Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.97.1
Konten dari Pengguna
Apa Itu Cancel Culture dan Siapa Saja yang Sering Melakukannya?
14 Februari 2025 14:00 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Ilustrasi Cancel Culture. Foto: Pexels.](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01jkzqxka9ste2wpqhs5aczvbc.jpg)
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Fenomena ini kerap menjadi perbincangan karena dampaknya yang signifikan terhadap individu yang mengalaminya, terutama bagi para figur publik. Dan di era media sosial seperti sekarang ini, sudah banyak figur publik yang menjadi korban.
Istilah cancel culture mungkin sudah cukup familiar bagi banyak orang, tetapi tidak sedikit juga yang masih belum memahaminya. Bagi Anda yang ingin mengetahui apa itu cancel culture, simak penjelasan lengkapnya di bawah ini.
Arti Cancel Culture
Menurut Cambridge Dictionary, arti cancel culture adalah tindakan di mana sekelompok orang berhenti mendukung atau menolak seseorang karena alasan tertentu. Perilaku ini berkembang dalam masyarakat atau kelompok tertentu, khususnya di media sosial.
Hal ini sering kali dikenal sebagai "budaya pembatalan," yang muncul ketika individu yang dianggap melakukan kesalahan tidak diberi kesempatan untuk memperbaiki diri. Akibatnya, mereka yang mengalami cancel culture umumnya akan meminta maaf dan berusaha belajar dari kesalahan yang telah dilakukan.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, cancel culture biasanya terjadi ketika sebagian besar warganet di media sosial sepakat untuk memberikan sanksi sosial kepada seseorang yang dianggap telah melakukan kesalahan atau perilaku tercela. Meski tampak seperti tren baru, praktik serupa sebenarnya telah ada sejak berabad-abad lalu.
Dahulu, masyarakat menerapkan bentuk penghukuman publik terhadap individu yang dianggap bersalah dengan cara mempermalukan mereka di depan umum, seperti hukuman cambuk. Mereka yang terkena sanksi sosial ini sering kali tidak diberikan kesempatan untuk membela diri atau berdiskusi secara terbuka.
Dengan demikian, bentuk pembatalan atau penolakan sosial yang bersifat destruktif telah lama ada, meskipun kini praktiknya berkembang dalam konteks digital.
Namun, di era digital saat ini, kritik yang muncul melalui cancel culture tidak selalu bersifat destruktif. Dalam beberapa kasus, kritik yang diberikan dapat bersifat konstruktif dan menjadi sarana refleksi bagi individu yang terlibat.
ADVERTISEMENT
Kelompok yang Paling Banyak Melakukan Cancel Culture
Di Indonesia, cancel culture mungkin baru mulai dikenal secara luas. Tapi di negara lain, fenomena ini sudah lebih lama muncul. Dalam beberapa tahun terakhir, individu yang terkena cancel culture sering kali mengalami penolakan sosial yang berdampak signifikan terhadap karier dan kehidupan mereka.
Dalam jurnal Fenomena Cancel Culture di Indonesia oleh Melisa Bunga Altamira dan Satwika Gemala Movementi mengungkapkan bahwa mayoritas pelaku cancel culture berasal dari generasi milenial akhir dan Gen Z .
Sebagai generasi yang tumbuh dengan teknologi digital, mereka memiliki pengaruh besar dalam mengangkat isu atau tren tertentu. Sementara itu, kelompok yang paling memahami konsep cancel culture dibanding generasi lainnya adalah generasi milenial.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, cancel culture di Indonesia belum berkembang menjadi fenomena yang benar-benar masif. Efek viral dari praktik ini masih terbatas, terutama di wilayah perkotaan yang memiliki masyarakat dengan tingkat literasi digital tinggi, akses luas terhadap perangkat teknologi, serta konektivitas internet yang stabil.
(DR)