Sentralisasi dan Desentralisasi Omnibus Law

Konten dari Pengguna
16 November 2020 10:21 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Benny Sudrata tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
ADVERTISEMENT
Pada masa pemerintahan Orde Baru, hampir semua kewenangan penting terutama dalam pemberian izin usaha yang berskala besar ada di tangan pemerintah pusat, sentralisasi.
ADVERTISEMENT
Ketika Orde Baru tumbang, muncul gagasan desentralisasi pemerintahan dengan memberikan banyak kewenangan penting ke daerah setingkat kabupaten. Semangat membasmi KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme) begitu hebat dan didukung hampir semua lapisan masyarakat. Dengan susah payah, memakan biaya besar dan banyak terjadi tarik ulur, akhirnya keluarlah Undang-Undang Otonomi Daerah, di mana banyak kewenangan penting dilimpahkan ke daerah.
Sekian tahun kemudian, pada 5 Oktober 2020, DPR menyetujui Undang-Undang Cipta Kerja yang merupakan undang-undang sapu jagat dalam rangka mengharmoniskan banyak undang-undang yang saling tumpang tindih, saling bertentangan, dan sudah usang untuk diperbaharui dengan tujuan untuk menciptakan KEMUDAHAN BERINVESTASI yang akan mendorong terciptanya lapangan kerja baru dengan cepat dan adanya kepastian hukum yang jelas bagi investor untuk menanamkan modalnya dan memperbesar volume ekonomi dalam rangka menaikkan kemakmuran.
ADVERTISEMENT
Di rezim Orde Baru, pada saat pembangunan mulai dicanangkan Suharto, memang kualitas pemerintahan di daerah masih belum memadai untuk diberikan kewenangan yang besar-besar karena kualitas birokrasi di daerah belum sebaik sekarang. Tenaga aparat sipil pada saat itu rata-rata masih lulusan setingkat sekolah menengah atas. Lulusan sarjana masih enggan ditempatkan di daerah. Apakah kebijakan ini salah? Saya kira, kebijakan ini tepat pada waktu itu. Namun sayangnya, dengan sentralisasi kekuasaan ada di tangan pusat, Jakarta, yang terjadi adalah: Jakarta menjadi terlalu berkuasa.
Biasanya tempat-tempat kekuasaan menjadi tempat penyalahgunaan wewenang. Dan itulah yang terjadi. Ditambah lagi kekuasaan presiden yang boleh dikatakan hampir tidak ada kontrol. DPR menjadi lembaga tukang stempel saja. Dan kata teman saya pada saat itu "sudah terjadi penghijauan", maksudnya hampir semua jabatan penting di lembaga legislatif, yudikatif, eksekutif, dipegang oleh militer aktif atau pensiunan jenderal.
ADVERTISEMENT
Pada mulanya cara-cara seperti ini memang efektif dilakukan karena memang dibutuhkan untuk kecepatan pengambilan keputusan dan kesatuan komando, di mana hal ini dibutuhkan untuk mengejar pembangunan secara cepat untuk mengejar ketertinggalan yang selama beberapa dekade sebelumnya mandek. Masyarakat madani masih belum bisa tumbuh dengan baik, pers sebagai lembaga kontrol tidak dapat berbuat banyak—kalau terlalu banyak mengkritik pemerintah dianggap subversif konsekuensinya diberedel.
Namun kita masih bisa melihat banyak sekali pencapaian rezim Orde Baru di dalam banyak bidang yang dapat dibanggakan: Swasembada beras, pengendalian jumlah penduduk, stabilitas pemerintahan, kesinambungan pembangunan selama masa orde baru, selama 30 tahun lebih. Hal ini tidak bisa kita bantah karena memang ada buktinya.
Pembangunan ekonomi cukup berhasil walaupun di sana-sini masih banyak kekurangannya. Yang paling menonjol kekurangannya adalah pembangunan di bidang politik. Partai-partai dipaksa untuk melakukan fusi menjadi dua partai saja, yaitu PDI (Partai Demokrasi Indonesia) dan PPP (Partai Persatuan Pembangunan) dan Golkar dianggap bukan partai politik, namun dalam praktiknya adalah partai politik juga. Pendirian partai baru diharamkan. Jadi dinamika politik kurang bergairah, semuanya berpusat pada rezim Orde Baru. Pengakuan dunia internasional pun banyak didapatkan untuk pemerintahan Orde Baru, saya tidak bisa menyebutkan satu per satu.
