Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Menembus Cakrawala Gunung Cikuray, Sebuah Negeri di Atas Awan
23 Oktober 2019 0:01 WIB
Tulisan dari Allbi Ferdian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Kata-kata itulah yang pertama kali terlintas dalam benak saya ketika menginjakkan kaki di atas ketinggian 2.821 mdpl. Kala saya berhasil menjejal puncak gunung bertipe Stratovolcano yang terletak di Kabupaten Garut, Jawa Barat, tepatnya di perbatasan Kecamatan Bayongbong, Cikajang, dan Dayeuh Manggung.
Tahun 2017 saat itu, saat di mana saya menyaksikan riak awan melintas tepat di depan mata. Saat rasa lelah bisa terbayar hanya dengan seteguk air dan semilir angin yang berhembus dari semak belukar ke atas puncak gunung.
Sebelumnya, kenikmatan dan keindahan itu hanya sebatas angan. Hanya sebatas mendengar kata orang, tentang bagaimana Garut memiliki tempat bernama negeri di atas awan. Saya sendiri adalah pendaki amatir, yang baru tahu bahwa Tuhan menciptakan alam semesta tanpa ada tandingannya.
ADVERTISEMENT
Keinginan mengeksplor Cikuray lahir saat salah satu teman menceritakan bagaimana perjalanan dia menuju puncak gunung itu. Sialnya, ia menggantungkan cerita dengan kalimat “Ah, gila sih, pokoknya harus ke sana, deh!”.
Berselang dua pekan dari cerita itu, saya bersama sembilan orang teman memutuskan untuk langsung menjajaki gunung yang masih jadi misteri.
Kami berangkat dari Jatinangor sekitar pukul 20.00 malam, melakukan perjalanan menuju Dayeuh Manggung dengan tujuan akhir pos pemancar. Total perjalanan dari Jatinangor ke Garut sebenarnya hanya 5 jam, selebihnya kami gunakan untuk beristirahat, ngobrol, makan, dan santuy.
Tiba di pos pemancar sekitar pukul 04.30 pagi. Oh ya, detik-detik menuju pos pemancar juga indahnya bukan main, lho. Meski gelap sih, tapi iseng aja gitu senter dipakai untuk melihat ada apa di kiri dan kanan jalan. Bukan pohon cemara ternyata. Tapi! Ughh.. jalan berbatu dengan kebun teh menyerupai bukit Teletubbies, kemudian memasuki hutan rimbun laiknya lorong waktu.
ADVERTISEMENT
Oke lanjut, setibanya di pos pemancar, kami beristirahat sekejap dan gercep melakukan pemanasan serta persiapan. Kami mulai mendaki pukul 06.30, hari sudah mulai terang, jalanan mulai terlihat, matahari mulai keluar dengan sayup khas warna oranye sunrise.
Selama perjalanan menuju pos satu, saya sudah dibikin gemetar, jalanan menanjak dan terjal, terlebih tak diberi bonus sedikitpun. Kondisi jalan waktu itu juga sedikit licin karena mungkin bekas hujan semalam. Nah, dari pos satu menuju pos dua, track makin curam dengan akar-akar pohon mulai menghalangi.
Sedangkan dari pos dua menuju pos tiga, perjalanan ini justru semakin tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, waktu yang dibutuhkan juga lebih lama ketimbang pos sebelumnya. Dan mungkin dari sinilah perjalanan sebenarnya dimulai, karena kamu tidak akan diberi ampun hingga puncak nanti.
ADVERTISEMENT
Dalam perjalanan itu, beberapa kali kami sempat terhenti karena kelelahan dan kewalahan beda tipis. Ini nih yang kocak, ada satu carrier super yang saya yakin hanya pendaki pro yang mampu menggendong tas misterius ini. Beratnya minta doa, saya hampir-hampir gak sanggup. Padahal isinya ‘cuma’ tenda, air satu kompan, beras 2 liter, dan alat-alat perkakas. Carrier ini dibawa sama BP, anak gunung yang udah mencicipi kerasnya batu Mahameru, katanya.
