Hukum Membaca Manaqib dalam Tradisi Masyarakat Muslim Tanah Air

Berita Hari Ini
Menyajikan informasi terkini, terbaru, dan terupdate mulai dari politik, bisnis, selebriti, lifestyle, dan masih banyak lagi.
Konten dari Pengguna
7 Maret 2023 11:00 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi hukum membaca manaqib (Pexels).
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi hukum membaca manaqib (Pexels).
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Membaca manaqib adalah salah satu tradisi yang berkembang di masyarakat Muslim Indonesia. Namun, bagaimana sebenarnya hukum membaca manaqib menurut Islam?
ADVERTISEMENT
Muhammad Sholikhin dalam buku 17 Jalan Menggapai Mahkota Sufi menyebut, manaqib berasal dari bahasa Arab. Manaqib artinya menyelidiki, melubangi, memeriksa, membahas dan menggali.
Sementara menurut istilah, Bani Sudardi dan Afiliasi Ilafi dalam jurnal Madaniyah menyebut manaqib sebagai cerita mengenai kekeramatan para wali. Cerita itu bisa didapatkan dengan berbagai cara, salah satunya membaca sejarah hidupnya.
Kitab manaqib yang bisa dibaca pun ada banyak. Mengutip buku Histografi Hukum Islam karya Arif Mafyuhun, beberapa di antaranya yaitu manaqib al-Imam Abu Hanifah dan manaqib asy-Syafi’i.
Lantas, bagaimana hukum membaca manaqib menurut agama Islam? Berikut penjelasannya yang telah dirangkum dari beberapa sumber.

Tradisi Membaca Manaqib

Ilustrasi hukum membaca manaqib (Unsplash).
Dalam buku Kumpulan Tanya Jawab Islam yang diterbitkan PISS - KTB, membaca manaqib atau yang dikenal dengan istilah manaqiban adalah budaya mengenang sejarah dan autobiografi para wali. Biasanya budaya ini dapat ditemui di lingkungan pesantren.
ADVERTISEMENT
Dalam praktiknya, manaqiban akan dipimpin satu orang. Adapun kitab manaqib yang dibaca itu berisi cerita, ikhtisar hikayat, kumpulan nasihat, dan peristiwa ajaib yang pernah dialami seorang wali Allah SWT.
Sementara orang lainnya akan mendengarkan dengan khusyuk bacaan tersebut sambil memuji Allah dengan kalimat-kalimat yang ada dalam Asmaul Husna.
Pembacaan manaqib ini bertujuan agar pembacanya mengambil teladan dari sosok wali Allah SWT tersebut. Manaqib juga dibaca untuk mengharap berkah (tabarruk) dan memohon kepada Allah SWT lewat keistimewaan yang dimiliki orang-orang saleh (tawasul).
Menurut Siti Rochmah dan Abd Majid Abror dalam jurnal Salimiya, terdapat sebuah hadis dalam kitab Shahih Bukhori yang menjadi rujukan hadirnya budaya manaqiban. Dari Abu Hurairah, ia berkata Rasulullah SAW bersabda:
ADVERTISEMENT
“Sesungguhnya Allah bersabda,‘Barang siapa yang menyakiti wali-Ku maka dia telah menyatakan perang dengan-Ku.’”
Berangkat dari hadis tersebut dapat diketahui bahwa Allah SWT sangat mencintai hambanya dengan perantara wali-Nya. Sebab mereka adalah manusia yang bersungguh-sungguh mendekatkan diri dan taat kepada-Nya, serta menjalankan ajaran Rasulullah SAW.

Hukum Membaca Manaqib dalam Agama Islam

Ilustrasi hukum membaca manaqib (Unsplash).
Menurut H. Muhammad Syafi’i Hadzami dalam buku Taudhihul Adillah 2, hukum membaca manaqib seorang wali bergantung pada kondisi orang yang melakukannya. Sehingga tidak bisa langsung disebut musyrik atau tidak, tergantung i’tiqad dan kepercayaannya.
Singkatnya, apabila seseorang melakukannya dengan i’tiqad bahwa wali tersebut memiliki kekuasaan untuk memberikan pertolongan, terlepas dari kekuasaan Allah SWT, maka bisa jadi musyrik.
ADVERTISEMENT
Namun, apabila dilakukan dengan i’tiqad segala sesuatu datangnya dari Allah SWT, hukumnya mubah atau diperbolehkan. Mereka itulah orang-orang yang teguh imannya dan bertauhid dengan arti yang sebenar-benarnya.
(NSA).