7 Contoh Puisi Ode, Puisi Baru tentang Pujian yang Bisa Jadi Inspirasi

Berita Hari Ini
Menyajikan informasi terkini, terbaru, dan terupdate mulai dari politik, bisnis, selebriti, lifestyle, dan masih banyak lagi.
Konten dari Pengguna
20 Maret 2023 10:01 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi puisi ode.  Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi puisi ode. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Puisi ode adalah satu dari tujuh jenis puisi baru yang dikategorikan menurut larik atau isinya. Puisi ode berisi pujian atau sanjungan untuk seseorang, suatu hal, ataupun keadaan.
ADVERTISEMENT
Mengutip buku Pembelajaran Puisi untuk Mahasiswa oleh Dr. Mohd. Harun, kebanyakan puisi ode berkenaan dengan tokoh-tokoh yang dikagumi, seperti pahlawan, orang tua, atau para nabi dan rasul.
Kata ode diambil dari bahasa Yunani yang berarti nyanyian atau melantunkan. Konon, dahulu puisi ode dibawakan dengan nyanyian dan diikuti tari-tarian bangsawan Yunani.
Puisi ode dapat dikenali dengan pilihan katanya yang halus, sopan, dan terdengar tulus serta tema yang bersifat mulia dan menyanjung. Puisi ini juga dibawakan dengan nada yang anggun dan indah sehingga pendengar bisa menyimaknya dengan khidmat.

Contoh Puisi Ode

Ilustrasi puisi ode. Foto: Pixabay
Dikutip dari buku Seni Mengenal Puisi tulisan Agnes Pitaloka dan Amelia Sundari beserta sumber lainnya, berikut contoh puisi ode penuh makna yang bisa menjadi inspirasi:
ADVERTISEMENT

1. Guruku

Guruku
Engkau Pahlawanku
Pahlawan tanpa tanda jasa
Engkau menemaniku
Saatku di sekolah
Saatku belum mengenalmu
Engkau mengajariku
Mulai dari taman kanak-kanak
Hingga ku sampai kuliah
Guruku
Takkan ku lupakan semua jasamu
Yang telah bersusah payah mengajariku
Hingga aku bisa
Terima kasih guruku

2. Tafsir Ayub, Sang Nabi

(Motinggo Busye)
Empat puluh masa
Genap sudah
Sang Nabi teruji
Dalam sakit kulit yang parah
Ayub keluar lewat belukar
Dari hutan sunyi
Dekat air terjun yang bernyanyi
Wahai Nabi-Ku, titah Tuhan
Sungguh tabah kau bertahan
Sekarang ambillah
Seratus ranting kering
Rajamlah tiap ranting
Istrimu seratus kali
Ayub mengikat seratus ranting dalam seikat
Dia rajam sang istri
Satu kali.

3. Untuk Ibu

(Pejalandikakibumi)
Ibu, baginya anak adalah titipan Tuhan
Dibawa ke dunia dengan kebahagiaan
ADVERTISEMENT
Meski nyawanya harus meregang
Sakit pun dia tahan
Dalam senyumnya ada ketulusan
Dalam tawanya ada kehangatan
Dalam tangisnya ada pengharapan
Bahasa kalbu yang terulang sejak dalam kandungan
Melahirkan adalah keberanian
Membesarkanku kadang jadi ujian
Mencintaimu adalah sebuah kehormatan
Menjadi dirimu adalah kebangaan

4. Diponegoro

Ilustrasi puisiode. Foto: Pixabay
(Chairil Anwar)
Di masa pembangunan ini
Tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak genta. Lawan banyaknya seratus kali
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati
MAJU
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu
Sekali berarti
Sudah itu mati
MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api
Punah di atas menghamba binasa di atas ditindas
ADVERTISEMENT
Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju.
Serbu.
Serang.
Terjang.
Februari 1943

5. Ibu Kartini

(Fatkhan T. Haqque)
Ibu Kartini bunga bangsa
Harum mewangi sepanjang masa
Meski kini engkau tiada
Harum muliamu tetap terbawa
Tetap abadi hingga masa kini
Meski engkau tak hidup kembali
Serasa hati kau masih ada
Masih bicara masih berkata
Jasamu takkan kulupa

6. Puisi untuk Guru

(Muhammad Yanuar)
Engkau bagaikan cahaya
Yang menerangi jiwa
Dari segala gelap dunia
Engkau adalah setetes embun
Yang menyejukkan hati
Hati yang ditikam kebodohan
Sungguh mulia tugasmu guru
Tugas yang sangat besar
Guru engkau adalah pahlawanku
Yang tidak mengharapkan balasan
Segala yang engkau lakukan
Engkau lakukan dengan ikhlas
Guru jasamu takkan kulupa
Guru ingin kuucapkan
ADVERTISEMENT
Terima kasih atas jasamu

7. Ode Prajurit Tanpa Nama

(Ahmadun Yosi Herfanda)
Bendera-bendera berkibar di udara.
Burung-burung bernyanyi di dahannya.
Dan orang-orang berteriak “telah bebas negeri kita”.
Tapi aku tertatih sendiri.
Di bawah patung kemerdekaan yang letih.
Dan tersuruk di bawah mimpi reformasi.
Kau pasti tak mengenaliku lagi.
Seperti dulu,
Ketika tubuhku terkapar penuh luka.
Di sudut stasiun Jatinegara,
Setelah sebutir peluru menghajarku dalam penyerbuan itu.
Dan negeri yang kacau mengubur riwayatku.
Dalam sejarah berdebu.
Setengah abad lewat kita melangkah.
Di tanah merdeka,
Sejak Soekarno-Hatta mengumumkan kebebasan negeri kita.
Lantas kau dirikan partai-partai.
Juga kursi-kursi di atasnya.
Tapi kau kini menjelma konglomerat berdasi.
Penguasa yang merampas kemerdekaan rakyat sendiri.
Gedung-gedung berjulangan.
Hotel-hotel berbintang, toko-toko swalayan,
ADVERTISEMENT
Jalan-jalan layang,
Mengembang bersama korupsi, kolusi, monopoli, manipulasi,
Yang membengkakkan perutmu sendiri.
Sedang aku tetap prajurit tanpa nama,
Tanpa tanda jasa, tanpa seragam veteran,
Tanpa kursi jabatan, tanpa gaji bulanan,
Tanpa tanah peternakan, tanpa rekening siluman,
Tanpa istri simpanan.
Bendera-bendera kini berkibaran lagi.
Dan sambil bernyanyi “padamu negeri”.
Kau bagi-bagi uang hasil korupsi.
Sedang aku tertatih sendiri.
Letih dibakar matahari.
(ADS)