ADVERTISEMENT
Dengan terkonsentrasinya kekuasaan politik, maka konsentrasi kekuasaan lainnya pun terjadi dengan sendirinya terkonsentrasi ke Jakarta. Semua perizinan usaha besar ada di Jakarta. Pemerintahan di daerah hanya melaksanakan saja apa yang sudah diputuskan oleh Jakarta. Dari urusan perencanaan pembangunan sampai dengan perizinan usaha semuanya harus melalui pusat. Jadi lokasi terjadinya KKN pun ada di pusat. Daerah hanya sebagai pelaksana, jadi hanya mempunyai jatah kecil saja untuk semua hal.
Jadi kesimpulan saya, koreksinya adalah dengan Jakarta melepaskan sebagian kekuasaannya ke daerah agar pembangunan di daerah sesuai dengan aspirasi masing-masing dan disesuaikan dengan potensi yang ada. Apakah tujuan ideal tersebut bisa dicapai dan bisa menghilangkan KKN?
Dengan tumbangnya Orde Baru, maka masyarakat kita memandang perlu memberi kebebasan berpolitik buat semua warga negara. Jadi pendirian partai politik oleh siapapun selama masih dalam koridor hukum yang berlaku dapat dilakukan. Pendirian partai politik mirip seperti mendirikan perusahaan, bedanya pendirian perusahaan dalam rangka mencari keuntungan, partai politik tujuannya untuk membangun bangsa Indonesia di bidang politik. Dengan undang-undang partai politik ini diimplementasikan maka banyak bermunculan partai politik baru di dalam kancah perpolitikan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Besarnya kewenangan di daerah membuat partai politik pun ikut melirik kekuasaan di daerah-daerah sebagai tempat perebutan pengikut dalam rangka memperbesar pengaruhnya dari daerah-daerah.
Apakah dengan melakukan desentralisasi kekuasaan bisa menghilangkan KKN, pembangunan daerahnya menjadi lebih baik sesuai dengan aspirasi daerahnya? Apakah kemajuan di daerah bisa membawa manfaat untuk negara? Dengan berbagai kebaikan dan keburukan otonomi daerah dengan pertimbangan kecepatan pengambilan keputusan dan adanya transparansi di daerah maka UU yang mengatur otonomi daerah tetap dilaksanakan.
Dengan adanya liberalisasi politik dan kekuasaan dari pusat ke daerah maka banyak konsekuensi yang timbul. Kepala daerah mempunyai kewenangan yang besar termasuk di dalam pemberian izin berusaha untuk perusahaan-perusahaan yang beroperasi di daerahnya maka bisnis pun jadi banyak masalah.
ADVERTISEMENT
Biasanya dunia bisnis cukup meminta izin di Jakarta sudah bisa beroperasi di seluruh Indonesia. Dengan adanya otonomi daerah, bisnis harus mempunyai izin operasi di semua daerah. Belum lagi masalah bagi hasil dari pusat ke daerah, sebagai contoh: Cukai rokok dipungut di kantor Bea Cukai tingkat pusat, daerah penghasil tembakau, penghasil cengkeh, dan daerah lain yang merasa punya kontribusi untuk industri rokok meminta bagian dari hasil cukai.
Dan masih banyak lagi persoalan di industri lainnya. Sebagaimana kita tahu, daerah-daerah yang keuangannya sudah bisa mandiri masih sangat sedikit akibatnya keuangan daerah masih banyak tergantung pada pemerintah pusat, Pendapatan Asli Daerah-nya tidak cukup untuk membiayai operasi birokrasi.
Dengan kondisi keuangan daerah yang masih sangat tergantung pada pusat maka akan sulit untuk melakukan pembangunan daerahnya tanpa bantuan pusat. Masing-masing daerah akhirnya banyak mengeluarkan Peraturan Daerah yang bertujuan untuk mendapatkan pemasukan untuk daerahnya dan tidak jarang malah bertentangan dengan peraturan pusat. Tidak jarang untuk meminta izin bisnis di daerah tertentu menjadi sulit dilakukan karena daerah banyak meminta imbalan pembangunan prasarana di daerah sebagai imbalan untuk izin-izin tertentu.
