Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Badal Haji: Pengertian, Syarat, dan Tata Caranya dalam Islam
15 Mei 2023 1:01 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Badal haji adalah kegiatan menghajikan orang yang sudah meninggal atau sudah tidak mampu melaksanakan haji secara fisik karena udzur tertentu. Badal haji dilakukan oleh seseorang dengan syarat dan ketentuan yang sesuai hukum syar’i.
ADVERTISEMENT
Mengutip buku Menuju Umrah dan Haji Mabrur karya H. Syaiful Alim (2018), ketentuan badal haji dapat berlaku jika jemaah meninggal dunia sejak di embarkasi atau sebelum pelaksanaan wukuf. Bagi jamaah yang tidak bisa melaksanakan wukuf karena sakit parah juga disarankan untuk menggunakan badal haji.
Landasan hukum badal haji tercantum dalam hadis Nabi SAW. Dari Ibnu Abbas dari al-Fadl, seorang perempuan dari kabilah Khats’am bertanya kepada Rasulullah:
“Wahai Rasulullah, ayahku telah wajib haji, tapi dia sudah tua renta dan tidak mampu lagi duduk di atas kendaraan?”. Jawab Rasulullah: “Kalau Dari Ibnu Abbas dari al-Fadl: “Seorang perempuan dari kabilah Khats’am bertanya kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, ayahku telah wajib haji, tapi dia sudah tua renta dan tidak mampu lagi duduk di atas kendaraan?”. Jawab Rasulullah: “Kalau begitu lakukanlah haji untuk dia!” (HR. Bukhari Muslim)
ADVERTISEMENT
Tentu, pelaksanaan badal haji ini memiliki perbedaan dengan ibadah haji biasa. Seperti apa? Simak penjelasan lengkapnya dalam artikel berikut ini.
Syarat dan Tata Cara Badal Haji
Dijelaskan dalam Hasil Mudzakarah Perhajian Nasional tentang Badal Haji susunan Kementerian Agama, syarat orang yang melakukan badal haji harus sudah pernah haji terlebih dahulu. Hal ini sebagaimana dijelaska n oleh imam mazhab Syafi’i dan mazhab Hanbali dalam fatwanya.
Jika dia belum haji, maka tidak sah menghajikan orang lain. Dasar hukumnya adalah hadits Rasulullah SAW yang disampaikan oleh Ibnu Abbas ra. Beliau pernah mendengar lelaki berkata:
“Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu untuk Syubramah”. Nabi SAW. bertanya: Siapa Syubramah? Dia menjawab: Syubramah adalah saudaraku atau kerabatku. Nabi SAW. bertanya: Apakah engkau berhaji untuk diri Anda? Dia berkata: Bukan. Lalu Nabi SAW. bersabda: Berhajilah untuk dirimu, kemudian berhaji untuk Syubramah." (HR. Abu Daud, lbnu Hibban, dan Hakim).
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, pelaksanaan badal haji sama saja seperti ibadah haji biasa. Yang membedakan keduanya adalah niat. Seseorang yang melaksanakan badal haji harus niat badal untuk seseorang (alhajju ‘an).
Terkait miqat badal haji, para fuqaha berbeda pendapat dalam menentukan batasannya. Mazhab Hanbali berpendapat bahwa orang yang membadalkan haji, wajib memulai ihramnya dari miqat negeri orang yang dibadalkan, kecuali biaya untuk badal haji tidak mencukupi, maka boleh dari miqat mana saja yang mudah.
Sementara Imam Atha’ bin Rabah berpendapat, jika orang yang nazar tidak berniat dari suatu tempat, maka orang yang akan membadalkan haji dapat memulai niat ihram dari miqatnya.
Kemudian Imam Syafi’i menyatakan bahwa orang yang berkewajiban haji pertama kali (hijjatul Islam), tetapi diupahkan kepada orang lain, maka orang yang membadalkan harus berniat dari miqatnya orang yang dibadalkan tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalam masalah badal haji, peran negara dapat disamakan dengan peran ahli waris. Ketika ahli waris berkewajiban menghajikan atau membiayai haji maurutsnya, maka negara pun berkewajiban menghajikan atau membiayai haji jemaah.
(MSD)