Konten dari Pengguna

Apakah Boleh Menikah di Bulan Suro? Ini Penjelasannya Menurut Tradisi Kejawen

Berita Hari Ini
Menyajikan informasi terkini, terbaru, dan terupdate mulai dari politik, bisnis, selebriti, lifestyle, dan masih banyak lagi.
1 Juli 2024 9:00 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi menikah di pesawat Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi menikah di pesawat Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sebagian masyarakat Jawa yang menganut tradisi Kejawen menganggap bulan Suro sebagai bulan yang sakral. Karena itu, masih banyak yang bertanya-tanya apakah boleh menikah di bulan Suro?
ADVERTISEMENT
Mengutip buku Kitab Primbon Jawa Serbaguna susunan R. Gunasasmita (2009), tidak disarankan untuk melaksanakan pernikahan atau hajat lainnya di bulan Suro. Jika tetap memaksakannya, dikhawatirkan akan terjadi hal-hal buruk yang tak diinginkan.
Prosesi pernikahan yang dilaksanakan pada bulan Suro dianggap mampu mendatangkan bala dan tidak berkah. Pasangan akan mengalami kesukaran dalam hidup dan rumah tangganya selalu diliputi dengan kegaduhan.
Anggapan tersebut diyakini oleh sebagian besar masyarakat Jawa hingga kini. Bagaimana dengan pantangan bulan Suro lainnnya?

Pantangan dan Ritual di Bulan Suro Menurut Tradisi Kejawen

Suasana kirab malam 1 Suro di Desa Lencoh, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, Selasa (18/7) Foto: Arfiansyah Panji/kumparan
Sebagian orang menganggap bulan Suro penuh dengan bala dan bencana. Maka, mereka pun melarang anak dan keturunannya untuk menggelar hajat di bulan pertama dalam kalender Jawa ini.
ADVERTISEMENT
Di samping itu, masyarakat Jawa juga sering mengadakan ritual khusus untuk menangkal bala di bulan Suro. Dirangkum dari buku Panduan Syahadat susunan Taufiqurrahman (202015), berikut beberapa tradisinya yang masih dijalankan hingga kini:

1. Memandikan benda atau keris pusaka

Dalam adat Jawa, ritual ini dinamakan “jamasan keris”. Biasanya, masyarakat setempat akan memandikan keris dan benda pusakanya pada awal bulan Suro (Muharram). Tujuannya untuk membersihkan keris, menambah kesaktian keris, dan membersihkan diri dari segala dosa.

2. Berebut air jamasan

Setelah prosesi jamasan keris dilangsungkan, warga setempat akan berebutan untuk mandi menggunakan air jamasan tetrsebut. Tradisi ini biasa digelar di Pendopo Puro Mangkunegaran, Surakarta. Mereka percaya bahwa air jamasan dapat membawa berkah dan keberuntungan.
Ilustrasi keris Foto: ANTARA FOTO/Maulana Surya

3. Kirab Tapa Bisu

Ritual ini biasa dilakukan oleh masyarakat Kaliurang Yogyakarta setiap malam 1 Suro. Mereka membisu dan tidak mengatakan apapun. Namun, mereka akan berdoa dalam hati agar dihindarkan dari bala bencana.
ADVERTISEMENT

4. Mubeng Beteng

Di Keraton Yogyakarta, masyarakat setempat juga biasa mengadakan ritual mubeng beteng. Tradisi mengelilingi beteng Keraton Yogyakarta ini sudah dijalankan secara turun-temurun selama lebih dari dua abad silam.

5. Sedekah Gunung

Dijelaskan dalam buku Internasionalisasi Bahasa Indonesia: Perspektif Lintas Negara oleh Mohammad Zain Musa, dkk., masyarakat di sekitar Gunung Merapi secara rutin mengadakan ritual sedekah gunung pada malam 1 Suro. Tujuan dari ritual ini adalah memohon perlindungan dari berbagai bencana.
Dalam upacara tersebut, warga menyiapkan sesajen berupa kepala kerbau, yang kemudian akan dilarung atau dibuang ke kawah Gunung Merapi. Acara ini diakhiri dengan doa bersama yang dipimpin oleh tetua adat, yang bertujuan untuk meminta perlindungan dari Tuhan.
Momen ini juga dimanfaatkan warga untuk mengucapkan syukur kepada Tuhan atas berkah yang diberikan. Harapannya, Tuhan memberikan ridho-Nya atas hasil panen dan kekayaan alam yang mereka kelola.
ADVERTISEMENT
(MSD)