ADVERTISEMENT
Dan yang paling parah adalah munculnya pungutan liar dan KKN di daerah. Kalau pada saat pemerintahan rezim Orde Baru KKN yang paling besar terjadi di tingkat pusat, dengan adanya otonomi daerah KKN-nya dari pusat pindah ke daerah. Ditambah lagi dengan bertambahnya kekuasaan legislatif di daerah maka banyak muncul KKN bersama antara eksekutif dan legislatif di daerah. Sampai-sampai pernah terjadi semua anggota DPRD-nya terlibat korupsi, ditangkap KPK.
Hal seperti ini tidak pernah terjadi sebelum adanya otonomi daerah. Jadi kesimpulan saya mengapa pemerintahan Presiden Joko Widodo akhirnya mengajukan Rancangan Undang-Undang Cipta kerja (Omnibus law) kemungkinan besar adalah melihat gejala yang kurang kondusif di daerah untuk membangun daerahnya dan memperlancar perizinan di daerah. Undang-undang tersebut sudah mendapatkan persetujuan dari DPR pada tanggal 5 Oktober 2020.
ADVERTISEMENT
Sekarang muncul pertanyaan baru: Apakah UU Cipta Kerja atau omnibus law ini bisa efektif untuk memperlancar izin investasi dan bisa menghilangkan KKN di daerah? Mari kita lihat bersama nanti sesudah undang-undang ini diimplementasikan.
Yang saya ingin katakan di dalam tulisan ini adalah sentralisasi atau desentralisasi kekuasaan birokrasi, keduanya mempunyai kekuatan dan kelemahannya masing-masing. Untuk negara sebesar Indonesia memang dari sisi untung-rugi dan efektifitas birokrasi saya melihatnya secara teoretis, desentralisasi akan lebih baik. Namun dengan keluarnya UU Cipta Kerja, kesan kebanyakan orang, undang-undang ini membawa Indonesia ke arah sentralisasi kekuasaan seperti yang terjadi pada Orde Baru. Benarkah demikian?
Setelah saya membaca dari mulai draf sampai dengan yang sudah disahkan, saya tidak melihat adanya resentralisasi kekuasaan, terutama kekuasaan politik dari daerah yang diamanatkan oleh UU yang mengatur otonomi daerah. Yang menjadi inti dari undang-undang ini pada intinya adalah bagaimana lapangan pekerjaan dapat diciptakan secepat-cepatnya dengan membuka peluang investasi untuk investor lokal maupun mancanegara yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
ADVERTISEMENT
Dalam banyak hal pemerintah pusat pun hanya akan mengambil alih pemberian izin usaha dari daerah ke pusat kalau sampai terjadi di daerah prosesnya lama (sesuai dengan standar waktu yang diberikan oleh UU Cipta Kerja). Kalau perizinan dapat dilakukan dengan cepat dan baik di daerah pemerintahan pusat tidak akan melakukan intervensi. Parameter waktu ini sering dijadikan objek untuk korupsi. Jadi kekhawatiran akan terjadinya resentralisasi kekuasaan agak terlalu berlebihan. Pada dasarnya pemerintahan pusat hanya ingin memastikan bahwa investor tidak mengalami hambatan untuk mendapatkan izin untuk berusaha.
Kesimpulan saya adalah baik pada saat rezim Orde Baru dengan menggunakan sistem sentralisasi dan pada saat adanya undang-undang otonomi daerah dengan desentralisasi atau kalau kita mau menarik kebelakang lebih jauh pada masa pemerintahan presiden Soekarno.” ADA SATU HAL YANG TERJADI DAN TIDAK BISA KITA HILANGKAN YAITU “KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME”.
ADVERTISEMENT
Bagaimana birokrasinya akan bersih kalau mentalnya sudah rusak. Sistem hanyalah alat bantu untuk menciptakan kontrol yang baik, akan tetapi pelaksanaannya tetap manusia juga. Kalau manusianya tidak pernah bisa berubah saya kira omnibus law pun tetap akan gagal. Kapankah kita bisa berubah? Silakan sidang pembaca untuk menjawabnya.
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan