Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
11 Pahlawan Perempuan Indonesia dan Perjuangannya untuk Bangsa
9 November 2024 16:03 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Pahlawan perempuan tak hanya melawan penjajah, tetapi juga memperjuangkan hak-hak perempuan dan memberikan pendidikan.
Siapa saja pahlawan perempuan Indonesia? Simak ulasannya di bawah ini.
Pahlawan Perempuan Indonesia
Sebagai warga negara Indonesia, sudah seharusnya kita mengetahui nama-nama pahlawan perempuan yang telah berjuang untuk bangsa.
Mengutip buku Ensiklopedi Pahlawan Nasional oleh Julinar Said dan Triana Wulandari, berikut daftar pahlawan perempuan Indonesia.
1. Nyi Ageng Serang
Nyi Ageng Serang atau Raden Ajeng Kustiah Retno Edi adalah pahlawan perempuan Indonesia yang bergabung dengan pasukan Diponegoro. Ia merupakan anak dari Bupati Serang, kemudian diangkat menjadi Panglima Perang oleh Sultan Hamengkubuwono I.
Desa Serang, tempat tinggal Nyi Ageng Serang, diserang Belanda setelah Perjanjian Gianti pada 1755. Saat itu, ia telah dewasa dan ikut berperang melawan Belanda. Sayangnya, Nyi Ageng Serang tertangkap.
ADVERTISEMENT
Saat bergabung dengan pasukan Diponegoro, Nyi Ageng Serang ditugaskan untuk mempertahankan daerah Prambanan. Kala itu, usianya sudah tua, sehingga harus dibawa dengan tandu.
Teknik perang Nyi Ageng Serang terkenal dengan istilah daun lumbu, yakni pasukannya berkerudung daun lumbu agar tampak seperti daun lumbu atau keladi dari kejauhan. Ketika musuh mendekat, pasukan Nyi Ageng Serang dapat menyerang habis-habisan.
2. Martha Khristina Tiahahu
Martha Khristina Tiahahu lahir sekitar tahun 1800-an di Nusa Laut Kepulauan Maluku, anak sulung dari Kapitan Paulus Tiahahu. Ketika usianya masih 17 tahun, ia ikut sang ayah memberontak melawan Belanda.
Martha Khristina Tiahahu selalu membawa bedil saat mendampingi ayahnya berjuang di Nusa Laut. Sayangnya, Belanda berhasil menangkap beberapa pasukan, termasuk Kapitan Paulus Tiahahu.
ADVERTISEMENT
Setelah ayahnya meninggal, Martha Khristina Tiahahu meneruskan perjuangan dengan mengumpulkan pasukan dan menyusun kekuatan baru. Usaha tersebut diketahui Belanda yang membuatnya ditangkap dan dibawa ke Pulau Jawa.
Selama perjalanan, Martha Khristina Tiahahu tak mau makan dan minum yang membuat kondisinya melemah. Pada 2 Januari 1818, ia menghembuskan napas terakhirnya.
3. Cut Nyak Dhien
Pada 1873, terjadi perang Aceh. Kemudian, pada 1875, tempat tinggal Cut Nyak Dhien berhasil diduduki Belanda.
Kemudian, suami Cut Nyak Dhien meninggal pada 1878. Setelah itu, Cut Nyak Dhien bersumpah untuk membalas kematian suaminya dengan melanjutkan perjuangannya.
ADVERTISEMENT
Pada 1880, Cut Nyak Dhien kembali menikah dengan Teuku Umar yang juga merupakan pejuang Aceh. Karena kegigihan Teuku Umar, tempat tinggal Cut Nyak Dhien berhasil direbut kembali dari Belanda.
Pada 1899, Teuku Umar meninggal dunia. Meskipun ditinggal suaminya, Cut Nyak Dhien terus berjuang dengan cara bergerilya selama enam tahun. Namun, pasukan Cut Nyak Dhien tertangkap dan dibuang ke Sumedang.
4. Cut Nyak Meutia
Cut Nyak Meutia adalah panglima Aceh yang berjuang melawan Belanda. Bersama suaminya, Teuku Cik Tunong, Cut Nyak Meutia membentuk dan menyerang patroli Belanda di pedalaman Aceh.
Belanda membujuk Cut Nyak Meutia untuk menyerah tetapi bujukan tersebut tak berhasil. Pada 1905, suami Cut Nyak Meutia ditangkap dan mendapatkan hukuman tembak. Setelah itu, ia menikah lagi dengan Cik Tunong dan melanjutkan perjuangannya.
ADVERTISEMENT
Pada 26 September 1910, terjadi pertempuran di Paya Ciciem. Kala itu, Cut Nyak Meutia diserahi tugas untuk memimpin pasukan yang berisi 45 orang hanya dengan 13 senjata.
Cut Nyak Meutia adalah pejuang yang tak kenal lelah. Ia terkepung dan meninggal dunia pada 1910.
5. Raden Ajeng Kartini
Raden Ajeng Kartini lahir pada 21 April 1879 di Jepara. Karena jasanya yang memperjuangkan hak-hak perempuan, hari kelahiran Kartini tersebut diperingati sebagai Hari Kartini.
Kartini adalah putri dari Bupati Jepara. Ia hanya menempuh pendidikan sampai sekolah dasar. Namun, Kartini bercita-cita tetap ingin sekolah hingga tinggi.
Kartini yang gemar membaca membuat pikirannya terbuka dan mengetahui kondisi wanita Eropa. Ia pun membandingkan dengan nasib wanita Indonesia.
