Konten dari Pengguna

Perubahan Iklim Bukan Masalah Besar, Hanya Misinformasi Ulah Media

Beryl rifqi alhadi
Lulusan Sarjana Hubungan Internasional Universitas Riau, menulis masalah iklim dan energi. Email : [email protected]
26 Januari 2023 19:13 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Beryl rifqi alhadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Aksi Pawai Youth20ccupy: Voice of The Future menuju depan Kementerian LHK, Jakarta, untuk memprotes krisis iklim, Kamis (21/7/2022). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Aksi Pawai Youth20ccupy: Voice of The Future menuju depan Kementerian LHK, Jakarta, untuk memprotes krisis iklim, Kamis (21/7/2022). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Perubahan iklim atau yang sering disebut oleh media "krisis iklim", merupakan masalah misinformasi terbesar dalam 3 dekade terakhir. Banyak generasi muda yang melakukan demonstrasi di jalanan terkait masalah perubahan iklim akibat misinformasi yang mereka dapatkan dari media seperti televisi maupun internet. Bahkan demonstrasi seperti ini banyak terjadi di Indonesia. Padahal, jika kita melihat data yang tepat, perubahan iklim bukan merupakan masalah yang besar, apalagi masalah eksistensial.
Grafik 1, Kematian akibat bencana iklim, Sumber Data : EM-DAT
Berdasarkan data dari EM-DAT International Disaster Dabase, di dekade ini kematian akibat bencana iklim secara global turun sangat drastis, mortalitas terhadap bencana bencana iklim di abad ke 21 seperti banjir, kekeringan, kebakaran, angin tornado dan suhu ekstrem tidak separah dahulu. (Lihat grafik 1)
ADVERTISEMENT
Dilihat dari grafik di atas, dari rata-rata 484 ribu per tahunnya (1920-1929) menjadi 14 ribu per tahunnya (2010-2021), turun sebesar 97 persen. Jika kita hitung tingkat kematian per kapita, maka tingkat kematiannya bahkan semakin menurun drastis. Ini disebabkan populasi yang meningkat 4 kali lebih banyak. Pada 100 tahun lalu, populasi kita hanyalah 2 miliar jiwa. Sedangkan sekarang ada sekitar 8 miliar jiwa manusia. Tingkat kematian akibat bencana iklim pun tercatat turun sebanyak 99,2 persen meski emisi karbon kita terus bertambah seiring waktu dikarenakan penggunaan bahan bakar fossil yang meningkat sejak revolusi industri.
Data di atas merupakan berita yang sangat baik. Menunjukkan kita sangat mampu beradaptasi dari waktu ke waktu terhadap bencana iklim, meskipun adanya global warming. Ini terjadi karena semakin banyak negara di dunia yang perekonomiannya semakin kuat. Semakin kaya suatu negara semakin mampu mereka berdaptasi dengan iklimnya.
ADVERTISEMENT

Perubahan Iklim Tidak Memperparah Bencana Banjir

Banjir di Karachi, Pakistan 2022. Banyak media dan aktivis menyalahkan perubahan Iklim sebagai penyebab banjir. Sumber Foto: Akhtar Soomro/REUTERS
Ini juga merupakan misinformasi yang sering disebar oleh berbagai media, bahkan saintis sekalipun-tentu saja termasuk aktivis iklim: bahwa bencana banjir merupakan ulah dari tindakan manusia yang menggunakan bahan bakar fosil. Mari kita lihat sendiri kesimpulan dari konsensus saintis, IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), standar parameter terbaik yang kita miliki saat ini dan merupakan bagian dari PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) serta diisi oleh ratusan saintis terpilih dalam penelitian perubahan iklim.
IPCC AR6 WG1, 2021:
Bahkan dalam beberapa dekade ini, IPCC sendiri tidak bisa menyimpulkan bahwa bencana banjir merupakan pengaruh dari kegiatan manusia (membakar bahan bakar fosil). Kesimpulan ini juga terdapat pada laporan dari IPCC AR5 WG1 tahun 2013, yang menyimpulkan tidak adanya atribusi dari kegiatan manusia terhadap bencana banjir. Ini sangat berbeda jika kita lihat di berbagai media, The Guardian yang melaporkan: "Pakistan floods ‘made up to 50 percent worse by global heating." Atau NPR yang menulis: "How climate change drives inland floods."
ADVERTISEMENT
Dua artikel di atas menunjukkan banyaknya jurnalis dan 'saintis' yang menyimpang dari konsensus IPCC. Pernyataan ini selalu dikutip oleh berbagai aktivis bahwa bencana banjir semakin memburuk karena ulah manusia yang menggunakan bahan bakar fossil.

