuk memastikan kesiapan Indonesia dalam menghadapi pelbagai penyakit pada masa depan, termasuk pandemi Covid-19.
Ilustrasi Pandemi Covid-19. Foto: Lightspring/Shutterstock
Pandemi tersebut menjadi pembelajaran bagi Indonesia dan menunjukkan ketidaksiapan negara dalam pelbagai aspek, mulai dari rumah sakit, obat-obatan, hingga pengembangan vaksin.
Selain itu, pemerintah berpendapat bahwa RUU Kesehatan diperlukan untuk menangani pelbagai masalah di sektor kesehatan, termasuk krisis dokter spesialis, izin praktik yang tidak transparan, harga obat yang mahal, dan pembiayaan kesehatan yang tidak efisien.
RUU ini juga menekankan pentingnya pencegahan melalui penguatan aspek promosi dan preventif, dengan harapan dapat mengurangi biaya dan meningkatkan produktivitas masyarakat.
Data dari Bank Dunia menunjukkan bahwa Indonesia memiliki rasio dokter sebesar 0,4 per 1.000 penduduk, yang masih jauh dari standar WHO yang menetapkan rasio 1 per 1.000 penduduk.
ADVERTISEMENT
Rasio dokter di Indonesia juga merupakan yang terburuk kedua di Asia Tenggara. Rasio dokter spesialis di Indonesia juga dinilai jauh di bawah standar WHO.
Menurut data Kementerian Kesehatan RI, total terdapat 54.190 dokter spesialis di Indonesia. Artinya, hanya terdapat 0,2 dokter spesialis per 1.000 penduduk, atau setara dengan 200 dokter per 1 juta penduduk. Selain itu, distribusi dokter spesialis masih terkonsentrasi di Pulau Jawa—khususnya di DKI Jakarta—sehingga kurang merata di seluruh wilayah Indonesia.
Pemerintah juga menyoroti biaya pengurusan Surat Tanda Registrasi (STR) dan/atau Surat Izin Praktik (SIP) yang mencapai Rp6 juta per individu. Melalui RUU Kesehatan, pemerintah berencana untuk menerapkan kebijakan yang mana STR akan berlaku seumur hidup, berbeda dengan sebelumnya yang diperpanjang setiap 5 tahun. Meskipun demikian, STR tetap dapat dicabut jika melanggar ketentuan tertentu.
ADVERTISEMENT
Kemudian, pada 11 Juli 2023, mayoritas fraksi di DPR menyetujui pengesahan RUU Kesehatan menjadi UU Kesehatan. Dengan disahkannya RUU Kesehatan menjadi UU Kesehatan, pemerintah menilai bahwa ini merupakan tahap awal dalam memperbaiki sistem kesehatan Indonesia secara menyeluruh.
Tujuan dari revisi ini adalah untuk mengatasi masalah dalam fasilitas dan peralatan kesehatan serta mempersiapkan penanganan pandemi di masa depan.
Pemerintah beranggapan bahwa ini akan membantu dalam memperbaiki standar pelayanan kesehatan primer, memperluas akses ke perawatan, dan meningkatkan transparansi dalam pembiayaan.
Pemerintah menilai bahwa adanya UU Kesehatan ini dirancang untuk meningkatkan jumlah dan distribusi tenaga kesehatan dan mempermudah prosedur perizinan. UU baru ini juga dinilai akan memberikan perlindungan hukum yang lebih baik kepada tenaga kesehatan, khususnya dalam kasus tindak pidana dan diskriminasi.
ADVERTISEMENT

Kontra UU Kesehatan

Ilustrasi kontra UU Kesehatan. Foto: Billion Photos/Shutterstock
Dalam proses pembentukannya, RUU Kesehatan yang menerapkan metode Omnibus dianggap memiliki potensi dalam mengaburkan partisipasi publik dan tidak transparan.