Oke lanjut lagi, menuju pos lima, langit sudah mulai terik, arah jarum jam menunjukkan pukul 13.00 WIB. Meski letih, di perjalanan ini kami disuguhi berbagai keindahan, mulai dari suara kicau burung liar, suara hewan entah monyet atau bukan yang saling bersahutan, suara dedaunan jatuh dan gesekan ranting yang tertiup angin, dibarengi dengan nafas kami yang renghap ranyud.
ADVERTISEMENT
Sampai di pos lima sekitar pukul 14.00 WIB. dari pos ini rasanya ingin turun tapi cape. Ingin lanjut tapi gak sanggup. Tapi apa daya, kami memutuskan untuk tetap lanjut menuju pos enam, sebagai pos terakhir tempat menyeruput kopi, menyeduh mie, dan tidur di hotel ribuan bintang.
Perjalanan dari pos lima ke pos enam ini pohon-pohon mulai terlihat tinggi. Tidak serapat pos-pos sebelumnya. Tapi langit tetap terik, meski hembusan angin terus menyambung nyawa dari waktu ke waktu. Beberapa kali saya dan rekan-rekan tersendat karena beristirahat, merobek cokelat dan madu, meneguk air sedikit, tapi gak nyeduh kopi.
Sekitar satu setengah jam berjalan dari pos lima, aslinya gak bohong, langkah kami semakin berat, kepala serentak merunduk seperti mengheningkan cipta, punggung 45 derajat, dan keringat terus bercucuran.
ADVERTISEMENT
Sekitar dua jam berjalan, mulai tuh ada harapan. Saya tengadahkan pandangan, terlihat sebuah dataran yang cukup luas, dengan beberapa tenda milik pendaki lain. Sesampainya pos enam, saya tak sadar kalau matahari mulai menjingga, tenggelam di ufuk barat, memancarkan warna merah kelabu, dengan lembayung sore yang terus meredup.
Saya terdiam sesaat. Bertanya “bagaimana Tuhan bisa menciptakan ini dengan begitu sempurna?” Detik itu pula saya lupa dengan lelah, lupa dengan kaki yang kesemutan, lupa dengan lapar, lupa dengan tas yang masih menempel di pundak, lupa dengan semuanya. Yang tersisa hanya rasa syukur yang teramat, hanya ada rasa bangga, bahwa di dekat saya, di tanah Sunda, tanah Jawa Barat, ada begitu banyak nikmat dan keindahan yang tak ternilai.
ADVERTISEMENT
Usai sedikit menghela nafas dan bergundah-gulana, saya dan teman-teman kemudian mendirikan tenda, lantas beristirahat sembari memakan beberapa cemilan. Ketika langit mulai gelap dengan udara dingin menyeruak, kami mulai memasak beberapa makanan andalan, mie dan kopi, beserta nasi liweut mantap. Terus tidur. Makanannya gimana? Ya pasti sikat dulu, Bambang.
Malam berganti pagi. Pukul 04.00 WIB, kami semua bangun, merapikan barang-barang, melanjutkan perjalanan menuju puncak. Dari pos enam menuju puncak hanya membutuhkan waktu kurang lebih 30 hingga 50 menit saja. Dan benar, sampai di puncak kami sekitar pukul 05.00 WIB, satu jam ternyata.
Kami tunggu matahari terbit. Mula-mula awan berubah laiknya senja. Kemudian matahari muncul secara perlahan. Lalu terlihat lautan awan bergumpal-gumpal bagai permadani yang memesona. Berarak sedikit demi sedikit. Tatkala matahari mulai bersinar, pemandangan mulai membunuh setiap gerak yang ada di sana.
ADVERTISEMENT
Benar kata temanku, ini adalah negeri di atas awan. Negeri di mana orang tidak bisa mendapatkannya dengan uang. Negeri Garut atau mungkin Negeri Cikuray yang dibangun dengan susah payah, dengan kaki, keringat, dan kerja keras. Di sana juga terlihat gunung-gunung lain, yang tak kalah indahnya, seperti Papandayan, Guntur, dan Ciremai. Kelak, saya akan menaklukkan gunung-gunung itu, menyaksikan Negeri Garut lagi dengan sejuta kenangan dan keindahannya.
Live Update