Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
6 Tokoh Hari Pahlawan 10 November 1945 di Surabaya dan Sejarahnya
9 November 2021 12:03 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Masyarakat Indonesia memperingati Hari Pahlawan setiap 10 November. Penetapan Hari Pahlawan ini tertuang dalam Surat Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 316 Tahun 1959 oleh Presiden Pertama RI, Ir. Soekarno.
ADVERTISEMENT
Tujuan ditetapkannya Hari Pahlawan adalah untuk menghormati para pahlawan yang gugur saat pertempuran 10 November 1945 di Surabaya , Jawa Timur. Tahun ini, Hari Pahlawan jatuh pada Rabu (10/11).
Ada banyak tokoh penting yang turut memperjuangkan Tanah Air dan membakar semangat para pejuang di Surabaya. Agar lebih mengenalnya, berikut adalah 6 tokoh pelopor Hari Pahlawan.
Tokoh Hari Pahlawan
Daftar beberapa tokoh Hari Pahlawan 10 November 1945 di Surabaya berikut ini dikutip dari buku Surabaya 1945: Sakral Tanahku karya Frank Palmos.
Bung Tomo
Bung Tomo atau Sutomo merupakan seorang jurnalis, penyiar radio, sekaligus Kepala Departemen Penerangan di Organisasi Pemuda Indonesia. Pria kelahiran 3 Oktober 1920 ini punya peran besar dalam Pertempuran Surabaya.
ADVERTISEMENT
Dia yang membakar semangat para pejuang lewat orasinya. Kalimat yang dilontarkannya saat itu adalah: “Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap merdeka atau mati!”
Moestopo
Pria kelahiran 1913 ini juga menjadi tokoh penting dalam pertempuran Surabaya. Dirinya menjadi sosok pembentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang berfungsi mengadang pasukan Inggris sebelum terlibat dalam perlawanan di Surabaya.
Mayjen Sungkono
Mayjen Sungkono merupakan Panglima Angkatan Perang Surabaya saat itu. Dalam pertempuran, Mayjen Sungkono memimpin dengan sangat berani. Ia membakar semangat para pejuang untuk mempertahankan kemerdekaan dari bangsa asing meski hanya bermodalkan bambu runcing.
HR Mohammad Mangoendiprodjo
HR Mohammad Mangoendiprodjo merupakan salah satu tokoh dalam Pertempuran Surabaya. Beliau mempimpin perlawanan terhadap pasukan sekutu sebelum gencatan senjata bersama dengan Bung Tomo, Doel Arnowo, Abdul Wahab, dan Moestopo.
ADVERTISEMENT
Abdul Wahab
Abdul Wahab menjadi sosok yang mengabadikan momen perobekan bendera di atap gedung Hotel Yamato Surabaya. Tak hanya itu, fotografer ini juga sempat mengambil gambar ketika pemuda Surabaya berangkat ke hotel sambil membawa bambu runcing.
KH. Hasyim Asyari
Sebelum pertempuran 10 November meletus, Bung Tomo datang mengunjungi KH Hasyim Asyari. Ia meminta izin untuk membacakan pidato yang terinspirasi dari resolusi jihad. Pidato Bung Tomo inilah yang kemudian membakar semangat para pejuang Surabaya.
Artinya, semangat pertempuran 10 November 1945 tidak dapat dipisahkan dari resolusi jihad yang dicetuskan oleh KH Hasyim Asyari dan ulama-ulama lainnya. Karena jasa-jasanya, KH Hasyim Asyari mendapat gelar Pahlawan Nasional pada 17 November 1964.
Sejarah Hari Pahlawan
Merujuk laman Kabupaten Bone Sulawesi Selatan, pertempuran Surabaya ini bermula setelah pemerintah mengeluarkan maklumat pada 1 September 1945 untuk mengibarkan bendera Merah Putih di seluruh wilayah Indonesia. Gerakan pengibaran bendera tersebut meluas ke seluruh daerah, termasuk di Surabaya.
ADVERTISEMENT
Pada 25 September 1945, tentara Inggris datang ke Indonesia yang mendarat di Jakarta dan Surabaya. Mereka merupakan bagian dari AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) yang datang bersama tentara NICA (Netherlands Indies Civil Administration).
Tujuan mereka ke Indonesia adalah untuk melucuti tentara Jepang serta memulangkan ke negaranya, membebaskan tawanan perang yang ditahan oleh Jepang, sekaligus mengembalikan Indonesia kepada pemerintahan Belanda sebagai negara jajahan.
Hal ini memicu kemarahan warga Surabaya. Mereka menganggap Belanda menghina kemerdekaan Indonesia dan melecehkan bendera Merah Putih. Warga Surabaya pun menggelar aksi protes dengan berkumpul di depan Hotel Yamato. Mereka meminta bendera Belanda diturunkan, lalu menggantinya dengan bendera Indonesia.
Pada 27 Oktober 1945, Residen Soedirman bersama Sidik dan Hariyono sebagai perwakilan Indonesia berunding dengan tentara Belanda WVC Ploegman terkait penurunan bendera Belanda tersebut. Namun, Ploegman menolak hingga mengancam dan mengeluarkan pistol.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, terjadi perkelahian yang tak terelakkan. Ploegman tewas dicekik Sidik, lalu Sidik pun tewas di tangan tentara Belanda lainnya. Sedangkan Soedirman dan Hariyono berhasil keluar Hotel Yamato.
Setelah itu, Hariyono pun memutuskan untuk memanjat ke puncak Hotel Yamato dan merobek warna biru di bendera Belanda sehingga menjadi tersisa warna merah dan putih.
Kemudian pada 29 Oktober, pihak Indonesia dan Inggris sepakat menandatangani gencatan senjata. Namun keesokan harinya, kedua pihak justru bentrok dan menyebabkan Brigadir Jenderal Mallaby, pimpinan tentara Inggris, tewas tertembak.
Melalui Mayor Jenderal Robert Mansergh, pengganti Mallaby, ia mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia bersenjata harus melapor serta menyerahkan senjatanya di tempat yang ditentukan.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, mereka juga meminta orang Indonesia menyerahkan diri sambil mengangkat tangan di atas dengan batas ultimatum pada 10 November 1945 pukul 06.00. Ultimatum tersebut membuat rakyat Surabaya marah hingga terjadi pertempuran 10 November. Peperangan pun terjadi selama tiga minggu.
(NDA)