Hidayat (2022) pun menyatakan bahwa informasi tentang penyusunan naskah akademik yang didasarkan pada analisis dampak regulasi (regulatory impact analysis) kemudian disampaikan. Selain itu, kebenaran RUU yang tersebar di masyarakat juga menjadi tidak jelas. Tanpa transparansi, partisipasi publik dalam proses pembentukan peraturan akan menjadi sulit.
Kemudian, banyak dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang kontra dengan pengesahan UU Kesehatan ini, hal ini bisa dilihat dengan adanya penolakan dari lima organisasi profesi kesehatan, yakni Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).
ADVERTISEMENT
Bahkan, mereka juga sudah melakukan aksi damai di depan Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, terkait RUU Kesehatan. Organisasi kesehatan mengadakan aksi damai yang menuntut pemerintah untuk meningkatkan fasilitas kesehatan di daerah terpencil dan mempertanyakan substansi RUU Kesehatan yang dianggap bermasalah.
Sebelumnya, isi dari draf RUU Kesehatan yang beredar di masyarakat menimbulkan kekhawatiran karena termasuk beberapa aspek yang kontroversial. Ada dugaan bahwa kewenangan yang semula ada di tangan organisasi profesi kemudian akan dialihkan ke Menkes. Akibatnya, peran organisasi profesi tenaga kesehatan menjadi terpinggirkan.
Mereka mengkritik RUU Kesehatan karena dianggap tidak adil dan berpotensi merusak profesi kesehatan serta melemahkan perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan.
Para pihak yang kontra terhadap UU Kesehatan juga menyoroti bahwa pembahasan RUU terlalu cepat dan tidak memperhatikan masukan dari organisasi profesi, dan tujuan adanya aksi yang dilakukan oleh sejumlah organisasi profesi kesehatan adalah untuk memfokuskan pada poin-poin dalam RUU Kesehatan.
ADVERTISEMENT
Poin-poin tersebut, di antaranya, seperti anggaran, perizinan, hak-hak tenaga kesehatan dan masyarakat, serta mengurangi pasal-pasal yang membuat tenaga kesehatan merasa takut, seperti ancaman hukuman pidana hingga 10 tahun.
Adapun beberapa hal di dalam UU Kesehatan yang disorot karena dinilai kontroversial, di antaranya:
UU Kesehatan menghapus pasal yang mengatur kewajiban belanja dalam anggaran kesehatan. Hal ini dikritik karena menghilangkan komitmen belanja yang telah ditentukan sebelumnya.
UU Kesehatan membuka peluang bagi tenaga kesehatan asing untuk bekerja di Indonesia tanpa persyaratan berbahasa Indonesia. Hal ini dianggap menguntungkan hanya bagi pasien kelas menengah ke atas.
UU Kesehatan mengubah masa berlaku Surat Tanda Registrasi (STR) tenaga kesehatan menjadi seumur hidup tanpa perlu diperbarui setiap lima tahun.
ADVERTISEMENT
UU Kesehatan menghapus persyaratan rekomendasi dari Organisasi Profesi (OP) dalam penerbitan SIP.
UU Kesehatan mencakup aturan transfer dan penggunaan data genomik, yang menimbulkan kekhawatiran terkait privasi dan penggunaan data di luar wilayah Indonesia.
Sebelumnya, salah satu pihak yang menolak RUU Kesehatan ini adalah Forum Guru Besar Lintas Profesi (FGBLP). Mereka menilai bahwa penyusunan RUU tersebut tidak memenuhi prinsip-prinsip penting dalam pembuatan undang-undang, seperti transparansi, partisipasi publik, kejelasan landasan pembentukan, dan rumusan yang jelas.
FGBLP menekankan perlunya perbaikan dan peningkatan kualitas perumusan RUU Kesehatan serta partisipasi publik agar RUU tersebut lebih komprehensif dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. FGBLP juga berpendapat bahwa saat ini tidak ada kebutuhan mendesak yang memerlukan pengesahan RUU Kesehatan.
