Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.95.1
Konten dari Pengguna
Bagaimana Hukum Menikah Saat Hamil dalam Pandangan Islam?
9 Desember 2021 18:46 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Menikah merupakan ibadah sunnah yang sangat dianjurkan dalam Islam. Mereka yang mampu melaksanakannya, maka dinilai telah sempurna menjalankan separuh agama. Rasulullah SAW bersabda:
ADVERTISEMENT
"Apabila seorang hamba menikah maka telah sempurna separuh agamanya, maka takutlah kepada Allah SWT untuk separuh sisanya" (HR. Al Baihaqi dalam Syu'abul Iman).
Dalam Islam, pernikahan dapat menghalalkan hubungan antara pria dan wanita. Jika sebelumnya hubungan seksual dilarang, sesudah menikah justru sangat dianjurkan. Karena berhubungan intim antara pasangan suami istri termasuk ibadah yang Allah perintahkan.
Oleh karena itu, umat Muslim dianjurkan untuk menahan kesuciannya sampai hari pernikahan itu tiba. Namun sayang, pada beberapa situasi, pernikahan justru dijadikan jalan akhir bagi pasangan yang sudah terlanjur berzina. Tidak sedikit mempelai wanita yang melangsungkan pernikahan dalam keadaan mengandung.
Mereka tidak mampu menahan hawa nafsunya dan menjaga kesuciannya. Alhasil, pernikahan menjadi satu-satunya solusi yang terpikirkan. Lalu, bagaimana hukum menikah saat hamil?
ADVERTISEMENT
Hukum Menikah Saat Hamil
Satu-satunya jalan keluar yang sering dilakukan pelakunya ialah dengan melangsungkan pernikahan. Tidak sedikit mempelai wanita menikah dalam keadaan mengandung. Meski umum dilakukan, sebagian dari mereka masih kerap mempertanyakan tentang hukum menikah saat hamil.
Jika dilihat dari dalil syar’i, sebenarnya Allah Swt telah menjelaskan perkara ini melalui firman-Nya. Dalam Surat an-Nur ayat 3, Allah berfirman:
“Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau dengan perempuan musyrik; dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin”
ADVERTISEMENT
Atas dasar dalil ini, para fuqaha kemudian menetapkan hukumnya. Mengutip jurnal berjudul Perkawinan Perempuan Hamil dalam Perspektif Hukum Islam dan UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan karya Aulia Firdaus, pada hakikatnya hukum perkawinan bersifat kondisional, artinya bisa berubah menurut situasi dan kondisi zaman.
Dalam kompilasi hukum Islam, hukumnya sah menikahi wanita hamil akibat zina, selama yang menikahi wanita itu adalah laki-laki yang menghamilinya. Dikatakan lebih lanjut bahwa mempelai wanita tidak perlu menunggu anaknya lahir terlebih dahulu.
Menurut jurnal berjudul Status Anak yang Dilahirkan dari Perkawinan Wanita Hamil Karena Zina Menurut Kompilasi Hukum Islam dan UU No. 1 Tatun 1974 karya Farida Hanum, ketentuan hukum ini tertulis dalam pasal 53 ayat 1 KHI, yang berbunyi:
ADVERTISEMENT
Dari penjelasan tersebut, telah jelas bahwa hukum menikah saat hamil adalah boleh, selama laki-laki yang menikahinya adalah orang yang menghamilinya. Ini karena laki-laki yang menghamilinya itu adalah jodoh yang tepat.
Sedangkan laki-laki mukmin tidak pantas bagi mereka yang telah dihamili oleh laki-laki lain. Dengan demikian, selain laki-laki yang menghamili perempuan yang berzina dan hamil itu, diharamkan untuk menikahinya.
Namun, perlu diingat bahwa kasus pemerkosaan berbeda dengan zina. Maka, untuk menentukan hukumnya harus merujuk pada peraturan dan nash lain. Kasus pada korban pemerkosaan tidak bisa menggunakan pasal 53 ayat 1 KHI yang telah disebutkan di atas.
ADVERTISEMENT
(MSD)