Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Hukum Sunat Perempuan dalam Islam, Boleh atau Tidak?
26 Oktober 2022 15:04 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Dijelaskan dalam situs World Health Organization (WHO), sunat perempuan, atau yang bisa disebut dengan mutilasi alat kelamin perempuan (female genital mutilation) diakui secara internasional sebagai pelanggaran hak asasi perempuan.
Sunat perempuan dianggap mencerminkan bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Praktik tersebut juga melanggar hak perempuan atas kesehatan, keamanan dan integritas fisik, serta hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan kejam jika prosedurnya mengakibatkan kematian.
Secara medis, mutilasi alat kelamin perempuan sendiri memang tidak memiliki manfaat kesehatan sama sekali. Alih-alih bermanfaat, tindakan ini justru merugikan bayi perempuan maupun perempuan dewasa yang melakukannya.
Sunat perempuan dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan genital wanita yang sehat dan normal serta mengganggu fungsi alami tubuh perempuan. Akibatnya, berbagai masalah kesehatan pun muncul, seperti pembengkakan jaringan genital, infeksi, keputihan, nyeri haid, hingga nyeri saat berhubungan.
ADVERTISEMENT
Selain dari sisi medis, pandangan mengenai sunat perempuan juga bisa dilihat dari sisi agama. Lantas, bagaimana Islam memandangnya? Apa hukum sunat perempuan dalam Islam?
Hukum Sunat Perempuan dalam Islam
Hukum sunat perempuan diatur dalam Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 9A Tahun 2008. Dalam fatwa tersebut, MUI menegaskan bahwa sunat atau khitan bagi wanita termasuk fitrah dan syiar Islam. Khitan terhadap perempuan adalah makrumah atau pemuliaan yang dilaksanakan sebagai ibadah.
Dalil yang digunakan adalah hadits Ibnu Abbas Marfu’ kepada Rasulullah SAW:
“Khitan itu sunnah buat laki-laki dan kemuliaan bagi perempuan.” (HR. Ahmad dan Baihaqi)
Sunat perempuan menurut syariat Islam berbeda dengan female genital mutilation yang dilarang oleh WHO. Sebab dalam prosedurnya, pelaksanaan sunat perempuan hanya boleh dilakukan dengan menghilangkan selaput yang menutupi klitoris, bukan memotong atau melukai klitoris secara keseluruhan hingga menyebabkan masalah kesehatan.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana yang dijelaskan dalam Majalah Kesehatan Muslim Edisi VIII Tahun I: Lebih Dekat dengan Khitan oleh Dr. Arifin Badri, MA dkk., bagian yang dipotong pada sunat perempuan adalah kulit penutup klitoris, sedangkan klitorisnya tetap dibiarkan.
Sunat perempuan yang dilakukan sesuai dengan syariat Islam diyakini membawa beberapa manfaat. Dari sisi medis, manfaatnya adalah dapat melancarkan buang air kecil. Sedangkan dari sisi non medis, sunat perempuan dipercaya bisa menstabilkan syahwat dan lebih memuaskan pasangan.
Dalam hadits Ummu ‘Athiyah radhiyallahu ‘anha, dahulu para wanita di Madinah dikhitan. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Jangan berlebihan dalam mengkhitan, karena akan lebih nikmat (ketika berhubungan seksual) dan lebih disukai suami.” (HR. Abu Dawud)
ADVERTISEMENT
Namun perlu diketahui, meski dibolehkan dalam syariat, pemerintah telah mencegah terjadinya praktik sunat perempuan di Indonesia. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) turut melakukan berbagai upaya pencegahan sunat perempuan tersebut.
(ADS)
Live Update