Sejak saat itu, Kartini berniat untuk mendirikan sekolah bagi gadis-gadis di Jepara. Ia juga rajin menulis surat kepada teman-temannya di Belanda. Kumpulan surat tersebut diterbitkan menjadi buku “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
ADVERTISEMENT
Kartini menikah dengan Raden Adipati Joyodiningrat, Bupati Rembang, yang mendukung cita-citanya. Kemudian, ia mendirikan sekolah anak perempuan di Rembang.
Sejak saat itu, muncul sekolah-sekolah serupa dengan nama Sekolah Kartini di daerah-daerah lain.
6. Rasuna Said
Rasuna Said lahir pada 14 September 1910 di Maninjau, Sumatera Barat. Semula, ia mengikuti organisasi Sarikat Rakyat dan menjabat sebagai sekretaris cabang.
Kemudian, Rasuna Said masuk Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI). Partai tersebut berhaluan Islam dan Nasional.
Pada masa pendudukan Jepang, Rasuna Said ikut mendirikan organisasi Pemuda Nippon Raya di Padang tetapi dibubarkan pemerintah Jepang.
Setelah Indonesia merdeka, Rasuna Said menjadi anggota Dewan Perwakilan Sumatera mewakili Sumatera Barat. Ia juga sempat mejadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di samping menjadi anggota Badan Pekerja KNIP.
ADVERTISEMENT
7. Nyi Ahmad Dahlan
Siti Walidah yang dikenal dengan nama Nyi Ahmad Dahlan lahir pada 1872 di Yogyakarta. Nyi Ahmad Dahlan adalah perempuan yang tak pernah mendapat pendidikan formal di sekolah umum. Ia hanya mendapatkan ilmu agama dalam bahasa Jawa berhuruf Arab.
Suami Nyi Ahmad Dahlan, Kyai Haji Ahmad Dahlan menyadari hak antara lelaki dan perempuan kemudian membentuk Aisyah, organisasi wanita bagian dari Muhammadiyah. Nyi Ahmad Dahlan sering memimpin kongres Aisyah.
Selain itu, Nyi Ahmad Dahlan juga aktif mendirikan asrama-asrama untuk pelajar putri. Di sana, para pelajar diajar pelajaran agama, kemasyarakatan, dan semangat kebangsaan.
8. Maria Walanda Maramis
Maria Walanda Maramis adalah wanita yang bercita-cita ingin memajukan kaum wanita agar dapat mengurus rumah tangga sekaligus mendidik anak-anak.
ADVERTISEMENT
Pada usia 6 tahun, Maria sudah menjadi yatim piatu, kemudian ia mengikuti pamannya di Airmadidi.
Maria hanya sekolah sampai Sekolah Dasar. Setelah remaja, cita-citanya semakin kuat, terutama setelah menikah dengan guru HIS Manado.
Dengan dibantu suaminya, Yoseph Frederik Calasung Walanda, Maria berhasil mendirikan organisasi Percintaan Ibu Kepada Anak Turunannya (PIKAT).
Organisasi tersebut disambut baik oleh masyarakat. Sehingga, dalam waktu singkat, PIKAT berhasil mendirikan cabang-cabangnya di berbagai daerah.
9. Raden Dewi Sartika
Raden Dewi Sartika adalah seorang putri dari patih di Bandung, Raden Somanegara. Namun, Raden Somanegara dibuang bersama istrinya ke Ternate karena menentang Pemerintah Hindia Belanda.
Meskipun hanya berpendidikan hingga sekolah dasar, Dewi Sartika memiliki cita-cita tinggi, yakni mendirikan sekolah.
Pada umur 15 tahun, Dewi Sartika tinggal ke Bandung. Karena dorongan kakeknya, RAA Martanegara, dan Den Hamer, seorang Inspektur Kantor Pengajaran, Dewi Sartika membuka sekolah bernama Sekolah Istri.
ADVERTISEMENT
Murid Sekolah Istri awalnya hanya 20 orang. Mereka diajarkan berhitung, menulis, membaca, menjahit, merenda, menyulam, dan ilmu agama. Pada tahun 1910, sekolah tersebut berganti nama menjadi Sekolah Keutamaan Istri.
Sejak saat itu, muncul sekolah-sekolah serupa di Garut, Tasikmalaya, Purwakarta, dan lainnya.
10. Laksamana Malahayati
Laksamana Malahayati adalah pejuang asal Kesultanan Aceh. Ia merupakan perempuan tangguh yang memimpin 2.000 pasukan Inong Balee (janda-janda pahlawan yang telah meninggal).
Dengan keteguhan hatinya, Inong Balee berperang melawan kapal dan benteng Belanda, sekaligus membunuh Cornelis de Houtman.
Peristiwa tersebut terjadi apda 11 September 1599. Keberanian Malahayati tersebut membuatnya mendapatkan gelar Laksamana.
Namun, Laksamana Malahayati gugur pada 1615, tepatnya saat sedang melindungi Teluk Krueng Raya dari serangan Portugis yang dipimpin Laksamana Alfonso De Castro.
ADVERTISEMENT
11. Andi Depu Maraddia Balanipa
Andi Depu Maraddia Balanipa dikenal karena berhasil mempertahankan wilayahnya yang berusaha ditaklukkan Belanda. Bahkan, ia berani mengibarkan bendera Merah Putih ketika pasukan Jepang datang ke tempat tinggalnya pada tahun 1942.
Berkat keberaniannya tersebut, Andi Depu Maraddia Balanipa mendapatkan anugerah Bintang Mahaputra Tingkat IV dari Presiden Soekarno.
Pada 2018, Andi Depu Maraddia Balanipa diberi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo.
(NSF)