Solusi dari Perubahan Iklim Adalah Adaptasi, Bukan Panik

Walaupun emisi karbon kita tetap bertambah seiring waktu, kerentanan kita terhadap bencana iklim semakin kuat, karena semakin banyaknya negara negara di dunia yang keluar dari kemiskinan. Alasan terjadi banyak kematian bencana iklim di awal dan di pertengahan abad ke 20, dikarenakan ketidakmampuan perekonomian suatu negara melakukan adaptasi terhadap bencana iklim seperti banjir, angin topan, kekeringan, dan suhu ekstrem.
Ini berbeda dengan negara negara kaya dahulu. Mereka cukup baik dalam beradaptasi terhadap bencana iklim, walaupun tidak sebaik sekarang. Contohnya saja Belanda di tahun 1850, mereka sudah mampu membangun bendungan laut agar terhindar dari tingginya permukaan air laut.
ADVERTISEMENT
Beberapa bagian di Belanda merupakan daerah di bawah permukaan air laut hingga saat ini, termasuk airport terbesar di Belanda-Schiphol Airport-yang termasuk di bawah permukaan air laut. Namun tidak ada media mana pun yang mengkhawatirkan Belanda akan tenggelam atau terkena banjir besar. Meningkatnya air permukaan laut dikarenakan pemanasan global bukanlah merupakan ancaman yang signifikan. Adaptasi terhadap naiknya permukaan air laut merupakan hal yang sangat sederhana dilakukan oleh suatu negara.
Banyaknya berita dari media dan aktivis yang mengatakan bahwa pulau pulau kecil akan tenggelam disebabkan pemanasan global hanyalah pemikiran yang naif. Masyarakat dan pemerintah pasti tidak akan tinggal diam jika permukaan air laut semakin naik dan memasuki wilayah mereka, karena mereka pasti akan melindungi aset dan properti berharga mereka.
ADVERTISEMENT
Bisa kita bayangkan sendiri, Belanda saja mampu membuat tanggul bendungan laut di tahun 1850. Pada saat itu sebagian besar pembangunan masih menggunakan tenaga manusia dalam pembuatan tanggul, tanpa adanya peralatan yang canggih seperti komputer, satelit dan mesin mesin berat yang akan sangat mempermudah pembangunan bendungan laut. Sehingga saya percaya negara-negara saat ini atau negara berkembang sekalipun seperti Indonesia, bakal dengan sangat mudah membangun bendungan yang jauh lebih modern dan menggunakan teknologi yang jauh lebih canggih dibandingkan Belanda di tahun 1850.

Dampak dari Perubahan Iklim di Masa Mendatang, Tidak Seburuk Digambarkan oleh Media

Banyak media internasional mengatakan bahwa kerusakan akibat bencana iklim meningkat dalam 3 dekade terakhir. Pernyataan ini benar jika hanya melihat jumlah kerusakannya. Sebab jumlah kerusakan akibat bencana iklim memang bertambah, karena semakin meningkatnya ekonomi suatu negara maka semakin banyak pula infrastruktur yang mereka bangun di wilayahnya. Perekonomian kita secara global selalu meningkat dari tahun ke tahun. Ini membuat jumlah kerusakan akibat bencana iklim seperti banjir dan tornado akan meningkat.
ADVERTISEMENT
Saya beri contoh seperti di Miami Amerika Serikat. Saat tornado (great miami hurricane) menghantam Miami tahun 1926, tornado ini merusak properti dan infrastruktur Miami sebesar 76 juta dolar (dolar di tahun 1926). Ini berbeda sekali jika tornado saat itu menghantam di tahun 2022. Kita bisa lihat sendiri betapa banyak jumlah infrastruktur yang dibangun di sekitar Pantai Miami dibanding 1 abad lalu. Jika Tornado Miami tahun 1926 menghantam Miami tahun 2022 akan mengakibatkan kerusakan lebih dari 260 miliar dolar. Jumlah yang banyak ini terjadi karena banyaknya properti dan infrastruktur yang berharga saat ini dibanding tahun 1926.
Kerusakan akibat bencana iklim yang diukur berdasarkan GDP pertahunnya secara global. Tren kerusakan menurun dari tahun 1990--2022. Sumber Grafik: Roger Pielke Jr, Substack (https://rogerpielkejr.substack.com/p/weather-and-climate-disaster-losses)
Data yang tepat adalah kita harus mengukur kerusakan bencana iklim proposional dengan GDP (Gross domestic product) yang kita miliki di tahun itu. Sebab semakin meningkat ekonomi kita, semakin banyak pula infrastruktur yang kita bangun. Begitu juga populasi kita yang semakin bertambah.
ADVERTISEMENT
Jika kita lihat grafik di atas, walaupun jumlah kerusakan akibat bencana iklim bertambah, peningkatan ekonomi kita jauh lebih meningkat dan melebihi kerusakan akibat bencana iklim. Oleh karena itu, tren kerusakan akibat bencana iklim turun cukup signifikan, ini juga berlaku hampir di setiap negara.

Proyeksi dari IPCC

Proyeksi dari IPCC sudah jelas, perubahan iklim hanya berdampak sedikit memburuk terhadap kehidupan di bumi yang di ukur berdasarkan GDP. IPCC juga secara detail menjelaskan berapa persen GDP dari dampak perubahan iklim sendiri.
Ini merupakan kutipan special report 1,5° dari IPCC tahun 2018:
ADVERTISEMENT
Ini merupakan prediksi dari saintis IPCC yang mengatakan bahwa tanpa adanya kebijakan pengurangan emisi karbon (business as usual) atau hanya adaptasi, dampak dari kerusakan yang diakibatkan oleh perubahan iklim hanya berkisar 2,6 persen GDP secara global .
Ini jauh dari kata eksistensial, dan juga bukan merupakan masalah besar. PBB juga memproyeksikan bahwa di tahun 2100 negara-negara Non-OECD, ekonominya akan meningkat 450 persen dibanding saat ini, dan perubahan iklim yang hanya akan berdampak 2,6 persen GDP, akan membuat pertumbuhan negara berkembang 438 persen dibanding tanpa perubahan iklim yang hanya 450 persen. Kualitas hidup dan ekonomi kita akan terus meningkat walaupun adanya perubahan iklim.