ADVERTISEMENT
Mereka menyoroti bahwa negara sedang mempersiapkan pemilihan umum yang membutuhkan perhatian serius, sehingga sebaiknya RUU Kesehatan ditinjau kembali tanpa terburu-buru.
Selain itu, FGBLP menyampaikan kekhawatiran terkait RUU Kesehatan yang akan mencabut dan mengubah sejumlah undang-undang terkait kesehatan.
Ilustrasi UU Kesehatan. Foto: Panchenko Vladimir/Shutterstock
Mereka berpendapat bahwa regulasi yang akan dicabut dan diubah masih relevan dan tidak ada tumpang tindih atau kontradiksi di antara mereka. FGBLP juga menyoroti risiko beberapa pasal dalam RUU Kesehatan yang dapat memicu ketidakstabilan sistem kesehatan dan mengganggu ketahanan kesehatan bangsa.
Mereka menganggap penghapusan pasal tentang mandatory spending alias belanja negara yang sudah diatur UU bertentangan dengan amanat Abuja Declaration WHO dan TAP MPR RI X/MPR/2001.
Selain itu, mereka mengkritik kemudahan bagi dokter asing untuk berpraktik di Indonesia, yang dianggap tidak menguntungkan mayoritas masyarakat yang masih berjuang melawan kemiskinan.
ADVERTISEMENT
FGBLP pun menyatakan bahwa pengesahan RUU Kesehatan yang kontroversial berpotensi menyebabkan penerimaan dan implementasi UU yang lemah (reluctant compliance).
Mereka khawatir hal ini dapat menyebabkan konflik, ketidakstabilan, kurangnya legitimasi UU, serta minimnya partisipasi kolektif yang bermakna dari pelbagai lapisan masyarakat dan pemangku kepentingan, termasuk organisasi profesi.
Belakangan, juga santer terdengar juga berita mengenai pemecatan Dokter Spesialis Bedah Saraf, Prof. Dr. dr. Zainal Muttaqin, Ph.D, Sp.BS, dari RSUP Kariadi. Pemecatan dr. Zainal kerap disebut-sebut setelah dirinya mengkritik RUU Kesehatan yang kontroversial, ini bukti bahwa adanya partisipasi masyarakat yang dikebiri dalam proses pembentukan UU Kesehatan.
Kemudian, Prof. Tjandra Yoga Aditama, Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), juga mengkritik beberapa pasal dalam RUU Kesehatan yang kontroversial. Salah satunya adalah kebijakan terkait pendidikan dokter spesialis yang bertentangan dengan pasal lain.
ADVERTISEMENT
Pasal 180 ayat (2) RUU Kesehatan menjadi kontroversial karena menyatakan bahwa rumah sakit dapat menyelenggarakan fungsi pendidikan dan penelitian di bidang kesehatan, selain memberikan pelayanan kesehatan.
Pasal ini dianggap membingungkan karena ketentuan umum menyebutkan bahwa tugas utama rumah sakit adalah memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna.
Ilustrasi pelayanan kesehatan. Foto: REDPIXEL/Shutterstock
Kontroversi juga timbul terkait pasal 187 ayat (2) yang menyatakan bahwa rumah sakit tidak dapat dituntut dalam melaksanakan tugas menyelamatkan nyawa manusia. Isu utama yang menarik perhatian tenaga kesehatan adalah hak imunitas dokter dan tenaga kesehatan.
Beberapa pasal dalam RUU tersebut menimbulkan kekhawatiran bahwa dokter bisa dihukum jika terjadi kelalaian. Namun, ada juga pasal yang memberikan perlindungan hukum bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik sesuai dengan standar profesi.
ADVERTISEMENT
Mereka khawatir dengan UU Kesehatan akan meniadakan undang-undang yang saat ini mengatur profesi medis. UU Kesehatan ini pun dinilai tidak memasukkan organisasi profesi di sektor kesehatan, meskipun undang-undang sebelumnya telah mengatur profesi ini secara baik.
Pada akhirnya, perjuangan mereka dalam menolak RUU Kesehatan harus kandas karena DPR secara resmi sudah mengesahkan RUU Kesehatan menjadi UU Kesehatan. Mayoritas fraksi DPR menyetujui pengesahan RUU Kesehatan menjadi UU, kecuali dua fraksi, yakni fraksi PKS dan fraksi Demokrat.
Sikap ugal-ugalan pemerintah dalam mengesahkan RUU Kesehatan yang dinilai kontroversial, serta ditolak oleh tenaga kesehatan, termasuk oleh banyak organisasi profesi kesehatan dan Forum Guru Besar Lintas Profesi tentu mengisyaratkan bahwa ada ketidakberesan dalam UU ini.
Metode omnibus pada RUU Kesehatan pun dinilai terlalu instan, hal yang sama juga terjadi dalam pembentukan UU Cipta Kerja yang kontroversial, serta dianggap ugal-ugalan dan mangaburkan partisipasi publik.
ADVERTISEMENT

Setelah RUU Kesehatan Disahkan, lalu Bagaimana?

Ilustrasi judicial review. Foto: bangoland/Shutterstock
Para tenaga kesehatan melakukan aksi damai dan menuntut akan melakukan mogok kerja massal, para tenaga medis, dan setelah disahkan, pihak yang kontra terhadap pengesahan RUU Kesehatan akan melakukan judicial review atau langkah lainnya. Ketua Umum Persatuan Perawat Nasional Indonesia juga akan mengajukan gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
Kemudian, dalam siaran pers melalui laman resminya, sebuah organisasi nonprofit yang bertujuan memajukan pembangunan sektor kesehatan, Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), mengecam keras DPR atas pengesahan RUU Kesehatan atau Omnibus Law Kesehatan menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna pada hari Selasa, 11 Juli 2023.
CISDI mengkritik proses penyusunan RUU Kesehatan yang terburu-buru dan tidak transparan. Beberapa indikasi termasuk proses konsultasi yang singkat dan ketidaktahuan publik mengenai naskah final sebelum diundangkan. Selain itu, pengesahan ini juga dianggap mengabaikan rekomendasi masyarakat sipil mengenai aspek formal dan substansial dalam RUU Kesehatan.
Ilustrasi pro dan kontra pengesahan RUU Kesehatan menjadi Undang-Undang. Foto: KucherAV/Shutterstock
Hingga saat ini, CISDI telah mengidentifikasi setidaknya empat masalah dalam draf dan DIM RUU Kesehatan yang telah disahkan. Ketentuan yang bermasalah meliputi penghapusan pengeluaran wajib sektor kesehatan sebesar 10% dari anggaran pusat dan daerah, kebijakan yang tidak inklusif terkait gender dan kelompok rentan, ketiadaan pelembagaan peran kader kesehatan, serta ketiadaan regulasi terkait iklan, promosi, dan sponsorship tembakau dalam RUU Kesehatan.
ADVERTISEMENT
Mengutip dari laman resmi CISDI mengenai siaran persnya, terdapat beberapa sikap dan catatan yang dilakukan oleh CISDI, yaitu:
Adanya pengesahan RUU Kesehatan menjadi UU Kesehatan ini tentu menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat, khususnya yang berprofesi sebagai tenaga kesehatan. Selain itu, masyarakat berharap supaya pemerintah mengesahkan RUU Perampasan Aset yang sampai tulisan ini dibuat belum juga disahkan menjadi UU—padahal ini lebih mendesak.
Hingga tulisan ini dibuat, RUU Perampasan Aset masih mandek di tengah jalan. Padahal, RUU Perampasan Aset semestinya menjadi prioritas, supaya tidak ada lagi pejabat yang ugal-ugalan.
ADVERTISEMENT